Ray tak bisa lanjutkan kata-katanya, Tantia langsung menuju kursinya, Ray juga mempercepat langkahnya, Pak Taufiq udah ada dipintu.
" Selamat Siang semua ".
" Selamat siang Pak… ".
Lumayan serentak, dari semua siswa yang tak berikan jawaban hanya Ray dan Tantia. Ray masih juga terus mencoba melirik Tantia yang duduk hanya berjarak satu kursi dari kursi yang Ray duduki.
Ray tak habis pikir bagaimana orang tua Tantia bisa putuskan masalah itu dengan mudah. Kalau Ray coba mengingat waktu Tantia ulang tahun minggu kemarin, kedua orang tua Tantia tampak kompak dan amat mesra.
Ray sendiri pada waktu itu amat cemburu karena Ray tak lagi punya orang yang Ray panggil ayah, sebab Ray sudah yatim sejak lama. Hingga saat tadi Tantia bilang orang tuanya cerai amat membuat Ray terkejut sekali.
" Kok diam aja Ray ?".
" Pak.. tidak.. tidak apa-apa Pak ".
" Kamu kenapa ?".
" Aku… ".
Pak Taufiq mendekat kekursi Ray dan menepuk-nepuk bahu Ray pelan-pelan saja. Jangan Pak Taufiq, Bastian aja dari tadi udah heran kenapa Ray hanya diam, tidak seperti biasanya, banyak hal yang dipertanyakan.
" Kamu kenapa Ray ?".
" Ngga' ada apa-apa Pak ".
" Betul kamu ngga' apa-apa Ray ?".
" Saya ngga' apa-apa pak ".
Pak Taufiq angguk-anggukkan kepala setelah menempelkan belakang tangannya kekening Ray, dan tidak menemukan keganjilan apa-apa. Pak Taufiq kembali kedepan dan meneruskan ceramahnya.
Ray tak tahu apa sebabnya, yang pasti Ray terus kepikir ke Tantia, tak ada yang masuk keotak Ray semua yang dikatakan Pak Taufiq, Ray lebih suka melirik kearah kanannya, sekedar melihat wajah Tantia yang memang terus menunduk sejak pertama masuk tadi.
Kalau urusan Tantia yang hanya diam seisi kelas merasa tak ada masalah, Tantia hanya punya sifat cerewet kalau diluar kelas, tapi kalau dalam keadaan belajar, Tantia itu amat lugu, hanya diam dan sesekali mencatat omongan gurunya.
Kalaupun Tantia punya pertanyaan, Tantia lebih senang bertanya pada jam istirahat atau besoknya, itupun bukan kepada gurunya, tapi pada Melisa teman sebangkunya yang memang jawara kelas mereka.
Waktu begitu lajunya, bagi Ray udah mampu tandingi Ananda Mikola saat main di A1. cepat bagai kilat yang menyambar, Pak taufiq udah selesai, disambung oleh Bu Aini, Bu Aini juga lewat, dan digantikan Pak Mansyur, bukan mengajar, tapi Pak Mansyur mau bilang agar semua melunasi hutang masing-masing pada BP3.
Ribut. Sudah tentu, dan itu sudah jadi hal yang biasa kalau bel pulang berdering kencang. Kali ini hanya Pak Mansyur yang sewot karena omongan yang ingin ia sampaikan belum lengkap.
Tapi apa boleh buat, Pak Mansyur akhirnya tutup bicaranya, dan saat Pak Mansyur hilang dibalik pintu seisi kelas berhamburan berebut keluar.
Ray berdiri juga dan melangkah dengan tanpa semangat, Ray jadi orang terakhir yang keluar ruang kelas, diteras Ray berhenti dan mencoba cari Tantia diantara kerumunan manusia yang lumayan banyak dihalaman sekolah, tapi Ray sama sekali tak menemukan Tantia.
" Ray.. ".
Ray menoleh. " Eh, Si. Ada apa ?".
" Ada yang nyari tuh ".
" Siapa ?".
" Dibelakang kamu ".
Ray berbalik. Ray agak lega, didepannya kini ada Tantia yang memasang senyum tipis. Ray juga umbar senyum yang lebarnya relatif sama. Sisi langsung beranjak pergi tinggalkan dua orang yang menurut Sisi sedang kasmaran.
Ray mendekat dan tarik tangan Tantia, Tantia ikut aja langkah Ray yang seberang jalan dan masuk kekedai kopi yang ada disana. Ray pesan teh manis aja dua gelas. Ray dan Tantia duduk berhadapan.
" Aku pusing Ray ".
" Siapapun pasti pusing. Tapi kita juga ngga' boleh terlalu egois Tan ".
" Maksud kamu ".
" Bagi mereka mungkin itu yang terbaik ".
Tantia buang nafas berat, pikiran Tantia memang agak kacau setelah kesimpulan orang tuanya untuk berpisah. Tantia merasa bagai berada dalam sebuah kurungan yang amat panas. Bahkan untuk masuk rumah sendiri Tantia merasa tak enak.
Tinggal sehedar duduk ajapun Tantia tak bisa lama-lama dirumah, keributan demi keributan terus terdengar, itu yang membuat Tantia amat pusing.
" Tiap hari aku dengar keributan. Adat, adat, terus terusan adat ".
" Adat ?".
" Semua saling menyalahkan. Persoalan yang kecil bisa jadi besar. Aku ngga' habis pikir, sehebat apa sih adat itu, hingga tiap hari jadi masalah ".
" Tiap hari ?".
" Setiap bertemu. Ayah dan Ibu udah bagai Tom dan Jerry, ribut asal ketemu, masalah yang kecil menjadi begitu besar. Aku yang pusing ".
Ray ikut buang nafas berat. Ray menemukan keresahan yang panjang diwajah Tantia, dan resah itu telak meninju jantung Ray yang ikut hayut dalam kebingungan Tantia.
Adat. Ray tahu apa itu adat, sebuah kebiasaan di suku yang dianggap sakral oleh masyarakat. Tapi terus terang, baru kali ini Ray mendengar kalau adat ternyata bisa bawa masalah hingga ketingkat perceraian, setahu Ray, adat itu amat manis dan mampu membuat orang-orang terharu.
" Aku ngga' ngerti dengan adat yang kamu maksud Tan ?".
" Entahlah Ray. Masalah berawal dari nenek dengan segala pintanya ".
" Nenek Kamu ?".
" Katanya Mama ngga' tahu adat ".
" Kok Bisa ?".
Tantia kembali geleng kepala. " Misalkan untuk memberikan sesuatu, katanya menurut adat begini, Mama ngga' seperti itu, hanya karena itu aja bisa jadi perang besar. Pusing ".
.... Bersambung ....