12

Ray amat terpukul. Omongan Bastian amat membuat Ray terantuk, Ray tak merasa punya salah apa-apa pada Bastian, tapi Bastian terus pertahankan ketus omongannya.

" Ray.. Bas.. ".

Ray dan Bas sama-sama angkat kepala, Ray langsung terpaku, Tantia berdiri didepan mereka, Ray terpaku melihat Tantia yang amat cantik, Tantia amat anggun dengan pakaian yang ia kenakan, apalagi bagi Ray, baru kali ini ia melihat Tantia pakai Make-Up.

Tantia amat cantik, cantik sekali, amat cantik. Hingga Ray tak mampu ungkapkan apalagi, hati Ray bahagia, tapi jantung Ray amat bergemuruh menahan sesuatu yang ada didalamnya.

Aneh memang, tapi ini nyata. Ray dan Bastian sama sibuk, angkat kursi, angkat piring, dan semua yang bisa mereka lakukan dipesta kecil pernikahan kedua ayah Tantia, tapi sesibuk apapun mereka.

Sesering apapun mereka bertemu, tapi Ray dan Bastian tak saling tegur satu sama lainnya, tak saling tegur sapa, hingga saling buang muka, hingga pesta usai, dan sama pulang kerumah masing-masing.

Pagi yang lumayan suram, apa tidak, selesai upacara tak ada yang selera untuk masuk kelas sebab semua yang dipakai sedikit agak basah karena gerimis yang datang sejak awal upacara.

Mata Ray terbentur pada wajah Tantia yang tertunduk duduk dipot bunga panjang yang ada didepan ruang kelas Ray. Agak perlahan langkah Ray menuju tempat duduk Tantia, dan Ray duduk disamping Tantia setelah sama melempar senyum.

" Basah juga ?".

" Sedikit ".

" Gerimis tak diundang ".

" Namanya juga gerimis Ray, itukan bikinan Tuhan, kita harus terima dong, ngga' ada yang mati gara gara gerimis ".

" Ya.. harus begitu memang ".

" Ya, memang begitu ".

Ray hanya senyum aja. Siapa yang bisa larang kalau gerimis mau datang, kalau ia mau datang ya datang aja, tak ada usaha yang bisa hentikannya agar tak jadi turun,

" Tan.. ".

" Ya.. ".

" Aku mau ngomong sesuatu pada kamu ".

" Ngomong apa ?".

" Tapi kamu.. jangan,.. jangan marah ".

Kening Tantia berkerut. " Kok marah ?".

Mata Ray dan Tantia bertemu. Debar dada Ray makin tak tentu saat menemukan bening mata Tantia yang juga lekat memandangnya, Ray akhirnya kembali kearah bunga saat Tantia juga membalas senyum yang Ray punya.

" Udah lama aku suka kamu Tan ".

Tantia memandang Ray. " Apa ?".

Ray tetap tunduk. " Aku mencintaimu Tan ".

Dada Ray agak lega, tapi Ray tak mampu tatap wajah Tantia, Ray malah kini tundukkan kepala menatap tanah yang sampahnya lumayan banyak. Jantung Ray degdegan sekali.

" Kamu gila Ray ".

Kening Ray berkerut dengan mata mengecil memandang Tantia yang tampak sangat santai duduknya.

" What ?. kamu ?".

" Apa yang membuat kamu ngomong kaya' begitu. Sakit ya Ray ?".

Ray benar benar tak mengerti apa yang dikatakan Tantia barusan. Rasanya Ray merasa itu kalimat yang paling tidak cocok untuk ia dengar saat ini. Ray merasa Tantia sangat berlebihan dengan semua itu.

" Tapi Tan, aku ?".

" Sakit ?".

" Tan.. kamu.. ".

" Udahlah Ach, lagian ngapaian ngomong begituan, aku ngga' punya waktu untuk itu Ray ".

" Kamu ?.. Tan ".

" Cukup Ray.. ".

" Tan… ".

Ray betul-betul sakit hati, serius sekali Ray mengungkapkan keinginannya, Tapi Tantia malah tertawa dan menolak kening Ray dengan telunjuk tangannya yang lumayan halus.

" Aku serius Tan ".

" Udah achk, macam betul aja ".

" Tan ".

Tantia langsung melangkah meninggalkan Ray sendirian di pot bunga. Tantia bahkan tak berbalik walau hanya sekedar memandang. Tantia meluncur pergi aja dan hilang dibalik pintu ruang kelasnya.

Ray husap mukanya, pandangan Ray amat kosong jauh kedepan. Mungkin benar apa yang pernah dikatakan Bastian, kalau mereka memiliki kelas yang berbeda dengan orang semacam Tantia, orang bilang memang cinta itu buta.

Bastian bilang itu dulu, kalau sekarang, cinta itu punya strategi dan persiapan, bukan hanya sekedar hati, tapi juga masuk dalam pembahasan materi.

Ray akhirnya berdiri, dan memang harus berdiri, Pak Husnul udah main bentak agar seisi kelas yang masih sibuk berupaya membuat pakaian masing-masing kering agar masuk ruangan dan memulai pelajaran yang sudah telat setengah jam pelajaran pertama.

Ruang kelas bagi Ray persis seperti tabung panas yang gerahnya minta ampun. Ray amat resah, serba salah. Sering husap muka, sapu kening dan bahkan buang nafas berat berulang-ulang kali.

Ray langsung berdiri begitu bel terdengar, Ray bagai tak sabar ingin keluar dari ruang kelasnya, Ray langsung beranjak begitu Bu Tari angkat buku, Ray dan Bu Tari malah beda satu langkah menuju keluar ruangan kelasnya.

Langkah Ray menuju pustaka, ambil buku Antropologi, duduk, dan membaca.

" Ngapaian baca buku ini ".

" Bas.. ".

Ray ternganga, Bastian ambil buku yang ada ditangan ray, menutupnya, mengembalikan kerak, ambil buku Fisika dan letakkan dimuka Ray.

" Ini ".

... Bersambung ...