Walau emosi, Ray tetap berusaha bertahan dan hanya tatap Bastian yang duduk didepannya membaca buku dengan santai bagai tak ada masalah.
Ray husap mukanya lagi, sapu-sapu dadanya dan membuka buku Fisika yang ada didepannya. Ray hanya membalik-balik saja, memang tadinya Ray ingin membaca Antropologi, Ray hanya ingin sedikit tahu tentang suku Dani di Papua.
Ray akhirnya letakkan buku Fisika diatas meja dengan terbuka, sedang kedua tangannya menutup muka.
" Ngapain bilang cinta ama Tantia ?".
Tangan Ray terlepas dari wajahnya, muka Ray memerah, jantungnya berdegup amat kencang, mata Ray amat tajam kearah Bastian yang terus membaca, sama sekali tak melirik Ray.
Batian malah bersikap bagai ayah killer yang ngga' senang pada pemuda yang senang menggoda anak gadisnya.
" Malu-maluin aja ".
Ray mati kutu. Jelas sekali rahang Ray terdengar bersuara akibat giginya yang berantuk cukup kuat. Kepala Ray terasa penuh, apalagi Bastian mendengus dengan moyongkan bibirnya sendiri, jelas itu adalah gerakan mengejek Ray.
" Jangan merasa Playboy lah. Sekalipun kita tampan bukan berarti kita bisa melakukan rayuan maut tiap waktu. Lagian aku pikir sekolah itu bukan ajang jual tampang, jual muka dan atau lainnya. Bikin malu aja ".
Ray tak kuat lagi, sedang Bastian terus menggerutu dan menyudutkan Ray. Ray berdiri dan tinggalkan Bastian, tak ada kalimat yang keluar dari mulut Ray, sedang Bastain hanya melihat punggung Ray yang langsung hilang dibalik pintu pustaka.
Nafas Ray naik turun, Ray tak sangka kalau Tantia bakal ngomong ama Bastian, dan kini Ray makin yakin dengan dugaannya yang pertama bahwa Bastian punya rasa yang sama dengannya tentang Tantia, atau malah mereka memang udah pacaran.
Tapi Ray tak pernah melihat mereka walau hanya sekedar duduk berdua, setiap kali Ray mencari Tantia Ray tetap menemukan Tantia sendiri aja, terus aja sendirian, tak pernah bersama Bastian.
Ray masuk kantin, duduk dan pesan minuman dingin yang menurut Ray bisa dinginkan hatinya yang amat panas. Jantung Ray terus bergolak dan bergemuruh tak tentu, pikiran Ray amat kacau, dan yang paling keras tentunya rasa malu, Ray amat malu, malu sekali dengan apa yang ia rasakan.
" Ikut minggu depan Ray ?".
Ray angkat kepala. Didepannya ada Deni. " Ikut apa ?".
" Rencananya kan ada Darma wisata ".
" Darma Wisata ?".
" Belum tahu ya ?".
Ray hanya geleng kepala. Tapi kerut kening Deni membuat Ray ikut kerutkan keningnya, Deni tak yakin Ray tak tahu soal rencana itu.
" Masa belum tahu ?".
" Memang ngga' tahu ".
" Masa sih ?".
Deni ambil ponsel yang ada dikantong celananya, hubungi seseorang dan bicara pelan aja, Ray tak begitu peduli, Ray lebih fokus pada air minum yang ada didepannya.
" Bu Dini belum sampaikan ke IPA 1".
" Bu Dini ?".
Deni anggukkan kepala. " Tantia bilang, IPA 1 belum tahu ".
" Tantia ?".
Deni anggukkan kepala. " Panitianya dari Guru Ibu Dini, dari Siswa Tantia, rencananya semua kelas III diharapkan ikut, sekalian perpisahan ".
" UN masih lama kok ".
" Maksudnya sebelum UN ".
Ray hanya anggukkan kepala, bayar minuman dan beranjak keruang kelas untuk melanjutkan pelajarm hari ini. begitu masuk kelas, mata Ray ikut juga memandang dan membaca tulisan yang ada dipapan tulis, undangan pertemuan, rencana Darma Wisata yang tadi diceritakan Deni padanya.
OO oo OO
Tak butuh Tantia, tak butuh Bastian, tak butuh dengan semua yang berhubungan dengan rasa sakit hatinya. Itu sudah Ray lakukan lebih dari sebulan lamanya, dan ternyata Ray cukup bahagia tanpa harus berpikir dan mengingat Tantia. Apalagi Ray dapat walau secara diam-diam ambil buku Antropologi dan buku Sosiologi dari pustaka dan dibaca.
Bahkan Ray semakin larut dengan Antropologi dan Sosioliginya, buku itu bisa pula ia bawa pulang kerumah, hingga semua waktu Ray digunakan untuk membaca dan membaca, dan ternyata isi buku itu membawa Ray pada ilmu baru yang ia sukai.
Tak seperti yang lain sibuk sendiri, Ray tak begitu sibuk dengan persiapan Darma Wisata yang bakal berangkat sore nati, walau tempatnya tak jauh, hanya Pantai Binasi Kolang Nauli.
Tapi karena mau kemah dua malam membuat semua siswa yang jumlahnya ratusan sibuk dengan perlengkapan masing-masing, Ray tak begitu sibuk, yang ia bawa hanya pakaian aja, termasuk selimut dan baju tebal ngga' ada yang lain.
Suara ribut dalam bus tak begitu mampu undang Ray untuk ikut ribut, Ray kembali larut dengan Sosiologinya, yang lain tertawa dan menyanyi bareng hingga teriak-teriak, Ray malah asyik membaca.
" Buku apa sih ?". tangan Sisi membalik buku ditangan Ray. " Kok baca buku itu Ray ?".
" Enak saja, suka saja ".
" Masa ?".
" Ngga' pernah baca ini ?".
" Ngga' ".
Ray ambil buku Antropologi dari dalam tasnya dan berikan pada Sisi. Sisi terima aja dan mulai baca, dan ternyata Sisi juga tertarik dengan buku yang ada ditangannya, hingga Kolang terasa begitu cepat sampai, Sisi tutup bukunya dan berikan pada Ray.
" Enak juga Ray ".
" Memang bagus ".
Ray dan Sisi berbalas tawa, Ray juga yakin kalau Sisi bakal tertarik dengan tulisan-tulisan yang ada dibuku itu, karena memang isinya cukup bagus dan enak dibaca.
Ray dan Sisi seperti yang lain juga sama berdiri dan sama keluar untuk kumpul dengan team masing-masing beresin hal yang perlu diberesin, dan paling utama tentunya masang tenda.
.... Bersambung ....