16

UN udah usai, kini hanya tinggal tunggu hasilnya aja. Ray merasa ngga' begitu perlu pergi ke sekolah, disamping hemat biaya, hemat pengeluaran Ray memang agak pusing kalau sampai kesekolah, ada banyak yang membuat Ray pusing kalau sampai disana.

Hanya saja saat ini Ray amat gembira, karena kalau Ray nanti lulus abangnya Faisal sudah janji akan melanjutkan sekolahnya kejenjang yang lebih tinggi lagi, Perguruan Tinggi.

Hari masih pagi, Ray udah selesai beresin kamar mandi yang dindingnya rusak, Ray langsung mandi, dan begitu selesai Ray memilih duduk aja dikursi depan, karena ngga' ada kerjaan Ray hanya tiduran saja.

Ponsel Ray terdengar berdering, ponsel pemberian abangnya Faisal itu amat dijaga dan disayang Ray walau modelnya udah cukup ketinggalan juga.

Ray melihat dilayar, jelas sekali disana tertulis, Tantia memanggil. Ray angkat, Tantia langsung cerita panjang lebar yang membuat Ray terpaku tanpa bisa menyahut satu katapun.

Ray geleng kepala, jelas Tantia tak lihat, karena mereka hanya bicara melalui telephon seluler masing-masing. Ray hampir tak yakin apa yang baru didengarnya, kalau seandainya yang ngomong bukan langsung Tantia, kalau Ray hanya dengar dari mulut kemulut bukan dari sumbernya jelas sekali dijamin Ray tak akan percaya sama sekali.

" Udah ya Ray.. ".

" Ya.. ya.. Hati-hati ".

" Jangan bilang siapa-siapa ya, apalagi pada keluargaku, please ya.. ".

" Ya.. ya.. ".

Ray masih menatap ponsel yang ada ditangannya, Ray merasa terlalu aneh dengan apa yang terjadi ditengah-tengah kehidupannya dan kehidupan orang-orang yang dikenalnya.

Ray juga merasa aneh kenapa ia yang harus menjadi tempat Tantia berbagi cerita, dulu mereka memang sering ketawa sama-sama, bercanda ceria berdua dan lainnya.

Tapi setelah kejadian itu, tepatnya seminggu sebelum UN berlangsung Ray sama sekali tak pernah cerita dengan Tantia, jangankan cerita, jumpa aja mereka ngga' pernah lagi.

Hingga Ray amat terkejut saat Tantia kembali berbagi cerita padanya, dan kini merupakan persoalan hidupnya yang paling rahasia, yang Ray juga nyaris tak percaya.

Walau banyak orang yang bilang Ray dan Tantia akan terlihat cocok jika bisa hidup bersama, tapi Ray harus sadar kalau Tantia dan dia punya perbedaan yang sangat dalam.

Walau selama ini mereka sering jalan sama, cerita sama, tapi Ray tak punya perbedaan dengan Ismed, Yahdi, Toni, dan bahkan temannya dari kelas lain, Ray dan Tantia hanya teman saja, teman biasa saja, tak ada kelebihan apa, hanya kebetulan satu kelas.

Ray betul-betul bagai orang yang linglung, untuk memberikan bantuan pada Tantia, Ray mau buat apa ?. menikahinya ?. mana mungkin, mereka aja baru selesai SMA, tahu lulus atau ngga' aja belum, lagi pula bagaiman caranya nanti.

Pintu diketuk dan langsung terbuka.

Dada Ray langsung berdegup kencang. Didepan pintu ada ayah Tantia yang besar tinggi, tampak tegang, jelas sekali di mata Ray wajah ayah Tantia bagai panglima perang yang bakal menghadapi perang tanding satu lawan satu yang seru.

" Dimana kamu sembunyikan Tantia ?".

Ray terkejut. Rasa tak percaya dengan apa yang baru didengarnya, Ray jadi merasa ketakutan kalau-kalau ayah Tantia berbuat sesuatu yang membuatnya kesakitan.

Dan ayah Tantia makin mendekatkan langkahnya kearah Ray lengkap dengan mukanya yang makin tegang, raut wajah orang tua itu membuat bulu kuduk Ray mulai naik, tapi Ray tetap berusaha tersenyum dan persilahkan ayah Tantia duduk.

" Duduk dulu Pak ".

" Aku hanya ingin tahu tentang Anakku ".

" Tapi Bapak duduk dulu ".

" Dimana Tantia ?".

Ayah Tantia duduk sambil mendengus, pandangan mata ayah Tantia makin tajam menusuk mata Ray, Ray terus berusaha tersenyum, namun sekian banyak senyum yang Ray lempar, tak ada satupun yang mendapat respons ayah Tantia.

" Kemana anakku Tantia ?".

Ray geleng kepala. " Saya tidak tahu Pak ".

" Lantas. Siapa yang tahu ?".

Ray angkat bahu. " Yang pasti, saya benar-benar tidak tahu sama sekali ".

" Kau jangan coba tutupi belangmu ".

" Pak.. ".

" Aku tahu siapa kau ".

Ray kembali geleng kepala, muka Ray sedikit tertunduk, ada rasa marah yang begitu menguap dari ubun-ubunnya, tapi Ray tak mungkin letupkan itu dihadapan ayah Tantia, bisa-bisa nanti Ray yang jadi celaka.

" Dimana Tantia ?".

Ray kembali menggeleng. " Demi Allah, saya tidak tahu Pak ".

" Tak perlu bawa nama Tuhan ".

" Pak. Tapi aku memang ngga' tahu ".

" Betul kamu ngga' tahu ?".

Ray geleng kepala untuk yang kesekian kalinya, muka ayah Tantia belum juga berubah. Ray sudah ngga' tahu mau bilang apa lagi. Ray sudah ngga' tahu apa yang harus ia katakan.

" Eh, Kamu Mas, Ada apa Mas Rey ?".

" Dina… ".

Muka ayah Tantia berubah, berubah total, dari yang tadi begitu kejam menjadi tampak pucat, persis orang yang ketakutan.

Ibu Danu duduk didepan ayah Tantia, menatap wajah ayah Tantia dengan penuh senyum, ayah Tantia berusaha membalas sebaik mungkin.

.... Bersambung ...