Pintu

Sihir, mungkin bagi orang-orang di sini semua ini adalah hal yang wajar. Tapi bagi Damian ini masihlah cukup membuatnya pusing. Memang benar bahwa dia mempunyai sebuah buku yang menuntunnya selama ini, tapi tetap saja Damian perlu waktu untuk terbiasa dengan semua hal yang ada di dunia ini.

Dan setelah berjalannya waktu dirinya mulai terbiasa dengan sihir. Segala hal yang menurutnya aneh mulai terasa biasa saja untuknya, hidup selama lebih dari lima puluh hari di sana membuatnya mulai nyaman walau dia kesal karena hanya punya satu pakaian di sana.

Apalagi dia masih menggunakan kaos putih lengan pendek dan celana pendek yang sama seperti saat dirinya datang ke tempat ini. Dan dia juga sudah pasrah hidup dengan Theo yang sangat cerewet itu.

"Jadi..?"

Damian mendengus, memilih pergi meninggalkan Theo yang terlihat kesal. Melangkah mendekati sebuah danau yang begitu tenang, berniat membasuh wajahnya yang berkeringat akibat dia yang baru selesai berlatih menggunakan pedang beberapa waktu lalu.

Tentu saja bersama Theo karena dia butuh bantuan pria itu untuk menggunakan pedang dengan baik. Jika di pikir sejak awal dia hanya menebas dengan asal walau memang dia berakhir menang karena bantuan sihir petir-nya.

"Hei..! Orang gila!"

Damian hanya diam, mengabaikan ucapan Theo yang sudah biasa dia dengar sejak dulu. Sepertinya dia memang sudah sangat terbiasa hidup di dunia ini, bahkan panggilan yang di berikan Theo padanya terdengar biasa saja untuknya.

Merasa di abaikan membuat Theo kesal, menunjukkan seringai kecil sebelum dia melemparkan air ke arah Damian. Dia tertawa, merasa puas akan apa yang baru saja dia lakukan. Salah sendiri dia di abaikan, jika saja Damian lebih ramah mungkin dia tidak akan melakukan hal ini padanya.

Pakaiannya basah, tentu saja bahkan dia bisa merasakan hawa dingin yang menusuk ke tulangnya tanpa bisa dia hiraukan. Berdecak sebelum Damian menoleh, menatap Theo dengan tatapan tanpa ekspresi.

Tawanya terhenti, menatap takut pada tatapan Damian yang sama seperti dulu. Sepertinya dia berhasil membuat Damian marah dan entah kenapa Theo jadi ketakutan saat ini "Damian..?"

Tidak ada jawaban, yang ada hanyalah Damian yang tidak bergeming dari tempatnya sama sekali. Theo berdehem, bergerak bangkit lalu mundur beberapa langkah sebelum dia di kejutkan dengan petir yang menyambar di belakangnya.

Napasnya tercekat, keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Perlu di ingat, bahwa Damian jika marah itu sangat mengerikan bahkan menurutnya lebih mengerikan Damian saat ini di bandingkan para monster yang menyerang mereka.

"Da--mian" ucapnya dengan terbata-bata, menatap takut pada Damian yang masih saja diam bak patung.

"A-kan a--ku...."

"Tidak perlu!"

Suara berat Damian membuat Theo memejamkan matanya rapat-rapat. Tangannya bahkan sudah bergetar saat mendengar helaan napas kasar Damian.

"Ada yang perlu kau lakukan sebagai gantinya" ucap Damian lagi lalu mendorong tubuh Theo ke arah danau dengan kasar.

Theo terkejut, kedua belah mata itu terbuka lebar menatap ke arah air yang membasahi seluruh tubuhnya. Tangannya bergerak cepat, berenang ke atas sebelum mengambil napas sebanyak-banyaknya.

Ini gila, rasanya dia tidak mau menganggu Damian lagi setelah ini. Tapi ini juga salah Damian yang tidak mau menjawab pertanyaannya. Bukankah tidak salah baginya jika dia kesal dan marah pada pria itu. Tapi jika ini hasilnya, entah kenapa dia lebih memilih diam saja lain kali.

"Hah.. hah.."

"Kau gila!!"

Theo berteriak, menarik surai yang menutupi matanya ke arah belakang. Maniknya berkedip, mencoba fokus pada Damian yang berjalan menjauh darinya. Untung saja ini bukan danau yang penuh monster, jika iya mungkin dia sudah mati di tarik Kraken seperti Damian waktu itu.

Dengan terpaksa Theo bergerak keluar dari air, merasakan dinginnya udara malam yang mungkin akan membuatnya mati membeku "gila! Aku tidak mau menganggu Damian lagi!"

Theo berteriak, mengeluarkan apinya yang membuat pakaiannya cepat kering. Untung saja dia pemilik sihir api, jika tidak dia akan mati membeku di musim dingin ini. Musim di hutan ini sangat tidak menentu, bahkan dalam sehari bisa ada perubahan dua musim sekaligus. Aneh, tapi itulah kenyataannya.

Setelah pakaiannya kering Theo berjalan mendekati Damian, bahkan setiap langkahnya terus di iringi dengan umpatan tentang kelakuan Damian selama ini. Jika di ingat pria itu memang jarang menunjukkan isi hatinya kecuali saat membahas tentang dunianya.

Bukannya tidak suka, hanya saja dia berpikir akan lebih baik jika Damian bisa lebih terbuka walau kemungkinannya memang sangat kecil.

"Aku keringkan!" ucap Theo mengeluarkan apinya lalu membuat pakaian Damian kering tanpa perlu waktu lama.

"Maaf soal tadi"

Theo mendengus, tidak ada jawaban apa pun yang bisa dia dengar dari Damian. Padahal dia sudah baik hati mengeringkan pakaian Damian yang basah, beruntungnya Damian yang bertemu dengannya saat terjebak di dunia asing ini.

Dia jadi berpikir, bagaimana jadinya jika Damian bertemu dengan orang yang sikapnya sama sepertinya. Mungkin saja mereka tidak akan bisa akrab, dan Theo jadi tertawa saat memikirkan hal itu.

"Kau masih ingin tau tentang buku jingga ini" Damian bersuara, menatap ke arah Theo yang tersedak akibat ucapan Damian yang tiba-tiba.

"Uhuk.. uhuk.. apa aku tidak salah dengar?" tentu saja Theo terkejut, dia bahkan di abaikan karena membahas soal buku bersampul jingga itu tadi.

Tapi sekarang Damian dengan santainya menunjukkan buku itu padanya. Dan hal yang lebih membuat Theo terkejut adalah Damian yang mengangguk dengan sebuah sebuah tipis yang tidak pernah dia lihat selama ini.

"Kau tidak gila kan?"

Sepertinya Theo lupa apa yang sudah terjadi padanya karena melakukan tindakan bodoh pada Damian. Dan dia langsung tersadar saat melihat buku itu di tarik Damian lagi.

"Eh..! Oke! Oke aku salah" sahut Theo dengan cepat.

Damian menghembus napas pelan, membuka buku itu yang kosong tidak ada isinya.

"Kosong?"

"Kau memang bodoh ternyata" ucap Damian berdecak kesal akan apa yang di ucapkan Theo, sepertinya pria itu lupa bahwa dia pernah mengatakan jika isi buku ini akan berubah setiap saat dia buka. Atau jangan-jangan Theo saja yang tidak paham akan ucapannya waktu itu.

"Siapa yang bodoh!" dia kesal, bagaimana bisa Damian mengatakan bahwa dia bodoh hanya karena terkejut akibat buku bersampul jingga itu yang kosong?

Damian mendengus "kau mau tau atau tidak!?" dan Theo langsung mengangguk dengan semangat.

Tidak lama setelahnya sebuah gambar muncul, gambar yang terlihat buram namun masih bisa mereka lihat dengan baik. Gambar di mana terdapat sebuah pintu yang tertutup rapat dengan api yang melahapnya.

"Ini..?"