91. Tukang bakso setan!

Kami bertiga duduk di sebuah potongan kursi yang terletak di antara pintu gerbang pinggir jalan. Sepertinya keluarga Dimas sengaja membuatnya untuk sekedar duduk di sini saat senja atau sebagai tempat untuk tanaman hias mereka. Karena aku lihat, Ibu Dimas menyukai tanaman, dapat disimpulkan dari banyaknya pot dengan berbagai tanaman yang terawat.

"Laper deh," celetuk Dani sambil memegangi perutnya. Aku sampai lupa kalau kami belum makan malam. Apalagi dengan kejadian tadi yang membuat energi kami terkuras, tentu cacing di perut kami sudah berontak minta diberi makan.

"Iya, sama. Aku juga lapar. Duh, mana nggak ada tukang jualan makanan lagi," cetus Resti sependapat.

"Iya, tunggu saja kalau begitu. Mungkin sebentar lagi mereka keluar, jadi nanti kita bisa beli makan dulu sebelum pulang," kataku dengan rencana indah dan matang.