A Contract for Apples
"Rasakan ini!" pekik seorang pendekar bangsawan yang mengayunkan pedangnya ke arah Syuhada.
Pochi berniat untuk menghadangnya, namun tiba-tiba ada angin lembut menerpa tempat itu.
"Biar aku yang melakukannya, Pochi" ucap suara lirih yang seakan datang terbawa oleh angin lembut itu.
Lalu kemudian darah terciprat. Cairan merah itu muncrat dan membasahi tanah di sekitarnya. Namun itu bukan darah Syuhada. Karena Syuhada saat ini nampak baik-baik saja. Lalu sebuah tangan yang tampak menggenggam pedang pun jatuh ke tanah.
"AAARRGGGHHH!!" jerit pendekar bangsawan itu yang melihat kalau ia telah kehilangan tangan kanannya.
Darah mengucur keluar dari pergelangan tangannya dan ia berusaha menutupnya dengan telapak tangan kirinya. Darah itu terus mengalir karena telapak tangannya tentu tak bisa menutup luka itu dengan benar karena panik dan rasa sakitnya. Ia pun kini berlutut sambil merintih mencoba menahan rasa sakit itu.
"Apa? Apa yang terjadi? Kenapa tanganku tiba-tiba saja terpotong? Apa ada yang menggunakan sihir? Tidak, aku tak merasakan serangan sihir dari mana pun. Lalu kenapa ini terjadi?" pikir pendekar bangsawan itu sangat kebingungan.
Louis terlihat panik dan cemas. Adnan menatap kasihan pada pendekar bangsawan itu. Trenia matanya ditutup oleh Adnan. Syuhada menatap memegang keningnya seperti sedang pusing. Sementara Pochi memejamkan matanya sambil tetap tersenyum.
"Siapa? Siapa yang menyerangku tadi? Cepat katakan!" bentak sang pendekar bangsawan itu.
Namun tak ada yang menjawabnya. Karena memang tak ada yang tahu jawabannya. Bahkan Syuhada dan Pochi yang tahu juga tampak menolak untuk menjawab dan memilih tetap diam.
"Kalau kalian tak mau bicara, akan kubantai semua orang yang ada di sini! Tak peduli itu tua atau muda, laki-laki atau perempuan, semuanya akan kuhabisi! Jadi cepat katakan!!" tegas sang hunter semakin geram.
"Apa dia bodoh? Seharusnya dia sadar dia tidak berada pada posisi yang bisa memberikan ancaman apapun pada kami. Bukankah tangannya baru saja direnggut darinya tanpa ia bisa melakukan apa-apa?" komentar Syuhada dalam hatinya.
Pendekar bangsawan itu mengeluarkan sebuah botol kemudian menyemprotkan isian berwarna hijau cerah itu ke pergelangan tangan kanannya yang telapak tangannya telah menghilang. Seketika telapak tangan baru muncul, menggantikan telapak tangan yang telah terpotong.
"Harusnya aku menggunakannya untuk situasi yang lebih penting. Namun aku harus menggunakannya untuk hal sepele semacam ini" gerutu pendekar bangsawan itu.
"Apanya yang sepele. Nyawamu sedang terancam lho. Salah-salah, bukan pergelangan tanganmu yang dipotong, melainkan lehermu. Ardh kadang suka bertindak yang berlebihan tahu!" tegas Syuhada dalam hatinya.
"[Fireball]. Lihat ini, aku akan mengancukan tempat ini beserta kalian semua!" ujar pendekar bangsawan itu memunculkan sebuah bola api di telapak tangan kanannya yang diangkat tinggi ke atas.
Terlihat semakin lama bola api itu semakin membesar. Dan seiring semakin besarnya bola api itu senyuman di wajah hunter itu juga jadi semakin melebar.
"{Api, padamlah engkau.}"
Seketika api itu pun padam.
"Apa!? Apa lagi ini!?" ucap pendekar bangsawan itu semakin kebingungan.
"Tu—tuan, bisakah anda hentikan niat anda? Anda bisa—" ujar Louis yang terlihat sangat risau dan wajahnya dipenuhi keringat.
"Diamlah! Kau ternyata menyembunyikan sesuatu yang berbahaya ya, kepala desa! Akan kulaporkan hal itu kepada klienku supaya kalian semua yang ada di sini dilenyapkan!!" tegas pendekar bangsawan tersebut memotong.
"Itu sepertinya tak boleh dibiarkan. Wahai angin, sampaikanlah kepada Ardh, aku memintanya untuk datang kehadapanku sebentar" ujar Syuhada dalam hatinya.
Seketika sebuah topi hijau muncul, dengan tepian membentuk helaian daun semanggi berhelai empat, kemudian di bawah topi itu tampak pusaran angin muncul dan berputar kuat. Lalu pusaran angin itu lenyap dan digantikan oleh sosok Ardh yang berdiri tepat di samping kanan Syuhada.
"Itu cara datang yang berlebihan. Padahal dia tinggal jalan saja kemari. Cuma beberapa meter saja kan" komentar Syuhada dalam hatinya.
"Tapi aku ingin terlihat bagus untuk tuan Hada. Jika datangku biasa-biasa saja, maka mereka akan menganggap tuan Hada juga biasa" jawab Ardh yang seolah bisa mendengar suara hatinya.
"Tapi aku tak pernah minta untuk dianggap luar biasa. Jadi biasa saja lebih baik" balas Syuhada dengan suara berbisik.
"Tuan Hada jangan begitu! Tuan Hada itu luar biasa! Seluruh dunia harus tahu keluar biasaan tuan Hada!" tegas Ardh.
"Ah, terserahlah. Bahas itu nanti saja. Coba beri peringatan pada orang didepanku ini. Kelihatannya dia adalah orang yang penting dalam transaksi apel ini, jadi hindari memberikannya luka yang terlalu fatal" pinta Syuhada.
"Baik, tuan Hada" sahut Ardh.
Trenia yang matanya masih ditutup oleh Adnan pun kebingungan.
"Eh, ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa mataku ditutup, kek? Dan suara siapa itu tadi? Bicaranya kurang jelas, tapi apa itu suaranya Syu?" ujar Trenia bertanya-tanya penasaran.
Sementara itu, ayah, ibu, serta kakeknya hanya bisa terdiam. Sedangkan Louis tampak sedikit terkejut.
Sementara itu, pendekar bangsawan itu tampak terfokus kepada Ardh yang baru saja datang. Ia tampak terkejut karena melihat seorang perempuan yang begitu cantik berdiri di depannya. Malahan ia belum pernah melihat perempuan yang secantik itu sebelumnya. Hal itu membuatnya tak bisa memalingkan muka dari wajah Ardh, terutama dari tatapan matanya yang hanya terlihat sebelah, karena yang sebelah lagi tertutup tepian topi.
"Oh, mengejutkan. Desa ini ternyata memiliki bunga yang sangat cantik" ujar pendekar bangsawan itu memuji Ardh.
"Teknik rayuanmu klise sekali ya" komentar Ardh.
"Apa?!" sahut pendekar bangsawan itu terkejut.
"Dan juga aku bukan warga di sini, jadi pujianmu itu tidak valid" tambah Ardh.
"Oh, begitu ya. Pantas saja. Tidak heran kalau kamu berbeda dari warga desa ini yang kebanyakan hanya ada kakek-kakek, dan nenek-nenek saja" ujar pendekar bangsawan tersebut.
"Jadi apa masalahmu sampai kamu hendak menyerang majikanku?" tanya Ardh langsung ke intinya.
"Majikanmu?" sahut pendekar bangsawan itu keheranan.
"Ya, anak yang hendak kamu serang tadi adalah majikanku. Karena itu lah aku sampai bertindak dan memotong tanganmu" jelas Ardh sambil tersenyum.
"Melindungi majikan memang tugas pelayan. Tapi aku terkejut, anak seperti dia bisa mempekerjakan penyihir seterampil dan secantik dirimu. Kamu anak bangsawan mana, nak?" tanya pendekar bangsawan itu kemudian bertanya pada Syuhada dengan nada yang ramah dan sopan.
"Beliau bukan anak bangsawan maupun saudagar" yang menjawabnya malah Ardh.
Tatapan pendekar bangsawan itu pun akhirnya kembali diarahkan ke arah Ardh.
"Beliau mempekerjakanku, karena aku memang tak memiliki pekerjaan lain selain itu" jelas Ardh sambil melirik ke arah Syuhada.
"Oh, dengan kata lain, nona menganggur saat itu sehingga tak punya pilihan selain menerima pekerjaan dari anak kecil sekalipun? Hahaha… begitu rupanya. Dibayar berapa memangnya nona untuk jadi pelayannya?" tanya pendekar bangsawan itu.
"Aku tak dibayar sepeserpun untuk itu" jawab Ardh.
"Apa? Sungguh tuan yang tak tahu diri!" ucap pendekar bangsawan itu.
"Hah?" ucap Ardh terlihat sangat keberatan.
Namun pendekar bangsawan itu tak melihat perubahan ekspresi Ardh karena kini ia menatap ke arah Syuhada dengan bertingkah kesal dan jengkel.
"Jika kamu berniat mempekerjakan seseorang, berikanlah bayaran yang layak, dasar bocah ingusan! Jangan sok-sokan mempekerjakan orang, apalagi nona secantik ini, jika kamu tak sanggup membayarnya!" gerutu pendekar bangsawan itu.
"Perkataannya memang benar, tapi wajah songongnya membuatku kesal. Lagipula bukan salahku aku tak membayar mereka. Mereka sendiri yang seenaknya menganggap diri mereka sebagai pelayanku meski aku tak memintanya. Bahkan mereka mengatakan tak apa meski tak mendapatkan bayaran asal bisa melayaniku. Jadi jika ingin protes, proteslah pada mereka" gerutu balik Syuhada dalam hatinya.
"Benar-benar anak tak tahu diri. Tak kusangka ada anak seperti ini di zaman ini" tambah pendekar bangsawan itu lalu menghela napasnya.
Ardh pun tampak menghela napas sambil memejamkan matanya.
"Nona, sudah tinggalkan saja dia. Dan bagaimana jika nona bekerja saja denganku? Aku akan membayarmu dengan layak, dan akan kujamin kehidupanmu juga. Anak sialan ini tak layak untuk mendapatkan pelayanan nona secantik dirimu" ujar pendekar bangsawan itu.
"Tidak, terima kasih. Aku sudah senang dengan pekerjaanku saat ini" tolak Ardh.
"Apa!? K—kalau begitu bagaimana dengan bonus? Ya, benar! Akan kuberikan bonus tempat tinggal yang mewah! Dengan begitu kamu takkan perlu khawatir tak memiliki tempat tinggal lagi" balas pendekar bangsawan menawarkan lebih banyak.
"Sebelum mengatakan itu, bukannya kamu harus pastikan dulu kalau orang yang kamu tawari itu memang tak memiliki tempat tinggal?" protes Ardh.
"Celaka! Ini malah seolah aku menghinanya dengan mengatakan kalau dia tunawisma!" pikir pendekar bangsawan itu dalam pikirnya.
Baru sadar akan kesalahannya, pendekar bangsawan itu pun panik.
"T—tidak, bukan itu maksudku" ucap pendekar bangsawan itu mencoba meluruskan.
"Tak apa-tak apa. Lagipula aku juga dari awal tak tertarik dengan seluruh tawaranmu itu. Lebih penting dari itu, boleh kah aku tanya kenapa kamu mencoba menyerang majikanku?" tanya Ardh sambil tersenyum ramah pada pendekar bangsawan itu.
[§ Hamba ini juga penasaran dengan itu. §]
Pochi ikut berbicara dan bersikap layaknya seorang butler.
"J—jangan bilang kamu juga pelayan anak ini?" tanya pendekar bangsawan itu.
[§ Tepat sekali. §]
"Kenapa? Kenapa kalian melayani anak kecil yang tak bisa membayar kalian? Bagaimana cara kalian hidup jika tanpa uang?" tanya pendekar bangsawan itu.
"Uang bukanlah sesuatu yang mutlak. Tanpanya, kami tetap bisa bertahan hidup dengan berburu dan semacamnya. Semua itu hal yang mudah untuk kami" jawab Ardh.
[§ Hamba ini setuju. §]
"Kalau begitu, kenapa kalian mau menjadi pelayan? Kalian bisa hidup sendiri?" tanya pendekar bangsawan itu lebih jauh.
[§ Sepertinya pembicaraan ini sudah melenceng terlalu jauh. §]
"Tidak, Pochi. Biarkan aku menjawabnya" pinta Ardh.
Sikap kedua orang di depannya itu, membuat pendekar bangsawan itu semakin heran. Malahan ia kini menatap ke arah Syuhada dengan tatapan yang penasaran.
"Apa yang dilakukan oleh anak ini kepada mereka sehingga mereka seloyal itu kepadanya? Apa anak ini punya sihir pengendali pikiran atau semacamnya?" tukas pendekar bangsawan itu dalam benaknya.
"Maaf, aku tak punya sihir semacam itu. Malahan aku tak bisa menggunakan sihir apapun sejak sejauh yang ada diingatanku. Benar begitu, kan?" ujar Ardh dalam hatinya.
「Dapat kami pastikan kalau The One Who Have Guidance memanglah tak bisa menggunakan sihir. The Creator of All Creations tidak mengizinkanmu untuk bisa menggunakannya.」
"Kenapa?" tanya Syuhada dalam hatinya.
「Jawabannya akan kamu ketahui saat sudah waktunya.」
Setelah jawaban itu, Syuhada berhenti bertanya lebih jauh.
"Hei, kamu penasaran kenapa kami sampai segitunya dalam melayani majikan kami kan? Sampai kami rela untuk terus menjadi pelayan meski tak dibayar" ujar Ardh dengan nada serius.
Perhatian pendekar bangsawan itu pun kembali beralih ke arah Ardh.
"Maka jawabannya adalah, karena kami mengabdi kepada tuan Hada, untuk mengabdi kepada The Creator of All Creations. Jika kami meninggalkan pengabdian kami, maka itu sama saja dengan mengkhianati The Creator. Kamu sudah mengerti sekarang?" ungkap Ardh kemudian bertanya.
"Tidak, aku tidak mengerti. Dan siapa itu The Creator? Tukang pahat patung??" sahut pendekar bangsawan itu bertanya dengan bingung.
Mendengar itu, Ardh dan juga Pochi langsung mengeluarkan aura yang mengerikan. Dari tubuh Ardh keluar aura berwarna hijau keemasan, sementara dari Pochi keluar aura gelap yang penuh horror dan terror. Langit menjadi gelap, suasana menjadi sunyi. Udara terasa dingin meski bukan karena turunnya suhu, lalu udara tiba-tiba menjadi stagnan. Seakan realita di sana berhenti, semuanya benar-benar statis layaknya ketika seorang sadar jantung yang tadinya berdetak kemudian berhenti tanpa sebab.
"Berhenti!" bentak Syuhada.
Seketika aura yang keluar itu pun terhenti. Semua fenomena yang dirasakan pendekar bangsawan itu juga seketika lenyap.
Syuhada tampak menghela napasnya sambil menjambak pelan poni rambutnya dan menggaruk ubun-ubunnya dengan perasaan pusing. Ia berusaha menenangkan dirinya saat ini yang sedang diliputi oleh amarah.
"Ardh, Pochi, biarkan saja. Sepertinya dia bisa berkata begitu karena dirinya tak tahu. Jadi jangan amuk dia, cukup beritahu saja. Dan setelah itu, mau dia menerima atau tidak, itu urusannya sendiri" ujar Syuhada dalam hatinya.
[§ Master mengatakan— §]
"Ya, aku sudah tahu. Aku bisa mendengar suara hatinya dengan koneksi ruh kami" ungkap Ardh.
[§ Mengejutkan. §]
"Kamu tak perlu terkejut. Itu hal yang biasa untuk yang memiliki ikatan ruh dengan tuan Hada" balas Ardh.
Pendekar bangsawan itu tampak diam terpaku. Ia seakan menjadi sebuah manekin, dan berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Hanya saja matanya yang bergetar, dan keringat dingin yang bercucuran di wajahnya, menunjukkan kalau ia masihlah manusia dan bukan boneka untuk memajangkan pakaian itu.
"The Creator of All Creation, adalah pencipta dari segala ciptaan. Yang berarti, DIA adalah PENCIPTA kita semua, berikut segalanya yang ada di alam semesta ini. Yang di langit, maupun yang di bumi, beserta semua pengisinya, adalah ciptaanNYA. Karena itu, maka DIA adalah TUHAN yang semestinya kita sembah. Apa kamu sudah mengerti?" jelas Ardh.
"Y—y—ya!" sahut pendekar bangsawan itu dengan panik dan ketakutan.
"Bagus" ucap Ardh sambil tersenyum.
Setelah Ardh berkata begitu, pendekar bangsawan itu langsung jatuh lemas seperti boneka bertali yang dipotong tali kendalinya. Terlihat genangan air mulai menggenang membasahi tanah.
"Sepertinya kalian terlalu berlebihan mengeluarkan amarah dan keinginan membunuh kalian tadi" gerutu Syuhada dalam hatinya.
"S—soalnya dia menghina The Creator! Bukannya tuan Hada juga marah tadi?" balas Ardh berbalik ke arah Syuhada.
"Ya, aku tak membantah itu. Tapi setidaknya aku berusaha menahan diriku karena aku tahu paman ini tak tahu apapun tentang The Creator, makanya dia berkata seperti itu" jawab Syuhada dalam hati.
"Lalu bagaimana tuan Hada bisa mengetahui hal itu?" tanya Ardh.
"Entahlah, aku merasa seperti ya tahu saja. Perasaan yang sama dengan kemampuan pembacaan kebohongan" jawab Syuhada lagi dalam hati.
"Tunggu, tuan Hada memiliki kemampuan itu!?" sahut Ardh terkejut.
"Benar juga, aku belum pernah bilang kepadamu sebelumnya ya" balas Syuhada dalam hati dengan acuh tak acuh.
"Ya, aku juga tak memiliki alasan untuk berbohong kepada tuan Hada sih. Jadi tak perlu merasa cemas tentang kemampuan tuan Hada yang itu" pikir Ardh sambil memegang dagu.
"Apa aku juga harus bilang kalau aku bisa membaca hati? Sepertinya tak perlu. Setidaknya untuk saat ini" ujar Syuhada dalam hati.
[§ Jadi sekarang bagaimana, Master? Sepertinya pengantar kita tidak akan bisa untuk melakukan tugasnya dalam waktu dekat ini. §]
"Apa kamu bisa melihat di hilir sungai ini yang kemungkinan menjadi tujuan mereka?" tanya Syuhada dalam hatinya.
[§ Ya, hamba melihatnya. §]
"Kalau begitu, maka kamu bisa menggantikan orang ini untuk mengantar kalian ke sana kan, Pochi?" ungkap Syuhada dalam hati.
[§ Tentu saja. Itu hal yang mudah bagi hamba. §]
"Bagus. Kalau begitu sampaikan kepada mereka yang sedari tadi di belakang kita itu" pinta Syuhada dalam hati.
[§ Sesuai keinginan Master. §]
Pochi berbalik dan menghadap ke arah Louis dan keluarga besar Woodson yang memang sedari tadi hanya bisa menonton.
[§ Hamba ini akan menyampaikan kabar baik serta kabar buruk. Kabar buruknya adalah ternyata yang akan mengantarkan hamba ini dan kepala desa ke tempat transaksi saat ini sedang berada dalam kondisi yang takkan mampu melaksanakan tugasnya. Namun kabar baiknya adalah. hamba ini akan menggantikan untuk mengantarkan kepala desa ke tempat transaksi. §]
"Me—memangnya kau tahu tempatnya!?" tanya Louis.
[§ Tinggal menyusuri sungai ke hilir saja kan? §]
Pochi mengatakan itu sambil menggulirkan tatapannya ke arah Louis. Wajahnya yang selalu tersenyum memberikan kesan intimidasi tersendiri ketika ia melirik dengan mata menyipit seperti sekarang.
"Y—ya" sahut Louis.
[§ Kalau begitu, hamba ini sudah menemukannya. Jadi tak perlu khawatir. §]
"A—apa kami bisa menyerahkannya kepadamu?" tanya Donan masih sedikit meragukan Pochi.
[§ Apabila The Creator mengizinkan, maka semua bisa terjadi. §]
Setelah mengatakan itu, Pochi menghampiri tubuh pendekar bangsawan yang tak sadarkan diri, kemudian ia melemparkannya dan tubuh itu pun menghilang.
"Kupikir kamu akan memanggulnya, Pochi" ujar Ardh.
[§ Najis. §]
"I—itu bukannya terlalu kasar?" komentar Ardh sedikit terkejut dengan perkataan Pochi itu.
[§ Apanya? Bukankah air kencing memang najis? §]
"Oh, jadi itu maksudmu" sahut Ardh baru sadar.
[§ Memangnya menurut Ardh sendiri apa? §]
"T—tidak, bukan apa-apa" sanggah Ardh.
Pochi menoleh ke arah Louis yang hanya bisa bengong melihat itu.
[§ Kenapa diam saja di sana? Ayo! §]
Mendengar panggilan dari Pochi, Louis langsung tersentak. Ia kemudian menoleh ke arah Pochi dengan panik.
"B—baik!" sahut Louis.
Louis pun buru-buru menghampiri Pochi.
[§ Kalau begitu, hamba berangkat, Master. §]
"Ya, berhati-hatilah di jalan" sahut Syuhada dalam hatinya.
Pochi membungkuk pada Syuhada dan kemudian pergi meninggalkan Syuhada, Ardh, dan keluarga besar Woodson di sana. Louis mengikuti Pochi dengan wajah berkeringat yang canggung dan sedikit ketakutan.
Setelah Pochi pergi bersama Louis, Syuhada menoleh ke arah Ardh.
"Bagaimana dengan kios kita? Apa semuanya sudah beres?" tanya Syuhada dalam hatinya kepada Ardh.
"Belum. Tapi tenang saja, saat kita berbicara, prosesnya masih terus berjalan. Apa tuan Hada ingin melihatnya?" sahut Ardh kemudian bertanya balik.
"Baiklah, bawa aku ke sana" pinta Syuhada dalam hati.
"Baik, tuan Hada. Lalu bagaimana dengan kalian, mau ikut melihat juga?" balas Ardh pada Syuhada, lalu beralih bertanya kepada keluarga besar Woodson.
"Aku mau ikut!" ucap Trenia.
"Aku tidak usah. Aku ingin kembali saja ke rumah" ujar Adnan.
"Ya, aku dan istriku juga akan kembali ke rumah saja" ungkap Donan sambil mewakili istrinya.
"Ya sudah, Trenia biar kami yang jaga. Ayo, Trenia!" ujar Ardh.
"Ya!" sahut Trenia.
Kemudian Syuhada, Ardh, dan Trenia pun masuk ke area dapur kios. Sedangkan, Adnan, Donan, dan Telia kembali ke rumah mereka.
****
Pochi dan Louis berjalan menuju ke arah sungai. Mereka melalui sebuah jalan setapak yang tersembunyi di bagian belakang rumah Louis dan akhirnya sampai di tepi sungai yang mengejutkannya ada sebuah perahu yang berukuran cukup besar terparkir di sana. Perahu tanpa layar dengan banyak dayung panjang di sisi kiri dan kanannya.
Para kru perahu itu melihat kedatangan Pochi dan Louis dan mereka pun tampak langsung terkejut.
"Siapa kalian!?" tanya salah seorang dari mereka sambil mencabut sebilah pedang dari pinggangnya.
"Namaku Louis Sullenfield. Aku adalah kepala desa di desa ini. Aku kemari untuk minta diantarkan ke tuan Dronum" jawab Louis maju ke depan.
"Diam di sana! Dari mana kamu tahu nama itu!?" tanya orang yang kini mengacungkan pedang kepada Louis itu.
"Tunggu sebentar, aku bisa menjelaskan semuanya! Aku adalah—" pinta Louis sambil terus berjalan menghampiri orang itu.
"Aku bilang diam di sana!" bentak orang itu sambil melompat maju dan kemudian mengayunkan pedangnya ke tubuh Louis.
Namun setelah ditebas, terlihat tubuh Louis tidak apa-apa. Bahkan tak ada tanda-tanda goresan atau luka sedikit pun di tubuhnya. Orang yang menebasnya itu pun kebingungan.
[§ Tuan kisanak harusnya lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan tergesa-gesa menyerang seseorang sebelum tahu siapa dan apa maksud kedatangan orang itu. Karena bisa jadi tuan kisanak akan celaka kalau berurusan dengan orang yang salah. §]
Pochi berjalan lewat di samping Louis sambil memegang sebuah pedang dengan menjepit bilah ujung tajamnya dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya.
"Pe—pedangku!? Sejak kapan!!??" ucap orang yang hendak menebas Louis sebelumnya itu lalu melirik ke arah tangannya sendiri.
Dan rupanya pedang di tangannya telah hilang. Yakinlah dia kalau saat ini pedang yang ada di tangan butler itu adalah pedang miliknya. Meski ia bingung dan pertanyaan meledak di dalam kepalanya tentang cara pedang itu bisa berpindah tangan tanpa ia sadari. Ia menatap Pochi dengan penuh kecemasan.
"T—terima kasih, tuan Pochi" ucap Louis.
[§ Tak perlu berterima kasih. Master telah memerintahkan hamba ini untuk membawa kepala desa kembali dengan selamat. §]
Pochi kemudian menyodorkan pedang itu ke arah pemiliknya. Orang tersebut pun mengambilnya dan melompat mundur secara reflek menjauh dari orang yang dianggapnya berbahaya.
"Katakan padaku, siapa kalian ini?" pinta orang itu berkuda-kuda dengan tangan yang gemetar.
[§ Seperti yang kepala desa hendak jelaskan, tentunya sebelum tuan kisanak potong penjelasannya, kami ini adalah orang yang hendak melakukan transaksi dengan orang yang bernama Dronum. §]
"Bertransaksi? Tunggu, apa kalian adalah kurir yang mesti kami antar? Tapi majikan kami bilang kalau kurir kami akan membawa sebuah [Widen Chest] bersamanya. Tapi kalian datang dengan tangan kosong" ujar orang yang melonggarkan kuda-kudanya tersebut.
[§ [Widen Chest]??? Itukah nama alat sampah itu? Sayang sekali, kami saat ini tak membutuhkan alat itu. Kami punya metode penyimpanan yang lebih baik dari itu, jadi kami menolak untuk menggunakan sesuatu yang lebih inferior. §]
"Tapi tanpa itu, bagaimana kami bisa yakin kalau memang kalian lah klien dari majikan kami?" tanya orang itu mulai menguatkan kuda-kudanya lagi.
[§ Bukankah kalian sedang mengerjakan suatu proyek di hilir sungai? §]
Pertanyaan balik Pochi membuat semua orang kaget, tak terkecuali Louis yang berada di sebelahnya seketika menoleh ke arah Pochi dengan wajah terkejut.
"Bagaimana dia bisa tahu hal itu? Aku tidak pernah mengatakan apapun tentang proyek itu pada siapapun di desa ini. Kenapa ia bisa mengetahui hal itu?" gumam Louis dalam benaknya kebingungan.
"Darimana dia tahu hal itu? Tunggu, tentu saja itu sudah jelas kan? Proyek itu adalah proyek yang sangat rahasia. Apabila ada yang tahu tentang proyek itu, maka sudah pasti dia adalah orang yang berhubungan dengan proyeknya" pikir kru perahu yang berkuda-kuda. itu.
Setelah menyadari keterhubungan mereka, akhirnya kru perahu itu mulai melemaskan kuda-kudanya dan menyarungkan lagi pedangnya.
"Sepertinya kalian memang klien dari majikan kami. Ayo naik ke kapal, kita tak punya banyak waktu untuk bersantai. Setelah Kirdika kembali, kita akan langsung pergi ke tempat tuan Dronum" ajak kru perahu itu.
[§ Hamba ini senang akan kebijaksanaan tuan kisanak. §]
Kemudian Pochi mulai naik ke perahu, diikuti oleh Louis di belakangnya.
[§ Kalau boleh hamba ini bertanya, Kirdika yang kalian sebutkan itu siapa? §]
"Dia adalah pengawas kami. Seorang bangsawan yang juga seorang ‹Hunter› kelas A. Kallus Kirdika, dari kota Balastos. Dia adalah kenalan tuan Dronum jadi ia sangat dipercaya oleh majikan kami itu" jelas kru perahu yang mempersilahkan mereka naik itu.
[§ Oh, maksud tuan adalah orang ini? §]
Pochi mengayunkan tangan kanannya, dan dari ayunan itu muncul sesosok manusia yang terlempar dan jatuh tergeletak di lantai perahu. Celana orang itu tampak basah, dan badannya lemas bagai boneka. Melihat hal itu, lantas semua orang pun terkejut bukan main.
Laki-laki yang bernama Kallus Kirdika itu tampak masih tak sadarkan diri.
[§ Orang ini tiba-tiba saja menyerang kami sewaktu di desa, sehingga hamba ini terpaksa mesti mengurusnya dengan baik. Dan beginilah hasilnya. §]
Tiba-tiba semua orang langsung mencabut senjata mereka dari sarungnya dan mulai mengepung Pochi juga Louis. Mereka telah tersudut di tengah lingkaran para kru perahu yang sudah mengacungkan pedang dan belati. Namun berbeda dengan Louis yang terlihat tegang dan panik, Pochi masih tersenyum ramah dengan santai.
"Apa yang sudah kalian lakukan padanya?" tanya salah seorang dari kru perahu itu pada Pochi dan Louis.
[§ Bukankah sudah hamba ini bilang, hamba ini telah mengurusnya. §]
"Jadi kalian telah membunuhnya, begitu?" tukas kru perahu itu.
"Tunggu kalian semua, ini semua bisa kami jelaska—" ucap Louis.
"Serang!" pekik kru perahu memotong perkataan Louis.
Semua kru perahu pun menyerang ke arah Pochi dan Louis secara serentak.
[§ Bodoh. §]
Bersama dengan satu kata itu, tiba-tiba saja para kru perahu itu jatuh tersungkur secara serentak. Namun jatuh mereka bukan seperti jatuh tersandung, melainkan jatuh seperti boneka yang dilepaskan oleh tangan pengendalinya di tengah aksi.
Louis syok sekaligus kebingungan melihat kejadian itu.
[§ Bukan berarti hamba ini membutuhkan kalian atau takut pada kalian. Hamba ini bisa saja merebut perahu ini atau bahkan pergi sendiri ke tempat tujuannya. Hanya saja hamba ini menghargai formalitas dan perintah Masternya. Itu saja. §]
Setelah mengatakan itu, Pochi kemudian menoleh ke arah Louis. Di tatap oleh Pochi, Louis seakan menjadi menciut dan keringat dingin kembali muncul membasahi wajahnya yang setengah pucat.
[§ Hamba ini bertanya, apa tidak masalah jika kita hanya pergi berdua saja ke lokasi transaksi? §]
"K—kupikir tidak masalah" sahut Louis.
[§ Lalu, apakah klien kepala desa itu juga menerima jual-beli jantung manusia? §]
"Hah?" ucap Louis kaget dengan pertanyaan kedua itu.
[§ Lupakan yang hamba ini katakan. Ayo kita berangkat. §]
"B—baik" sahut Louis.
Pochi mengayunkan lengannya. Seketika tubuh semua kru perahu itu lenyap. Yang tersisa hanya tubuh Kallus Kirdika yang memang masih hidup dan hanya tak sadarkan diri.
Pochi mengacungkan jari telunjuk tangan kanannya, kemudian ia membuat gerakan putar seolah menciptakan lingkaran di udara, bersamaan dengan itu perahu berbalik dengan terlihat sangat mudah dan ringan. Lalu Pochi menunjuk ke depan dan perahu pun maju ke depan dengan kecepatan yang statis. Namun terlihat dayung-dayungnya tak bergerak, seakan perahu itu bergerak seperti perahu mainan yang digerakkan dengan cara di dorong di atas permukaan air oleh yang memainkannya.
Melihat semua hal tak masuk akal itu Louis hanya bisa bengong. Ia seperti sudah menyerah untuk mempertanyakan lagi segala hal yang dilihatnya. Ia pun duduk lemah di lantai perahu sambil bersadar ke sebuah dinding. Ia melihat sosok Pochi di hadapannya itu sebagai sosok yang lebih mengerikan dari iblis.
Perjalanan menuju ke lokasi transaksi pun berjalan dengan mulus.
Perahu kini sampai di sebuah danau yang cukup luas. Pochi menepikan perahu di tepi sungai sebelum sampai ke danau, dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menembus hutan mengitari danau tersebut.
"K—kita akan kemana?" tanya Louis.
[§ Tentu saja ke tempat orang yang bernama Dronum itu berada. Yang berangkutan telah mengganti lokasi kemahnya ke atas bukit itu. §]
Pochi menunjuk ke arah sebuah bukit yang tampak memiliki lapangan berumput. Terlihat di sana seperti ada beberapa bangunan temporer dengan asap putih tipis yang mengepul tinggi ke langit. Menandakan kalau di sana ada sebuah perkemahan yang didirikan oleh sekelompok orang.
"Darimana dia bisa tahu hal itu? Aku saja tidak tahu tuan Dronum mengganti lokasi kemahnya ke sana" pikir Louis.
Sekian lama berjalan, akhirnya mereka pun sampai di lokasi yang mereka tuju. Tepat seperti yang dikatakan oleh Pochi, memanglah tempat itu adalah sebuah perkemahan. Perkemahan militer yang sangat besar yang tampak menampung pasukan dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan jumlah mereka lebih banyak daripada penduduk desa di desa tempat tinggal Louis.
Pochi dan Louis yang sampai tepat di depan pintu masuk perkemahan bisa melihat berbagai orang berlalu lalang untuk mengerjakan pekerajaan mereka masing-masing. Ada yang sedang berlatih, ada yang sedang lari jogging mengelilingi perkemahan, ada yang sedang merawat senjata atau jirah mereka, dan sebagainya.
Pochi dan Louis pun masuk ke perkemahan, namun mereka dihentikan oleh dua prajurit yang sedang menjaga gerbang.
"Berhenti di sana. Apa urusan kalian ke mari?" tanya salah satu prajurit itu.
"Aku adalah Louis Sullenfield. Aku kemari untuk berbisnis dengan tuan Dronum. Aku sudah ada janji dengan beliau, jadi tolong sampaikan kedatanganku kepada beliau" ungkap Louis.
"Begitukah. Kalau begitu tolong tunggu di sini sebentar. Kalian tidak boleh masuk. Aku akan menyampaikannya kepada tuan Dronum dulu untuk memastikan kebenaran perkataan kalian" pinta prajurit itu.
Kemudian prajurit itu pergi meninggalkan satu prajurit lagi untuk mengawasi Louis dan Pochi. Dan terlihat prajurit yang ditinggal itu tampak menatap Pochi dengan keheranan karena wajah Pochi yang tampak ambigu.
"Kamu ini laki-laki atau perempuan?" tanya prajurit tersebut.
[§ Hamba ini serahkan pada penilaian tuan prajurit. §]
"Hmm… entahlah aku bingung. Aku menyerah!" tegas prajurit itu.
Setelah beberapa lama, akhirnya prajurit yang pergi itu kembali. Kini ia datang bersama dengan seorang laki-laki yang berusia 30-an yang tampak berwibawa. Ia memakai pakaian mewah bangsawan, namun dengan dilapisi oleh pelat logam menandakan kalau pakaian itu juga digunakan untuk pertarungan. Sebilah pedang jenis one-handed sword dengan bilah tipis dan kecil tampak menggantung di pinggangnya dalam sebuah sarung pedang yang indah.
"Kamu lama sekali, Louis Sullenfield! Padahal aku memintamu untuk datang pagi, tapi kenapa siang begini baru datang!?" gerutu laki-laki berambut dan berkumis cokelat itu.
"M—maafkan saya, tuan Dronum! Karena berbagai alasan saya jadi tak bisa datang sesuai waktu yang saya janjikan" sahut Louis membungkuk.
"Aku tak butuh alasanmu! Cepat, mana apel-apel itu!" tanya laki-laki yang bertubuh tinggi besar itu.
Louis pun menoleh ke arah Pochi.
[§ Maaf, tuan bangsawan. Sebelum hamba ini mengeluarkan apel-apel tersebut, bisakah kita selesaikan terlebih dahulu transaksinya? §]
"Transaksi? Transaksi apa?" tanya Dronum itu dengan nada bingung.
[§ Tentu saja transaksi jual beli apelnya. §]
"Jual beli? Hahahaha! Louis, orang yang kamu bawa ini lucu sekali! Hahahaha!" ujar Dronum sambil tertawa terbahak-bahak.
[§ Apa maksudnya ini, kepala desa? §]
Pochi melirik ke arah Louis. Meski mulutnya masih tersenyum, tampak sorot matanya penuh dengan intimidasi. Dan hal itu membuat Louis terkejut serta takut, keringat dingin semakin deras mengucur dari wajahnya.
"Hahahaha! Bukankah sudah jelas? Sullenfield telah menipumu, pelayan! Sejak awal memang tak pernah ada perjanjian transaksi jual beli. Semua apel itu memang sudah seharusnya jadi milikku, dan sebagai gantinya aku akan mengampuni nyawanya dan mengizinkannya untuk pindah ke kota, sementara desanya akan kami ratakan dengan tanah" ungkap Dronum.
[§ Meratakan desa dengan tanah? Apa maksudnya tuan bangsawan? §]
"Kerajaan kami sedang mengadakan proyek besar. Kamu lihat yang di sana itu?" jawab Dronum kemudian menunjuk ke arah bangunan di tepi danau.
Itu adalah bangunan yang besar, bangunan yang kokoh yang tampak menahan air danau dan mengendalikan seberapa banyak yang akan dialirkan ke aliran sungai di sisi lain bangunan itu. Dengan kata lain itu adalah sebuah bendungan.
[§ Bendungan, kah? §]
"Ya, itu adalah salah satu proyek kerajaan kami. Proyek untuk menyetabilkan pasokan air serta mengendalikan sistem irigasi untuk ladang dan perkebunan" ujar Dronum.
[§ Di tempat yang antah berantah seperti ini? §]
"Sepertinya kamu tidak mengerti ya? Ini adalah sebuah proyek yang besar. Bendungan ini hanyalah sebuah permulaan, proyek pembuka untuk proyek lainnya. Ya kamu takkan mengerti juga sih. Apalagi tak ada gunanya juga bagi kami menjelaskannya kepadamu" tambah Dronum meremehkan Pochi.
Namun Pochi nampak biasa saja. Tak ada perubahan sama sekali pada ekspresinya yang selalu tersenyum ramah itu.
"Jadi sekarang cepat berikan kepadaku apel-apelku! Disimpan di mana peti penyimpanan itu? Cepat bawa kemari! Berikan kepadaku!" suruh Dronum.
[§ Peti yang tuan bangsawan maksud itu tidak kami bawa. §]
"Apa!? Kalau begitu apel-apelku?" sahut Dronum.
[§ Kami tetap membawanya. Dan itu bukan apel-apel tuan bangsawan. Tidak sebelum tuan bangsawan menyelesaikan transaksi jual belinya. §]
"Sudah kubilang, itu semua memang sudah seharusnya menjadi apel-apelku. Karena semua tanah di sekitar sini sudah diberikan oleh kerajaan kepadaku! Baron Torigua Eider van Dronum!" tegas Dronum.
[§ Oh, jadi tuan bangsawan seorang Baron. Tapi meskipun tuan bangsawan adalah seorang Baron, bukan berarti tuan bangsawan bisa mendapatkan apapun dengan gratis dari tanah yang telah dipercayakan kepengurusannya kepada tuan bangsawan. §]
"Hahahaha! Aturan siapa itu? Di aturanku, apa yang ada di tanahku, maka semuanya adalah milikku. Apa yang rakyatku dapatkan hanyalah apa yang aku berikan pada mereka sebagai upah kerja mereka! Aku tak tahu kamu berasal dari mana, tapi ini bukan kotamu, pelayan! Ini adalah kotaku!" ujar Dronum menegaskan.
[§ Jadi dengan kata lain tuan bangsawan tak berniat membayar? §]
"Oh, tentu saja aku akan tetap membayarmu. Namun aku hanya akan membayar upah kurir kepadamu! Dan segini juga pasti sudah cukup kan?" sahut Dronum.
Dronum memasukan tangan ke kantongnya, ia mengambil beberapa keping koin yang kemudian langsung disodorkan kepada Pochi. Tak terlihat berapa jumlah koin dan koin jenis apa yang hendak diberikan kepada Pochi karena ia menyodorkannya dalam keadaan telapak tangan menutup menggenggam koin tersebut.
"Kenapa diam saja? Ayo cepat ulurkan tanganmu!" pinta Dronum.
[§ Tuan bangsawan pikir hamba ini bisa disuap? Master hamba menugaskan hamba ini untuk menjual apel, bukan untuk memberikannya secara cuma-cuma. §]
"Tch! Dasar tak tahu terima kasih! Sudah bagus kamu aku kasih uang! Sudah kubilang seluruh wilayah ini sudah menjadi wilayahku! Jadi apa yang ada di sini adalah milikku! Kalau aku mau, aku bisa merebut semua itu dengan paksa!" bentak Dronum tampak kesal.
[§ Apa di negara tuan bangsawan adalah sesuatu yang normal untuk mengakui hak milik suatu wilayah yang sudah ada penduduknya dan kemudian mengambil segala hal yang di wilayah tersebut atas dasar pengakuan secara sepihak? §]
"Itu memang yang biasa terjadi kan? Lagipula hutan ini secara hukum berada di wilayah kerajaan kami, jadi secara hukum itu sah jika kerajaan mau menghibahkan wilayah ini kepadaku! Kalian orang biasa tak bisa protes! Jadi, terima ini atau tidak sama sekali" tegas Dronum sambil mencoba membujuk Pochi untuk menerima koin emas itu.
[§ Hamba ini memilih untuk tak menerimanya. Dan hamba ini juga tak akan memberikan apel-apel itu kepada tuan bangsawan. §]
"Apa!? Berani sekali kau melakukannya! Apa kau mengajak perang dengan kerajaan kami?" tukas Dronum langsung menatap tajam pada Pochi.
[§ Itu tak masalah. Hamba ini sanggup apabila itu adalah syarat supaya kalian mau membayar apel-apel ini. §]
"Tch, padahal cuma pelayan, tapi kau sudah sesombong itu! Prajurit, serang dia! Beri dia pelajaran!" suruh Dronum.
[§ Jadi begini ya akhirnya. Kalau begini apa transaksi bisa dibilang gagal? Hamba rasa tidak. Apabila dia meminta apel atas nama negara, maka hamba hanya perlu menagih uangnya kepada kepala negaranya saja, bukan? §]
Saat Pochi bergumam berbicara sendiri, dua orang prajurit penjaga gerbang maju ke arahnya berniat menyerang. Namun belum sempat mereka menusukkan tombaknya kepada Pochi, tombak di tangan mereka hilang, dan tiba-tiba sudah menancap di tubuh mereka.
"A—apa yang terjadi?"
"A—aku tidak tahu."
Itulah percakapan terakhir mereka ketika sadar tubuh mereka sudah tertusuk tombak mereka sendiri tepat di bagian dada dan menembus hingga ke belakang. Dan serentak mereka pun jatuh bersimbah darah.
Dronum hanya bisa bengong. Ia bingung, syok, dan tidak bisa mencerna apapun yang terjadi saat ini di depannya. Kejadian di depannya benar-benar tak masuk akal. Dan semuanya terjadi dalam sekejap mata. Sehingga ia tak mampu memberikan reaksi apapun karena kejadian menciptakan ratusan pertanyaan di kepalanya sekaligus. Begitu pula dengan Louis yang berdiri di samping Pochi. Meski Louis saat ini bisa bereaksi dengan berekspresi penuh kengerian karena ia tahu kejadian itu disebabkan oleh kekuatan Pochi, butler yang berdiri di sebelahnya dengan terus tersenyum ramah seolah tak terjadi apa-apa.
[§ Kalau boleh tanya, apa semua yang ada di sini adalah prajurit? Atau ada rakyat sipil? §]
"Hah?" sahut Dronum yang tak memperhatikan karena masih syok.
[§ Lupakan saja. Hamba ini akan cari tahu sendiri. §]
Pochi kemudian menyisir perkemahan itu dengan penglihatannya. Dari sudut pandang Louis dan Dronum, Pochi saat ini hanya seperti hanya melihat perkemahan itu dengan menggerakan bola matanya. Mata Pochi yang seluruhnya berwarna hitam, dengan iris layaknya sebuah gerhana cincin berwarna kuning keemasan, membuat Dronum sadar ketika melihatnya kalau Pochi bukanlah manusia biasa. Atau mungkin Pochi bukanlah manusia sama sekali. Dan hal itu membuat Dronum bergidik merinding seketika.
[§ Begitu rupanya. Bukan hanya prajurit militer, tapi ada juga beberapa sipil yang memiliki kemampuan bertarung tinggi. Bahkan mungkin kemampuan tempur mereka lebih tinggi daripada semua yang merupakan prajurit militer. Mengumpulkan orang-orang seperti itu di sini, sebenarnya apa yang sedang tuan bangsawan rencanakan? §]
Pochi kini melirikkan matanya menatap langsung ke mata Dronum.
"D—dia mampu mengetahui itu dengan hanya melihat dari luar sini!? Apa matanya itu memiliki kemampuan melihat menembus dinding? Aku pernah mendengar sihir yang semacam itu, namun kelihatannya itu adalah kekuatan matanya dan bukan sebuah sihir. Sudah kuduga dia bukan manusia. Dia pasti dari ras ‹Demon›. Tapi apa yang dilakukan oleh ‹Demon› di tempat seperti ini?" gumam Dronum dalam benaknya.
[§ Apakah itu ada hubungannya dengan belut di danau buatan itu? §]
"Belut? Apa maksudnya dengan belut? J—jangan bilang yang ia maksud adalah ‹Great Aqua Serpent›!? Dia menyebut monster setara ‹Aqua Dragon› dengan sebutan belut!!?? Dia pasti adalah seorang demon yang kuat kalau begitu" duga Dronum lagi dalam benaknya.
[§ Tidak mau menjawab ya. Ya, hamba ini juga tidak peduli dengan urusan kalian sih. Yang terpenting sekarang adalah hamba harus menyelesaikan tugas yang diberikan Master kepada hamba ini. Hamba harus menyelesaikan transaksinya. Jadi sepertinya hamba harus permisi dulu untuk menemui raja kalian. §]
"T—tunggu!" ucap Dronum menghentikan Pochi yang baru saja mau melangkah dengan kata-kata itu.
Pochi berhenti dan melirik ke arah Dronum.
"Masalah transaksi itu, mari kita lakukan!" tambah Dronum.
[§ Oh, tuan bangsawan berubah pikiran? §]
"Y—ya. Aku bersedia membeli apel-apel itu. Anggap saja itu untuk membangun ekonomi penduduk yang tinggal di sekitar sini" jawab Dronum sambil tersenyum mencoba untuk terlihat ramah meski malah terlihat canggung.
"Dia sepertinya ‹Demon› yang memiliki tuan. Dan dari perkataannya, dia memiliki tugas untuk menjual apel-apel itu apapun yang terjadi dan bagaimanapun caranya. Jika begitu, sepertinya aku bisa memanfaatkannya. Apalagi dia sepertinya ‹Demon› yang sangat kuat hingga dengan percaya dirinya menyebut ‹Great Aqua Serpent› belut" pikir Dronum.
"Tapi dengan satu syarat" lanjut Dronum.
[§ Oh, apakah gerangan itu? §]
"Tolong bantu kami mengalahkan ‹Great Aqua Serpent› yang ada di danau itu" jawab Dronum.
[§ ‹Great Aqua Serpent›? Maksud tuan bangsawan belut itu? Baiklah tidak masalah. Namun hamba ini meminta tuan bangsawan untuk menyiapkan kontrak tertulis sebagai bukti yang bisa hamba ini serahkan kepada Master hamba kalau transaksi sudah berhasil dilakukan. §]
"I—itu mudah! Ayo ikut denganku!" ajak Dronum.
Pochi dan Louis pun diajak Dronum ke tendanya. Tak lupa ia memerintahkan beberapa prajurit untuk mengurus dua mayat prajurit yang terbunuh akibat kesembronoannya. Meski sebenarnya Dronum tak mengatakan kepada mereka alasan matinya dua prajurit itu, sehingga terlihat rasa heran dan bingung di wajah para prajurit yang diperintahkannya itu.
Tak lama kemudian, mereka bertiga pun sampai di dalam tenda milik Dronum. Itu adalah sebuah tenda yang besar. Bagian dalamnya terlihat sangat luas. Dan terdapat cukup banyak properti mewah, seperti karpet, lukisan, meja, kursi, lemari, tempat tidur, dan barang portable lainnya yang memiliki kesan bangsawan.
"J—jadi seperti ini bagian dalam tenda bangsawan. Dari luar saja sudah terlihat sangat besar dan megah, tapi ternyata bagian dalamnya jauh lebih dari itu" puji Louis dalam benaknya terkagum dengan megahnya tenda itu.
"Sebentar, akan kusiapkan semuanya terlebih dahulu. Silakan duduk di sana sambil menunggu aku menyiapkan alat-alat untuk menciptakan kontraknya" pinta Dronum.
Pochi dan Louis pun duduk di tempat yang ditunjuk oleh Dronum. Terlihat Dronum mengambil kertas dan tinta, juga sebuah balok kayu kecil yang kelihatannya adalah sebuah stempel karena memiliki ukiran di salah satu sisi ujungnya, dan bentuk badan baloknya yang unik karena seperti dibuat dengan dipahat.
Dronum kemudian duduk di seberang Pochi dan Louis di belakang meja kerjanya. Ia menuliskan sesuatu yang kelihatannya adalah pernyataan tertulis kontrak jual-beli apel antara pihak Dronum yang mewakili negaranya dengan pihak yang diwakili oleh Louis dan Pochi.
"Kalau begitu pelayan, siapa namamu? Aku membutuhkannya untuk kontrak ini" tanya Dronum.
[§ Pochi Infinite Paradoxia. §]
"Nama yang tidak biasa" komentar Dronum.
"Tapi nama 3 baris, itu menunjukkan kalau ‹Demon› ini bukan ‹Demon› biasa. Dia pasti berasal dari kasta yang cukup tinggi. Mungkin berada di tingkatan ‹Noble Demon›" duga Dronum dalam benaknya.
Setelah selesai menulis, kemudian Dronum memutar kertas kontrak itu dan mendorongnya ke arah Pochi.
Pochi menarik dan mengambilnya lalu mendekatkannya ke wajahnya seolah membacanya. Meskipun dengan kemampuannya, ia tahu ia tak perlu melakukan itu untuk mengetahui isi kontraknya.
"Jadi bagaimana? Apakah ada masalah dalam kontraknya yang mesti aku ubah?" tanya Dronum.
[§ Semuanya baik-baik saja. Singkat, padat, jelas. Seperti yang hamba ini harapkan. §]
Setelah menjawab itu, Pochi meletakan kertas itu kembali ke atas meja dan mendorongnya mendekat ke arah Dronum. Dronum menerimanya dan memutarnya kembali ke arahnya.
"Kalau begitu silakan keluarkan stempelmu untuk menyelesaikan pengesahan kontrak ini" pinta Dronum kepada Louis dan Pochi.
[§ Hamba ini hanya bertindak sebagai pengantar dan saksi. Jadi untuk pengesahan hamba ini serahkan kepada kepala desa. §]
Mendengar itu Louis tersentak kaget.
"Begitu ya. Kalau begitu, Sullenfield, silakan stempel di sini" ujar Dronum memutar dan mendorong kontraknya ke hadapan Louis sambil menunjuk bagian mana yang harus distempel olehnya.
Namun Louis malah terdiam sambil berkeringat.
"Ada apa, Sullenfield?" tanya Dronum.
"S—saya tak punya stempel" jawab Louis.
"Hah? Tak punya stempel? Lalu bagaimana caramu untuk mengesahkan ini?" tanya Dronum lagi dengan nada marah.
[§ Kenapa tidak gunakan cap ibu jari saja? §]
"Cap ibu jari?" sahut Dronum bingung.
[§ Ya, cap ibu jari. Setiap manusia memiliki sidik jadi yang berbeda dengan sidik jari manusia yang lainnya. Jadi cap ibu jari bisa dijadikan sebagai pengganti stempel untuk orang biasa. §]
Mendengar penjelasan itu, Dronum terdiam.
"Aku tak mengerti beberapa kata yang ia maksudkan, tapi aku juga tak punya cara untuk menolak usulannya. Itu karena dia adalah ‹Demon› yang berbahaya yang bisa membunuh siapapun di sini tanpa ada yang bisa melawannya" gumam Dronum dalam benaknya.
"Baiklah, aku akan menerimanya untuk saat ini. Jadi Sullenfield, cepat capkan ibu jarimu" suruh Dronum yang sudah tak memiliki kesabaran.
"B—baik" sahut Louis kemudian buru-buru mencelupkan ibu jarinya ke tinta kemudian mencapkannya ke kertas kontrak.
Disusul oleh Dronum yang mencap menggunakan stempelnya.
"Dengan begini kontrak dengan resmi terjalin. Dan sesuai kesepakatan, aku akan membayar apel-apelmu, dengan tambahan aku juga akan mendapatkan bantuan dari tuan Pochi Infinite Paradoxia untuk mengalahkan ‹Great Aqua Serpent›" ungkap Dronum.
"Ah syukurlah kalau begitu. Itu artinya semuanya telah beres" ujar Louis.
"Untuk pembayarannya aku akan membayarkannya setengah dulu, dan sisanya akan kubayarkan setelah monsternya berhasil dikalahkan" lanjut Dronum.
[§ Kenapa tidak langsung semuanya? Apa tuan bangsawan menganggap kalau hamba ini adalah seorang pembohong? §]
"Tidak, bukan begitu. Tapi memang seperti itulah kesepakatan dagang mesti dilakukan" jawab Dronum sambil sedikit berkeringat.
"Memangnya kamu pikir aku akan membiarkan kamu pergi begitu saja? Selama aku belum membayarkan seluruh uangnya, aku akan memiliki wewenang untuk meminta bantuan apapun kepadanya yang terkait monster. Dengan kata lain aku akan bisa menjadi tuan dari seorang demon kuat dengan kontrak ini. Hahahaha! Daripada para hunter itu, demon ini jauh lebih berguna" pikir Dronum membayangkan rencananya akan berjalan.
[§ Begitu rupanya. Kalau begitu hamba tak punya pilihan lain selain menunggu dan memenuhi kontrak di sisi hamba ini. §]
"Hahaha, bagus. Dengan ini, aku akan memiliki senjata yang kuat ditanganku! Hahahaha!" ujar Dronum dalam hatinya.
****