Chapter 24

~The Witch and The Prince (part 12)~

Aku ada di mana?

Aku mau ke mana saat ini?

Ini tempat yang sangat indah dan rasanya nyaman sekali di sini. Tapi aku tak tahu tempat apa ini. Apa yang terjadi? Tubuhku berjalan dengan sendirinya. Apa aku sedang dikendalikan atau semacamnya?

Tunggu, itu apa? Pohon?

Pohon itu besar sekali. Sangat besar sekali. Tapi kenapa itu di bawahku? Dan tangga apa yang sedang kupijak saat ini? Cahaya???

"Jadi itu sudah selesai ya?"

Selesai? Apa yang kuucapkan barusan?

Aku kembali melihat ke depan dan kulihat ada seorang laki-laki yang sangat tampan berambut hitam gelap. Laki-laki itu tertidur di suatu ruang yang dipenuhi oleh rak buku dan barang-barang aneh lainnya.

"Lagi-lagi dia tertidur setelah membaca buku ya? Ya ampun dia itu, selalu saja begitu. Aku tahu kamu sangat suka dengan cerita, tapi jangan berlebihan seperti itu kan."

Sangat suka cerita? Apa yang kukatakan?

Dan kenapa aku malah duduk d—di sebelah laki-laki ini. Dan kenapa jantungku jadi berdegup sangat cepat sekali!?

"Sayang~ bangunlah~ oi~"

"S—sayang"!? Apa barusan aku bilang sayang padanya!? Dan kenapa aku mengatakannya dengan mesra sekali padanya. T—tanganku mengelus rambutnya dengan sendirinya! A—aku tak bisa menghentikannya. Dan kenapa pula rasanya aku senang sekali melakukannya!!!???

"Wajahnya saat tidur terlihat sangat imut~"

Memang. Tapi ini bukan saatnya aku mencolok pipinya dengan telunjukku kan? Ayolah kenapa aku tak bisa mengendalikan tubuhku. Bahkan mulutku berbicara seenaknya.

"Bangunlah sayangku~ bukankah setelah ini kamu ada rapat dengan {••••••••} dan {••••••••}? Nanti kamu terlambat lho!"

Apa? Dengan siapa? Kenapa tiba-tiba suaranya seperti terganggu oleh sesuatu? Ah, dia mulai bangun. Aku hampir melihat wajahnya. Ini dia!

****

"Ini dia!"

Ring Valion bangun dari tidurnya dengan perkataan itu. Matanya melirik ke kanan dan kiri dengan wajah yang bingung.

"Aku ada di mana?" ucapnya dengan nada bingung, "ah benar juga, aku ada di kuil Aquoz ya?" lanjutnya ketika sadar kalau ia ada di kuil.

Ring kemudian melihat ke arah bawah. Ia melihat belati di dekapannya. Belati itu terlihat bercahaya dan memiliki tulisan ‹رحمه› di bilahnya. Tulisan yang belum pernah ia lihat sebelumnya namun terasa familiar.

"Apa baru saja belati ini bercahaya? Kenapa?" ujarnya bertanya-tanya.

Namun belum sempat ia memikirkannya, tiba-tiba saja pintu kuil terbuka dengan cukup keras. Dan terlihat pendeta Alfred yang sedang dalam posisi seperti sudah menendang sesuatu ketika Ring menoleh ke arahnya. Di samping pendeta itu terlihat juga biarawati Lenys yang tampak memeluk sebuah tongkat. Pakaian mereka berdua juga sama-sama kotor.

"Yang Mulia ‹Messenger Maiden›! Kami sudah kembali!!" ucap pendeta Alfred dengan lantang seperti biasanya.

"Ya, kami berhasil menemukan [Undyne Trident] anda, Yang Mulia!" tegas biarawati Lenys.

Wajah mereka berdua terlihat begitu cerah penuh semangat dan penuh kebahagiaan.

"Mau sampai kapan kalian akan terus menyebutku begitu? Bisakah kalian berhenti memanggilku Yang Mulia?" pinta Ring sambil bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri mereka.

"T—tapi Yang Mulia kan ‹Messenger Maiden›, jadi kami harus menggunakan panggilan yang pantas, atau kalau tidak, maka itu artinya kami sudah bertindak tidak sopan!" balas pendeta Alfred.

"Tapi aku tak terbiasa dipanggil dengan panggilan begitu, rasanya gak aneh saja" ungkap Ring sambil memegang dahinya.

"Anda harus mulai terbiasa, Yang Mulia! Karena memberikan panggilan keagungan dan kemuliaan kepada yang posisinya lebih tinggi di kasta perkuilan adalah suatu kewajiban! Jika ada yang melanggarnya, maka orang tersebut harus diberi hukuman! Itu adalah aturan yang sudah disepakati oleh para pendeta tinggi dan tetua kuil 4 spirit!" jelas pendeta Alfred.

"Itu aturan yang aneh! Apa tak bisa diubah saja!?" protes Ring.

"Tidak bisa, Yang Mulia. Hanya dewi Undyne yang memiliki kewenangan untuk mengubah aturan tersebut tanpa mesti mengikuti protokol. Kalau itu Yang Mulia, maka Yang Mulia masih harus mendapatkan kesepakatan dan persetujuan seluruh ‹Arcpriest› dan ‹High Priest› terlebih dahulu, alias mesti mengikuti protokol resmi!" jawab pendeta Alfred.

‹Arcpriest› di sini adalah yang sebelumnya disebut tetua kuil atau bisa juga dibilang tetua pendeta apabila diartikan secara harfiah. Sedangkan ‹High Priest› adalah pendeta tinggi.

Setelah mendengar penjelasan pendeta Alfred barusan, Ring pun hanya bisa pasrah. Ia menghela napasnya dengan wajah lelah.

"Ini tongkat anda, Yang Mulia" ujar biarawati Lenys sambil menyerahkan tongkat berwarna biru itu kepada Ring.

"Terima kasih atas kerja keras kalian" sahut Ring sambil mengalihkan belati di tangan kanannya ke tangan kirinya.

Baru lah setelah itu Ring menerima tongkatnya dengan tangan kanannya. Melihat yang dilakukan Ring, pendeta Alfred dan biarawati Lenys pun menjadi penasaran.

"Maaf, Yang Mulia. Kalau boleh tahu itu belati apa ya?" tanya biarawati Lenys.

"Ini? Ini belati dari orang yang menyelamatkanku. Dia meninggalkan belatinya untukku agar kujadikan senjata pertahanan darurat. Sepertinya dia tidak tahu kalau aku ini seorang penyihir. Tapi aku tak mungkin membuangnya kan? Aku tak mungkin membuang kebaikan hatinya yang ingin mencoba menolongku kan? Jadi ini akan kubawa terus hingga kami bertemu lagi. Baru setelah itu mungkin nanti akan kukembalikan" jawab Ring menceritakan dengan panjang lebar.

Ekspresi Ring saat menceritakan itu terlihat sangat tenang dan bahagia. Pipinya sedikit memerah. Dan mulutnya nampak tersenyum.

Pendeta Alfred dan biarawati Lenys nampak saling menoleh dan menatap satu sama lain sejenak lalu kemudian menoleh lagi ke arah Ring.

"Yang Mulia, jaga belati itu baik-baik!" ujar pendeta Alfred.

"Ya, dan semoga Yang Mulia bisa bertemu dengannya lagi ya" tambah biarawati Lenys.

"Eh, y—ya!" sahut Ring dengan keheranan.

"Kami akan mendukung Yang Mulia!" tegas pendeta Alfred.

Biarawati Lenys tampak mengangguk sepaham.

"T—terima kasih?" sahut Ring yang makin bingung, "(Kenapa dengan mereka? Kenapa mereka bertingkah seolah mendukung anak yang baru menemukan tujuan hidupnya?)" lanjutnya dalam benaknya.

Tapi Ring tak terlalu menghiraukannya dan lalu memutar-mutar tongkatnya itu hanya dengan tangan kanannya dan kemudian berbalik lalu menunjuk ke arah Aruthor dengan tongkatnya tersebut.

"[Waterball]!" rapal Ring.

Sebuah bola air pun tercipta melayang di atas wajah Aruthor yang masih tertidur. Kemudian Ring pun menjatuhkan bola air tersebut dan akhirnya bola air itu pun jatuh tepat ke wajah Aruthor. Hal itu membuat Aruthor yang tadinya masih tertidur lelap seketika terbangun dan bangkit dari bangku tempatnya tidur.

Aruthor kini berdiri menghadap ke arah bangku dengan wajah terkejut.

"Mau tidur sampai kapan? Kita harus cepat-cepat berangkat ke Brightion! Atau kita akan kemalaman sebelum sampai ke kota selanjutnya!" tegur Ring dengan nada mengomel.

"N—nona Ring!? Dan juga tuan pendeta dan biarawati Lenys!?" ucap Aruthor yang masih kebingungan.

"Selamat pagi, pangeran!" sapa pendeta Alfred.

"Selamat pagi yang mulia pangeran" sapa biarawati Lenys.

"S—selamat pagi..." sahut Aruthor yang masih belum mengumpulkan kesadarannya.

Melihat pertukaran sapa itu, membuat Ring agak sedikit jengkel. Ia pun langsung mengarahkan tongkatnya ke arah Aruthor lagi.

"Mau sampai kapan kamu bengong di sana? Cepat kumpulkan kesadaranmu dan kita akan langsung berangkat!" bentak Ring.

"Eehh!!?? Tidak sarapan dulu!?" protes Aruthor.

"Kita akan berburu hewan di jalan" ungkap Ring.

"Dengan perut kosong!?" protes Aruthor lagi.

"Kenapa Yang Mulia dan pangeran tidak sarapan di sini saja? Kami masih punya banyak bahan makanan di dapur kami!" tawar pendeta Alfred.

"Tidak, terima kasih, pendeta. Tapi akan lebih baik jika kalian menggunakan itu untuk membantu warga kota yang saat ini sedang dalam masa krisis kan? Apalagi mereka baru saja mengalami bencana mengerikan. Mereka membutuhkan banyak bantuan, baik itu fisik maupun mental. Jadi, maaf kami harus menolaknya. Iya, kan, pangeran?" ujar Ring menolaknya lalu melirik ke arah Aruthor.

"Y—ya..." sahut Aruthor.

"Baiklah jika itu keinginan dari Yang Mulia ‹Messenger Maiden›!" sahut pendeta Alfred.

"Ayo, pangeran!" ajak Ring.

"B—baik!" sahut Aruthor sambil mengambil pedang yang bersandar di samping bangku.

Keduanya pun akhirnya keluar meninggalkan kuil Aquoz. Saat setelah melewati gerbang depan kuil, terlihat Aruthor menengok ke arah kotanya. Ia melihat di lapang yang dapat terlihat dari lokasi kuil itu berada. Di sana dapat terlihat orang-orang yang berkumpul. Ada tenda-tenda yang didirikan di sana. Tenda sederhana yang kini menjadi tenda pengungsian dari penduduk yang rumahnya telah hancur oleh bencana kemarin.

"Nona Ring, apa aku boleh menemui mereka dulu?" tanya Aruthor.

"Mereka? Maksudmu para penduduk?" sahut Ring.

"Ya, aku ingin setidaknya pamitan dengan mereka. Lagipula guru Würgar ada di sana dan aku belum pamitan dengannya" ujar Aruthor.

"Ya sudah, pergi sana! Tapi jangan lama-lama. Perjalanan kita panjang. Dan saat ini tidak ada transportas mewah seperti kereta kuda atau semacamnya. Kamu mengerti?" tanya Ring.

"Ya, aku mengerti" balas Aruthor.

Lalu Aruthor pun berlari ke arah pengungsian itu. Ring hanya bisa melihat dan menunggu saat ini.

"Mungkin aku harus menunggu di gerbang saja. Di sini terlalu menyita perhatian" ujar Ring lalu berjalan menuju ke gerbang kota.

Aruthor yang sampai di tempat pengungsian langsung menyita perhatian semua orang yang ada di sana. Kehadirannya sebagai pangeran dan putera mahkota kerajaan Üdine memang sangat dinantikan oleh para penduduk saat ini.

"Yang mulia pangeran!"

"Pangeran!"

"Pangeran Aruthor!"

Orang-orang mendatanginya dan berkerumun di sekitarnya.

"Pangeran! Tolong kami pangeran! Istriku! Anakku! Mereka terluka parah! Tolong mereka pangeran!!"

"Pangeran! Ibuku dan aku kelaparan, pangeran! Ayahku sudah mati! Tolong berikan kami makanan, pangeran!"

"Pangeran, tolong hidupkan kembali suamiku serta anakku! Hidupkan kembali mereka!"

Ia dikerumuni dan dicecar dengan berbagai permintaan yang saat ini mustahil bisa ia penuhi. Ia tak memiliki kapasitas untuk mengabulkan semua itu, karena meskipun ia masih lah seorang putera mahkota kerajaan Üdine, namun istana dan kerajaan itu sendiri kini sudah hancur. Jadi ia hanya bisa terdiam mendengar semua permintaan itu.

"Pangeran kenapa diam saja?"

"Kumohon kabulkan permintaanku!"

"Pangeran tolong..."

Tapi Aruthor tak bisa berkata apa-apa.

"Pangeran!"

"Apa kau mendengarku, pangeran!"

Hei, dengan permintaanku, pangeran!"

Mereka mulai sedikit memaksa. Namun tentu saja Aruthor tidak bisa menjawab sedikit pun. Ia bingung harus bagaimana menjawabnya, dan akhirnya hanya bisa menundukkan kepalanya dalam kebingungan.

"Kau ini tuli ya!?"

"Tch, kalian para pemimpin tidak becus!"

"Cepat penuhi permintaan kami, berengs◦k!"

Mereka mulai mengumpat dan mengata-ngatai Aruthor. Dan Aruthor tak bisa membalas apapun perkataan mereka.

"Berhenti di sana!!!" bentak Baluztar dari kejauhan.

Dengan langkah berat, Baluztar lalu menghampiri kerumunan itu dan masuk ke antara mereka dan Aruthor tanpa seorang pun berani menghalangi jalannya.

"Guru" panggil Aruthor.

"Apa kalian bodoh!!? Kalian itu telah berbuat lancang! Kalian telah tidak sopan terhadap keluarga kerajaan! Kalian mengerti apa hukuman perbuatan tidak sopan terhadap keluarga kerajaan, kan?" tegur Baluztar kepada para penduduk itu.

Para penduduk pun terdiam.

Namun terlihat ada satu orang yang maju ke hadapan sang jenderal dan lalu menatap tajam tepat ke mata sang jenderal.

"B—berhentilah berbicara omong kosong! Keluarga kerajaan apanya? Kerajannya sudah runtuh! Lihat! Istana kerajaannya saja sudah rata dengan tanah. Jadi mana kerajaannya? Mana!? Tanpa kerajaan mereka bukan lagi kerluarga kerajaan!" tegas orang itu tanpa merasa gentar ataupun ragu sedikit pun.

"Dasar bodoh!!! Kerajaan kita masih belum runtuh!!! Perlu aku tegaskan, kerajaan takkan runtuh selama keluarga kerajaan masih hidup. Karena pusat sebuah kerajaan bukanlah di istananya, bukan di wilayahnya, tapi di raja dan keluarganya! Selama mereka masih ada, maka kerajaan tak bisa dikatakan runtuh! Kalian rakyat jelata takkan mengerti masalah politik!" bentak Baluztar.

"Politik? Di saat seperti ini kalian masih bicara politik!? Jangan bercanda! Kami tidak makan politik, dasar jenderal tolol! Kamu butuh makanan! Kami butuh minuman! Kami butuh pertolongan untuk orang-orang yang sedang luka! Kamu ngerti tidak? Pastinya tidak kan? Karena itu lah kalian. Kalian memang semuanya gitu!" balas laki-laki muda itu.

"Apa kau bilang!?" sahut Baluztar wajahnya memerah padam karena dipenuhi amarah.

Tapi perkataan pemuda itu membuat semua orang yang tadinya terlihat takut dan ragu kini menjadi berani memelototi balik Baluztar.

"Yang dikatakannya benar! Jangan cuma bicara politik dengan kami!"

"Itu benar, cepat keluarkan semua makanan dan minumannya!"

"Penyembuh! Cepat sediakan penyembuh!"

"Ayo! Mana coba? Kalian jangan cuma banyak omong tentang politik! Cepat bantu rakyat kalian ini, sialan!"

Baluztar mulai dikeroyok oleh semua perkataan mereka. Ia bahkan tidak diberi waktu untuk menjawab atau membalas perkataan mereka. Amarah sudah memenuhi kepalanya. Urat-urat mulai terlihat menonjol di keningnya.

Di saat itu, tiba-tiba sebuah sentuhan di pundaknya mengejutkannya.

"Cukup, guru. Guru tak perlu lagi membelaku. Yang mereka katakan memang benar. Saat ini memang tidak cocok untuk bicara politik, karena itu tidak akan bisa menolong mereka sama sekali. Yang mereka butuhkan saat ini adalah makanan, minuman, serta obat-batan. Dan aku tak bisa memenuhinya. Pemimpin yang tak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya adalah pemimpin yang gagal. Karena itu, aku tak layak lagi menjadi keluarga kerajaan ataupun pemimpin mereka. Jadi mungkin ini sudah waktunya untukku pergi" ungkap Aruthor dengan mencoba memaksa dirinya tersenyum.

"Pangeran..." sahut Baluztar.

"Aku kemari untuk pamit. Pamit kepada rakyatku dan kepadamu juga, guru. Tapi sepertinya pamit dariku tak dibutuhkan" ujar Aruthor.

"Itu tidak benar! Pangeran jangan bilang begitu!" tegur Baluztar.

"Tapi tenang saja. Setelah aku menjadi Hero, aku akan kembali ke sini dan mendirikan lagi kerajaan Üdine. Aku akan mengembalikan lagi kejayaan kerajaan ini. Aku berjanji— tidak, aku bersumpah! Atas nama keluargaku, Üdine! Atas nama dewi Undyne juga! Aku akan kembali dan mengklaim tahtaku di sini dan menjadi raja kerajaan Üdine yang baru!" ungkap Aruthor dengan tak patah semangat.

"Karena itu, guru tak usah khawatir" lanjutnya sambil tersenyum pada Baluztar.

"Pangeran..." ucap Baluztar.

"Tolong jaga tempat ini selama aku tidak ada. Aku harus pergi. Selamat tinggal guru..." ujar Aruthor pamit.

"Selamat tinggal, pangeran..." sahut Baluztar.

Aruthor kemudian berlari meninggalkan tempat itu. Ia berlari secepat yang ia bisa. Terlihat ia mengusap sesuatu di matanya dengan lengan bajunya. Namun ia terus berlari tanpa terganggu oleh sesuatu yang terus berjatuhan dari matanya.

****

Ring berdiri bersandar pada sebuah pohon. Ia terlihat menunggu sambil menggerak-gerakan telapak kaki kanannya menepuk ke tanah. Berkali-kali ia terdengar menghela napasnya seolah sudah bosan dan lelah menunggu.

"Kenapa ia lama sekali?" keluhnya.

Ring juga berkali-kali menoleh ke arah gerbang, namun sosok orang yang ia nanti tak kunjung datang juga.

"Sudah kuduga dia pasti terkena masalah. Padahal akan lebih aman jika pergi tanpa mengatakan apapun. Tapi dia malah memilih pamit di saat krisis begini. Pastinya rakyatnya akan protes apabila melihat pemimpinnya malah kabur saat terjadi masalah pelik seperti ini" gerutu Ring.

Ring lalu menghela napasnya lagi.

Ring kembali melirik ke arah gerbang. Kini ia melihat seorang anak laki-laki berambut pirang berjalan dengan wajah yang murung ke arahnya. Namun anak itu sama sekali tak melihat ke arahnya dan terus melihat ke jalan yang dipijak kakinya. Bahkan anak itu tidak sadar kalau Ring sudah dilewatinya.

"Benar kan dugaanku?" ucap Ring bicara sendiri.

Ring lalu berjalan dan mencegat anak yang tak lain adalah Aruthor itu. Namun Aruthor nampak tak menyadari Ring di depannya dan terus maju dengan kepala menunduk. Hasilnya hidung Ring terseruduk oleh kepala Aruthor.

"Aduh! Sakit~ apa-apaan sih kau ini, Aruthor!" bentak Ring sambil memegangi hidungnya.

Aruthor mengangkat kepalanya untuk melihat orang yang membentaknya itu.

"Akhirnya kau melihat kemari juga ya!" ujar Ring sambil mencengkeram dagu Aruthor.

"N—nona Ring?" sahut Aruthor dengan kurang semangat.

Ring pun melepaskan Aruthor dan berbalik sambil menggelengkan kepalanya.

"(Aku harus bagaimana? Aku tidak punya pengalaman menenangkan orang yang murung?)" pikir Ring sambil memegang dagunya.

"Nona Ring, apa kita akan berangkat?" tanya Aruthor.

"Eh, i—iya! Ayo kita berangkat!" sahut Ring.

Aruthor mengangguk lalu berjalan mengikuti Ring yang berjalan di muka.

Ring menoleh ke belakang, ia melihat Aruthor mengikutinya tanpa banyak bicara. Kemudian Ring kembali memegang dagu dan termenung berpikir.

"(Bagaimana caranya aku menghiburnya? Makanan? Aku tidak punya makanan. Apa aku harus berburu? Benar juga aku kan bilang padanya kalau kita akan berburu selama dalam perjalanan ini. Apa harus kulakukan sekarang?)" gumam Ring.

Ring kembali menoleh ke arah Aruthor. Lalu ia mulai melambatkan langkahnya dan akhirnya sampai ia berjalan bersebelahan dengan Aruthor.

"Hei, Aruthor. Bagaimana kalau kita berburu hewan ke hutan?" ajak Ring.

"Mh? Untuk apa?" sahut Aruthor bingung.

"Untuk apa, kamu bilang? Tentu saja untuk sarapan kita, kan?" ungkap Ring.

"Tapi aku sudah tidak lapar sekarang" jawab Aruthor.

"Benarkah? Ya, terserah sih. Kalau aku sih lapar. Jadi aku akan pergi untuk berburu sebentar. Terserah kamu mau ikut atau tidak" ujar Ring lalu berbelok ke arah hutan.

"Eh, t—tunggu, jangan tinggalkan aku!" ucap Aruthor lalu bergegas mengikuti Ring.

Keduanya pun menghilang ke dalam lebatnya hutan itu.

Setelah sekian lama mencari buruan, akhirnya Ring bertemu seekor kelinci dan langsung menembak kelinci tersebut menggunakan sihir airnya. Tubuh kelinci itu terpental dan menghantam batang pohon. Kelinci tidak bergerak untuk beberapa saat karena terlumpuhkan rasa sakitnya. Namun belum sempat kelinci itu bergerak lagi, Ring datang dan menyembelih leher kelinci itu dengan belati yang ia bawa.

Itu adalah belati yang dititipkan kepadanya yang kini ia bawa di dalam tasnya.

"Mungkin segini saja cukup, kan?" ucap Ring lalu mengangkat tubuh kelinci itu secara terbalik.

Ring mencoba menguras darah dari jasad kelinci itu. Setelah tak ada darah lagi yang menetes dari tubuh kelinci itu kemudian ia mulai berjalan menghampiri Aruthor yang sejak tadi hanya menonton.

"Aku akan mulai membersihkan bulu dan kotoran kelinci ini, jadi bantu aku dengan membuat api supaya kita bisa langsung memasaknya. Jangan cuma bengong, lakukanlah sesuatu" pinta Ring sambil menatap dengan mata sayu.

"B—baik!" sahut Aruthor.

Aruthor langsung bergegas mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membuat api unggun. Ia menumpuk ranting-ranting itu sedemikian rupa dan lalu setelah selesai ia langsung terdiam dan terlihat kebingungan.

"Ada apa lagi? Kenapa malah bengong lagi?" tanya Ring.

Ia datang sambil membawa daging kelinci yang sudah siap untuk dimasak.

"Maaf, tapi bagaimana cara membuat apinya?" tanya balik Aruthor.

"Kamu tidak tahu?" sahut Ring.

"Ya" balas Aruthor.

Ring menyodorkan daging kelinci itu kepada Aruthor.

"Pegang ini dulu untukku" pinta Ring.

"B—baik" sahut Aruthor menerima daging kelinci itu.

Ring mengambil salah satu ranting di tumpukkan ranting yang telah dikumpulkan oleh Aruthor sebelumnya. Kemudian ia mengayun-ayunkannya layaknya itu adalah sebuah Magic Wand alias tongkat sihir pendek.

"[Mana Spark]" ucap Ring merapal sihir.

Kemudian muncul sebuah percikan di ujung tongkat sihirnya itu. Ujung tongkat sihir yang hanyalah sebuah ranting kering itu pun mulai terbakar.

"Sepertinya segini cukup" lanjut Ring.

Ring meletakan ranting yang terbakar itu dalam tumpukan ranting itu. Tak lama kemudian api mulai membesar dan api unggun pun sudah siap untuk dipakai memasak.

"Sekarang apinya sudah siap, mari kita mulai panggang kelincinya!" ujar Ring.

"Baik" sahut Aruthor lalu melempar daging kelinci di tangannya ke api unggun.

Daging kelinci itu pun masuk ke dalam api, dan mereka berdua hanya bisa bengong melihatnya. Dan kebengongan itu bertahan untuk beberapa saat.

"Apa yang kau lakukan, dasar pangeran bodoh!" bentak Ring.

"Eh, tapi tadi katanya daging kelincinya mau dipanggang, kan?" sahut Aruthor.

"Iya dipanggang! Tapi kita sedang masak daging, bukan ubi bakar!" tegas Ring.

"Eehh!!?? Memangnya beda ya?" balas Aruthor.

"Tentu saja beda! Kau ini bodoh ya!?" tukas Ring.

"Terus sekarang bagaimana?" tanya Aruthor.

Ring mengambil sebuah ranting kering yang cukup panjang. Kemudian ia menajamkannya dengan belati. Lalu ia pun menusuk daging kelinci itu dengan ranting tersebut. Meski tusukannya jadi miring, tapi setidaknya jadilah tusukan panggang sederhana dari ranting kayu yang ditajamkan.

"Wah... hebat!" puji Aruthor sambil bertepuk tangan.

"Mulai dari sini biar aku semuanya yang urus. Kamu diam saja di sana dan duduk yang tenang. Biar aku sendiri yang masak" ungkap Ring melirik dengan mata yang sayu.

Setelah mengatakan itu, Ring mulai memanggang daging kelinci itu di atas api unggun. Ia sendiri yang memanggang, ia juga yang menjaga api tetap menyala selama ia memasak. Semuanya ia lakukan sendiri karena Aruthor saat ini tidak bisa diandalkan.

"Sepertinya semua sudah matang sempurna. Cepat siapkan alasnya!" suruh Ring pada Aruthor.

"Alas???" sahut Aruthor memiringkan kepalanya.

Ring menghembuskan napas lelah.

"Sudah-sudah, biar aku yang menyiapkannya juga. Kamu pegang ini saja" ujar Ring lalu menyerahkan tusukan daging kelinci itu kepada Aruthor.

Aruthor menerimanya tanpa berkata apapun.

Ring pergi untuk mencari daun yang bisa dijadikan alas pengganti piring. Ia meninggalkan Aruthor bersama daging kelinci yang sudah matang dan harum itu. Aruthor tampak menatap ke daging kelinci yang memiliki aroma yang membuat air liurnya mulai meluber.

Ring kembali setelah berhasil mendapatkan daun yang cukup lebar untuk dijadikan alas.

"Oke, aku sudah— hah!!??" ucap Ring terkejut.

Ring terkejut dengan yang dilihatnya saat ini. Saking terkejutnya, daun yang ia pegang langsung terlepas dan jatuh ke tanah. Yang dilihatnya adalah Aruthor yang duduk santai dengan wajah yang puas, dan terlihat tulang belulang berserakan di depannya bersama sebuah tusukan yang bagian ujungnya hangus terbakar.

"Apa yang kau lakukan, dasar pangeran bodoh!" bentak Ring sambil menjambak kerah baju Aruthor lalu menggoyangkannya dengan kuat.

"A—ada apa n—nona Ring? Kenapa a—anda begitu marah?" sahut Aruthor seolah tak bersalah sedikit pun.

Ring berhenti menggoyangkan leher Aruthor, dan lalu menatap tajam memelototi Aruthor.

""Ada apa"? Kamu bilang "ada apa"? Kamu baru saja menghabiskan sarapan untuk kita berdua sendirian, dasar tolol!" pekik Ring.

"Me—memangnya kenapa? Aku tidak salah kan? Aku sedang lapar, ya aku makan. Kan aku sedang lapar, makan adalah sesuatu yang wajar dong!" ungkap Aruthor.

"Hah? Kau bilang apa!? Bukannya sebelumnya kau bilang kau tidak lapar?" protes Ring.

"Itu kan tadi, sekarang aku lapar!" jawab Aruthor seolah itu hal yang wajar.

"Dasar bodoh!!!" pekik Ring lalu meninju wajah Aruthor sekuat tenaganya.

Tubuh Aruthor pun terjungkal ke belakang.

"Kenapa kau jadi egois seperti ini!?? Pikirkanlah orang lain juga! Aku juga lapar! Bukan hanya kau yang bisa lapar dasar bodoh!" tegas Ring.

"P—peduli amat dengan orang lain! Apa yang orang lain pikirkan tentangku!" bentak Aruthor akhirnya bangkit berdiri.

"Aku memikirkan apa kamu lapar atau tidak, karena itu aku berburu dan memasak kelinci itu meski kamu tidak membantu sama sekali, apa kamu paham!" bentak balik Ring.

"...H—hah!?" ucap Aruthor.

"Aku memikirkanmu, lihat sendiri kan? Tapi justru malah kamu yang egois tak memikirkanku dan malah menghabiskan makanan itu sendirian!" tegas Ring.

"A—aku—" sahut Aruthor mencoba memberikan sanggahan.

"Sejak kamu kembali dari berpamitan dan menyusulku, kamu terlihat murung sekali. Kamu bahkan terlihat linglung dan menjawab dengan asal-asalan tanpa berpikir sama.sekali. Jadi aku mencoba untuk menghiburmu dengan memenuhi janjiku berburu makanan! Tapi kamu— kamu malah menghabiskan semuanya!?" lanjut Ring.

"I—itu karena—" ujar Aruthor.

"Karena apa!? Hah! Cepat katakan padaku karena apa!!?? Alasan apapun itu, apa itu membuat wajar bagimu untuk berhenti mempedulikan orang lain? Apa itu membuatmu boleh bertindak egois!? Itu kah? Itu kah yang ingin kamu katakan padaku!!!" tegas Ring.

"..." Aruthor terdiam tak bisa berkata-kata.

"Jika itu yang ingin kamu katakan, maka pencuri juga wajar mencuri, dan mereka tak patut disalahkan! Karena mereka juga punya alasan melakukannya! Malah mungkin mereka punya alasan yang lebih "mulia" dari sekedar mengisi perut yang lapar! Tapi apakah itu membuat perbuatan mereka dalam mencuri itu dibenarkan? Apa merebut hak orang lain itu dibenarkan? Merebut barang milik orang lain itu dibenarkan? Tidak kan!! Tidak kan!!!" sambung Ring dengan tegas.

Aruthor pun mulai menangjs.

"L—lalu apa yang harus kulakukan!? Katakan padaku apa yang harus kulakukan!?" pinta Aruthor dengan air mata bercucuran namun dengan wajah yang tegas.

"A—apa yang harus kamu lakukan?" ulang Ring dengan nada bingung.

"Iya! Apa yang harus kulakukan! Katakan padaku, cepat! Apa yang harus kulakukan saat aku disalahkan oleh mereka! Saat aku disuruh memenuhi kebutuhan yang mustahil bisa kupenuhi! Apa yang harus aku lakukan!!??" tegas Aruthor.

"I—itu sih..." sahut Ring sedikit ragu.

"Lihat? Kau saja bingung! Jadi berhenti menceramahiku apabila kau saja tidak tahu jawabannya, dasar penyihir tidak berguna!!" bentak Aruthor.

Lalu Aruthor pun berlari meninggalkan Ring. Ia berlari dengan sangat cepat meski di hutan tanpa panduan jalan yang bisa diikuti itu.

"Aruthor, tunggu!" panggil Ring lalu berlari mengejar Aruthor.

Namun baru beberapa langkah ia malah tersandung akar.

"Aduh! K—kenapa di saat seperti ini!?" keluh Ring lalu bangkit kembali.

Ia melanjutkan lari mengejar Aruthor, tak lupa ia meraih tongkatnya yang tergeletak di tanah dan kemudian berlari ke arah Aruthor pergi.

"Pergi kemana dia!? Kenapa dia larinya cepat sekali di hutan seperti ini?" gerutu Ring yang kesulitan menemukan Aruthor.

Sekian lama berlari, namun ia tak kunjung melihat Aruthor. Itu artinya ia gagal mengejar Aruthor dengan larinya yang mungkin lebih lambat dari lari anak yang lebih muda darinya itu. Karena itu ia mulai mengacungkan tongkat sihirnya ke atas.

"[Liquidas Deus]!" rapal Ring.

Karena di sana tidak ada air, Ring menciptakan air dari ‹Mana›-nya. Lalu ia menggunakan air itu dan dikumpulkan di kakinya membuat semacam pusaran air layaknya sebuah tornado mini yang membungkus kakinya tersebut. Ia pun menggunakan itu untuk bergerak lebih cepat dan lebih fleksibel di dalam hutan itu.

"Aku tak menyangka aku sampai menggunakan [High Magic] hanya untuk mengejar lari seorang anak!" gerutunya pada dirinya sendiri.

Tapi meski sudah menggunakan itu, ia tak berhasil juga mengejar Aruthor. Ia malah sampai kembali ke jalan utama. Ternyata arah itu adalah arah yang bersimpangan dengan jalan utama. Tepatnya saat ini Ring berada di sebuah persimpangan.

"Hmm... harus kemana aku?" gumam Ring berpikir.

Jalan ke kanan adalah sebuah jalan kecil yang nampaknya hanya bisa dilalui satu kuda. Dan jalan itu juga terlihat tidak rata jadi tidak cocok dilewati oleh kereta kuda. Sementara jalan yang ke kiri adalah sebuah jalan tanah halus yang cukup besar untuk dilalui dua kereta kuda.

"Jalan ke kanan kalau tak salah adalah menuju ke pegunungan. Mau sepanik apapun dia, tak mungkin dia menuju ke sana kan? Kalau begitu mari kita pilih ke kiri!" ujar Ring lalu memilih jalan yang ke kiri.

Ring melesat dengan sangat cepat. Kecepatanya saat ini adalah dua kali kecepatan kuda tercepat dalam kecepatan penuhnya.

"Ada rombongan kereta kuda? Ah, mungkin aku bisa menanyai mereka" ujar Ring.

Ring sampai di sebelah kereta kuda yang paling depan, lalu ia pun menyamakan kecepatannya dengan mereka. Melihat Ring yang tiba-tiba saja muncul dan terbang melayang di sebelah mereka membuat mereka waspada dan langsung mencoba mencabut pedang-pedang mereka.

Tapi orang yang duduk di samping kusir kereta kuda yang paling depan mengangkat tangannya memberi sinyal untuk menahan diri. Semuanya pun menurut dan tak jadi mencabut pedang-pedang mereka.

"Maaf, boleh aku bertanya?" sapa Ring.

"Ah, nona penyihir, anda benar-benar mengejutkan kami. Hampir saja kami menyerang anda. Anda mau bertanya apa?" balas laki-laki yang cukup tampan itu.

Laki-laki itu berpakaian cukup mewah dan kelihatannya dia bukan orang biasa. Karena ia selain memiliki bahasa yang sopan dan ramah, ia juga membawa pedang yang begitu mencolok karena memiliki ornamen-ornamen mewah yang terpasang di gagang serta sarungnya.

Tapi Ring tak mempedulikan itu saat ini dan mencoba fokus pada pencarian Aruthor.

"Apa kalian melihat anak laki-laki? Usianya kisaran 14-15 tahun. Dan ia punya rambut pirang" ujar Ring mengungkapkan pertanyaannya.

"Anak laki-laki ya..." sahut laki-laki yang berusia sekitar 20-an itu.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di jendela di punggung laki-laki itu. Laki-laki itu menoleh dan melihat jendela geser kecil itu telah terbuka.

"Biar aku yang bicara padanya!"

Terdengar suara seorang perempuan dewasa yang sangat anggun dari balik jendela itu.

"Apa anda yakin, nyonya ‹Marquess›?" tanya laki-laki itu.

"Kenapa masih bertanya? Kalau aku bilang aku yang bicara, ya aku yang bicara! Mengerti!?" bentak perempuan itu.

"B—baik, yang mulia!" sahut laki-laki itu dengan panik.

Kereta kuda beserta rombongan pengawalnya itu pun berhenti. Ring pun ikut berhenti dan menghilangkan airnya. Laki-laki yang duduk di samping kusir itu turun dan membukakan pintu kereta kuda itu. Lalu seorang perempuan pun keluar turun dari kereta kuda.

Itu adalah seorang perempuan yang cantik dan sangat anggun. Ia mengenakan pakaian mewah layaknya seorang ratu. Ia memakai gaun dengan perpaduan warna merah dan putih, gaun yang dengan elegan memamerkan belahan dadanya. Di lehernya terpasang sebuah kalung emas mewah dengan berlian merah. Rambutnya berwarna pirang dan nampaknya panjang dan agak bergelombang, namun saat ini rambut itu disanggul dengan anggun ke belakang kepalanya.

"Ternyata penampilanmu seimut suaramu ya, nona penyihir. Khukhukhu~" ucap perempuan itu saat melihat Ring.

"Ah... permisi... anda ini..." sahut Ring.

"Oh, maaf atas ketidak sopananku berbicara tanpa memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Perkenalkan, namaku adalah Mellin Ferestin Agnis. Aku adalah ‹Marquess› dari Ibiss. Salam kenal. Kalau boleh tahu, nona penyihir sendiri siapa?" ujar perempuan itu memperkenalkan diri.

"(Ibiss!!?? I—itu adalah daerah yang telah memisahkan diri dari kerajaan Üdine. Kota yang aku dan Aruthor tuju berada di wilayah itu. Apa yang dilakukan pemimpin Ibiss di tempat ini?)" gumam Ring.

"Nama saya adalah Ring Valion. Penyihir dari kerajaan Brightion. Salam kenal, Marquess Agnis" jawab Ring dengan sopan.

"Jadi, apabila aku tak salah dengar, apa kamu mencari anak laki-laki berambut pirang?" tanya Mellin sambil tersenyum.

"Y—ya! Apa nyonya Marquess melihatnya?" balas Ring.

"Ya, tentu saja kami melihatnya. Atau lebih tepatnya, menyelamatkannya. Sekarang dia ada di dalam keretaku. Lihat, kamu bisa melihatnya dari sini kan?" ujar Mellin.

"Eh, k—kenapa?" ucap Ring bingung dan terkejut.

"Dia kelihatannya jatuh dari jurang atau semacamnya. Dia jatuh tepat ke depan kereta kudaku. Beruntung saja dia tidak terlindas. Tapi meski begitu dia terluka, jadi aku terpaksa membawanya untuk merawatnya. Apa dia temanmu? Sepertinya memang begitu dilihat darimu yang nampak khawatir ketika menanyakannya" ungkap Mellin.

"Daripada teman, mungkin lebih cocok disebut murid. Aku yang mengajarinya sihir" jawab Ring.

"Apa kalian sedang dalam perjalanan? Aku mencium bau api unggun dari tubuh kalian" terka Mellin dengan tepat.

"(Kenapa dia bisa mencium bau setepat itu? Apa dia anjing atau semacamnya?)" pikir Ring.

"Ya, kami sebenarnya sedang mencoba pergi ke Agness. Tapi terjadi sesuatu yang membuat kami terpisah dan aku pun berakhir mencarinya" jelas Ring.

"Agness!? Kebetulan kami pun hendak kembali ke sana! Apa kalian mau ikut?" ajak Mellin dengan bersemangat.

"(Kembali? Apa maksudnya??)" gumam Ring.

"B—bukannya itu akan merepotkan?" tanya Ring agak ragu menerimanya.

"Tidak kok! Lagipula temanmu juga sedang luka kan? Tak mungkin kamu membawanya sampai ke kota itu kan?" ungkap Mellin.

"(Iya sih. Mana mungkin aku sanggup membawa tubuh orang pingsan sampai ke kota yang jaraknya saja adalah seharian penuh perjalanan dari matahari terbit hingga terbenam. Itu namanya bunuh diri)" pikir Ring.

"Y—ya, baiklah. Akan kuterima tawaran anda, nona Marquess" sahut Ring.

"Bagus! Kalau begitu ayo naik!" ucap Mellin dengan penuh semangat.

Ring pun dipandu masuk ke dalam kereta oleh Mellin.

"(Kuharap ini tidak jadi masalah besar kedepannya)" ungkap Ring di langkah pertamanya menaiki tangga masuk.

Setelah keduanya masuk, pintu pun kembali ditutup. Lalu setelah itu rombongan kereta itu pun melanjutkan laju mereka ke arah kota bernama Agness di barat.

****