Tangis pedih seorang lelaki

JANGAN LESU, NANTI SEPULANG SEKOLAH PERGILAH KE CAFE RENBOW, AKU MENUNGGUMU DI SANA. SAMPAI JUMPA, ... TEMAN BARU.

Aku yang baru lepas sepatu dan tas sudah terpikirkan untuk pergi lagi. Ya.... kata-kata Akhtar itu tak terlupakan. Sepertinya aku harus segera ke sana sebelum aku jadi gila...

"Non Ara..... Non Ara teh mau makan apa atuh?", tanya bibi lembut.

"Maaf Bi, Ara mau makan di luar sama temen, bibi makan aja, nanti Ara pulangnya agak sore, Ara mau mampir ke perpustakaan dulu sebelum pulang"

"Owh... gitu? Yaudah kalau gitu bibi sekalian pamit, mau arisan nanti sore"

" iya Bi..."

______________________________________________

Aku berjalan menuju seorang lelaki tampan yang duduk sembari menatapku dari jauh, menggunakan celana kain berwarna cream kecoklatan, kaus putih, dan jaket berwarna senada dengan celana hanya saja lebih tua. Badannya begitu modelis seperti opa-opa Korea... ya Tuhan..., mengapa kau membuat jantungku berdebar sekencang ini.

Langkah demi langkah....

Aku semakin berdebar....

Aku hanya mengenakan celana kain semi kulot dengan sebuah sweater cream dan rambut yang ku kuncir cukup tinggi.

Ya Tuhan.....

Mengapa warna baju kita sangat serasi?

Tapi..... , dia... jauh lebih menawan dariku

Aku mulai nervous....

"Hallo Ara Alba...., Silahkan duduk!"

"Bisakah kamu bicara lebih santai?"

"Sesantai apapun kita mengawalinya, pembicaraan ini akan tetap mengenaskan"

"Baiklah, Hai Akhsan Bilal Chairi", sungguh... jantungku berdegup kencang....

Mengapa aku harus mengenakan baju yang membuatku nampak sebagai perempuan lesu ini.....

"Kamu akan tetap menawan dan manis, apapun yang kamu kenakan, dan dimanapun kamu berada, selama sinar hatimu tidak redup, maka auramu juga akan terpancar", dia tersenyum manis.... saaaangaaatttt manis.

"Ehem", aku menyelipkan rambut ke belakang telinga... tapi.... aku....' rambutku di kuncir semua, dan ya.... tepat sekali! aku salah tingkah.

Akhtar menatapku dalam, entah kenapa, aku merasa dalam tatapannya ada sebuah kepiluan, dalam sorot matanya ada suatu kepedihan yang mendalam, dan caranya menatapku seolah dia ingin mengungkapkan sesuatu yang hampir tak terbendung kan.

"Boleh aku sampaikan sesuatu?", ucapnya cukup lirih.

"Tentu"

"Bolehkah kuminta agar kau tak memotong pembicaraanku"

"Baiklah", aku bersiap mendengarkan.

Entah kenapa...

Dia bahkan belum bicara sepatah katapun, tetapi hatiku rasanya sudah bersedih.

"Ara... Aku tahu kau orang yang tepat untuk di ajak bicara. Kau orang yang dapat mengerti dan menghargai perasaan dengan cara yang benar. Terbuka..., terbuka itu timbal balik hukumnya, aku akan terbuka denganmu, tapi berjanjilah untuk menepati hukum dari keterbukaan, timbal balik....."

Aku tak tahu apa aku sudah siap untuk terbuka dengannya. Namun, rasanya aku sungguh ingin menjadi pundak untuknya bersandar, aku ingin dia terbuka? Apakah aku sudah siap terbuka?

"Tidak harus sekarang, kau bisa bicara di waktu yang tepat"

Ya Allah.... sepertinya ciptaanmu yang satu ini sangatlah perasa... seolah dia mendengar isi hatiku...

"Baiklah, aku akan menjadi pendengar yang baik, aku juga akan menerima hukum dari suatu keterbukaan", aku sungguh tak mampu menolaknya, sungguh....

Akhtar menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan, dia mulai berbicara, sesekali dia menatapku, dan sesekali dia tak mampu menatapku lagi dan menghadap ke jendela cafe ini. Dan terkadang dia menunduk....

"Saat kecil kami adalah keluarga yang bahagia, ayah... ibu.... adik perempuanku.... dan aku....

Cerita ini di mulai saat aku berusia 7 tahun.

Kami berada di sebuah perjalanan menuju rumah kakek. Saat itu Ayah dan ibu memutuskan untuk naik di bagian tengah bus kota. Namun... aku menolaknya, aku merengek pada ayah agar kami duduk di belakang supir supaya bisa melihat pemandangan, beberapa kali ayah menolaknya, tetapi aku terus merengek dan tak mau mendengarkan. Dan akhirnya kami duduk di belakang supir sesuai permintaanku, bahkan adikku juga sempat meminta pindah ke bangku bagian tengah bus, tetapi aku tidak pernah mau mengalah, bahkan adikku malah mengalah dan tetap duduk di belakang supir. Saat itu adik perempuanku, Zahra.... dia berusia 4 tahun, masih sangat lucu dan menggemaskan, dia anak yang sangat pintar dan penurut....

Hingga di tengah perjalanan kami dilanda kepanikan...rem bus itu tiba-tiba blong. semua orang tak henti-hentinya berteriak... ibu memangku adik, dan ayah membawaku ke pangkuannya. Ayah dan ibu berpelukan dan melindungi kami di tengah mereka sebisa mungkin, aku mendengar mereka berdua berdo'a, mereka berdoa dengan sangat khusyuk. Bis yang oleng juga tidak memungkinkan kami untuk berpindah.

Dan akhirnya bis melaju semakin kencang karena jalan yang menurun, aku yang polos masih sempat untuk mengintipnya. Sebelum akhirnya...

(menangis tanpa suara...)

Ada sebuah truk yang sangat besar, bus kami tak bisa mengelak. Dan kami menabrak truk itu.

Dan saat aku terbangun, aku berada di rumah sakit. Orang-orang bilang aku beruntung..., karena pelukan ayah dan ibu berhasil melindungi tubuhku, mereka mengorbankan nyawanya untuk aku dan adikku, namun naas, adikku yang masih kecil di duga terlalu panik dan mengalami serangan jantung tepat saat kecelakaan itu terjadi.

Dan ternyata, orang-orang yang berada di bagian tengah bus hanya luka-luka, sementara bagian depan hampir semua tak selamat, dan bagian belakang bus tertabrak oleh bus yang lebih besar dari belakang, andai aku.... andai saja aku...."

Dia menangis hingga tak bisa lagi berkata-kata, dia menatap ke bawah, satu tangannya memegang kepala dan yang satunya lagi mengepal kuat.

Tanpa sadar aku menghampirinya, aku berdiri dan memeluknya. Air mataku yang dari tadi menetes diam-diam kini pecah. Namun, aku menahannya sekuat tenaga. Sekarang Akhtar membutuhkanku.....

"Kau tak salah, kau tak tahu apa-apa saat itu, beristighfar lah, minta Allah untuk menenangkan hatimu, kuatkan dirimu. Kau tak sendiri, aku akan selalu ada untukmu, aku berjanji"

Akhtar berangsur-angsur mulai tenang, aku mengajaknya untuk duduk di taman luar kafe itu.

"Mengapa Allah mengujiku betapa berat? Bahkan setelah semua itu dia menggambil kakekku sejak aku berusia 9 tahun. Kemudian menggambil pamanku saat usiaku 12 tahun, Dia mengambil semua orang hingga aku tak punya siapapun. Apakah Allah yakin aku mampu menghadapinya? Bagaimana Dia yakin kalau aku mampu?"

"Jangan ragukan Tuhan..., kau mampu, kau bisa bertahan sampai sekarang bukan? Allah juga tak membuatmu sendirian selamanya. Dia mendatangkan diriku untuk menemanimu..., bukankah aku sudah berjanji...?"

***