Hari cerah.... Senyum nyata?

"Eh liat deh... Novelnya Jasline udah ada yang baru nihhh!", kata Mesty

"Owh ya?", kata Hening antusias

"Iya judulnya, 'My parents sepenuhnya milikku', parah sih, dia bikin tokoh super duper jahat buat pemeran utamanya, biasanya kan pemeran utamanya melowww B G T dan bikin gue mau mewek, sekarang rasanya gue mau bejek-bejek tuh pemeran utama", kata Mesty

"Apaan sih, yang jahat pemeran novel aja lebay!", kata Anira tanpa merasa bersalah.

"Berarti dia berhasil dong..."

"Berhasil gimana maksud kamu?", tanya Anira menatapku penuh pertanyaan.

"Ya berhasil..., Jasline berhasil bikin novelnya buming dan jadi buah bibir, yang termasuk kalian yang heboh ini", jelasku.

"Lo pengen buming juga nggak?", tanya Anira, entah ini pertanyaan macam apa, pertanyaan ini hanya akan pantas muncul kalau dia tahu aku suka membuat novel juga.

"Aku pengen jadi buming saat hari univerrsery Ayah dan Bunda", jawabku sambil menatap Anira dan sedikit senyum samar.

"Jangan salah... Ara juga pasti bisa buming kayak Jasline, cuman Ara pakai kemampuan matematika, yang jelas bukan sastra lah", kata Hening begitu yakin

"Alah.... palingan juga dia buming di hari univerrsery kalau..... bakar rumah?" kata Mesty.

"Enak aja, berani kamu lawan aku!!!", aku berteriak dan mulai menggelitikinya, dia menggeliat kemudian berlari. Aku mengejarnya, tertawa dan berputar-putar hingga melompati meja, di dalam kelas.

"Mesty my Besty, sini aku gelitikin!", aku tertawa

"Ogah...."

Dia tertawa lepas dan berlari lagi, hingga pada akhirnya kami mulai lelah, dan tenggorokan kami juga sudah sangat kering karena tertawa. Aku berhenti berlari dan aku tersadar kalau siswa lain juga ikut bersorak dan tertawa bersama kami, rasanya kebahagiaan memihak kepadaku lagi sekarang, bahagia... sangat, sangat ,sangat bahagia.

Mesti duduk di lantai, meluruskan kedua kakinya di lantai.

"Udah dong Ra, ahh... Ara mah nakutin, capek, udah yaaaa, please.....", dia merengek seperti anak kecil setelah lelah berlarian dan tertawa.

Aku hanya tersenyum tanda mengiyakan, kemueiam duduk santai di bangku dengan nafas yang terengah-engah, tetapi raut bahagiaku tak bisa bertutupi. Hingga aku sadar kalau sejak tadi Akhtar memerhatikan diriku, dia tersenyum dan tetap tersenyum saat aku menengok, membuat aku yang salah tingkah dan memalingkan pandanganku terhadapnya. Dan saat aku melihat Anira, ternyata dia memperhatikan ekspresiku dan membentuk tangannya menjadi bentuk hati.

"Ra!!! gue juga mau dong adegan romantis kaya gitu... kode cinta!" teriakan Mesty membuatku sadar kalau seisi kelas juga memerhatikan aku dan Akhtar membuat kami semakin salah tingkah.

Mesty bangun dan kemudian.... berbalik

"Aaaa..."

Dia terpeleset karena kaget, dan terjatuh dipelukan seorang kakak kelas yang baru saja masuk.

Mereka bertatapan begitu dalam, mereka masuk ke dunia yang hanya dimiliki dan dimengerti oleh mereka sendiri.

"owwwww... gemesh deh", teriak seorang siswi berkacamata dari kelas kami.

"Maa..., maaf kak", Mesty bangun dari pelukan kak Bastian, kakak kelas yang merupakan OSIS sekaligus tim futsal di kelas kami.

"Emmmm ya, iya nggak papa kok", nampaknya sang kakak kelas ini juga salah tingkah...

"Kakaknya ke sini mau apa? mau apelll yaaaa?", kata seorang siswi meledek.

"Nggak lah, saya ke sini mau memintai dana kegiatan kepada seluruh siswa", katanya dengan nada tegas, tetapi sayangnya pipinya masih merah seperti cery.

"Yahhhh.....", saut anak-anak dengan kompak. Begitulah sikap anak-anak saat uang jajan mereka harus berkurang karena iuran.

______________________________________________

"Ada apa? tumben sekali kau mengajakku duluan", tanya Akhtar dengan santai.

"Aku hanya ingin melunasi janjiku", aku berkata lirih. "Aku belum mencari tahu lebih jelas; siapa orang tua kandungku; mengapa aku bisa hadir di keluarga Dalvin (nama keluarga); dan mengapa mereka merahasiakannya dariku.

"Seperti yang pernah ku bilang, aku hanya ingin mengurangi beban orang yang telah mengurangi bebanku, maka jangan jadikan ceritamu padaku sebagai beban, kau bisa untuk tidak menceritakannya bila itu tak membuatmu nyaman, dan jangan anggap itu sebagai janji."

"Seperti kau yang mempercayai diriku sebagai orang yang tepat untuk bercerita, seperti itu pula rasa percayaku pada dirimu", aku menatapnya.

"Baiklah, silahkan...."

Aku mulai bercerita, sesekali aku menatapnya dan sesekali aku hanya sanggup menatap langit dari jendela. Aku tersenyum, tetapi aku meneteskan tetes demi tetes air mata.

"Seperti yang kau ketahui, aku bukan anak kandung mereka. Belum lama aku menemukan dekumen adopsi, aku sangat sedih waktu itu. Aku ke rumah kakak dan ternyata kakak tahu kalau aku melihat dokumen itu, dan kakak sudah tahu sejak lama. Awalnya aku kecewa, tetapi setelahnya aku berpikir kalau kakak tidak bersalah, dia hanya ingin menjaga perasaanku. Aku belum bicara pada ayah dan bunda kalau aku telah mengetahui semuanya, aku juga tahu kalau kakak tak akan mendahuluiku dengan mengatakannya pada mereka. Muncul nama Ara Alba di keluarga Dalvin, kata kakak nama itu pemberian orang tua kandungku, ketika aku kesal terkadang aku berpikir.... kenapa tak ditambah nama Dalvin? Apa karena aku bukan keluarga Dalvin yang sesungguhnya? Namun, aku selalu mencoba berprasangka baik, mungkin mereka punya alasan, yang sampai sekarang belum aku ketahui. Yang terpenting mereka menyayangiku bukan?"

"Mereka menyayangimu.... hanya saja rasa ingin tahumu belum berakhir, kau orang yang tegar", dia menghapus air mataku.

"Tegar? Lalu mengapa aku menangis?"

"Karena menahan tangis ketika bicara sangatlah sulit. Matamu bercucuran air mata, tetapi bibirmu masih sesekali tersenyum untuk menghiburnya"

Mengapa Akhtar ikut meneteskan air mata, apa semenyedihkan itu diriku, bahkan sepiku mungkin hanya seujung kuku jika dibandingkan dengan sepinya.

Seluruh keluarganya meninggal saat kecelakaan, lalu kakek dan pamannya juga meninggalkannya.

"Berhenti memandangku dengan tatapan yang menyedihkan, deritaku telah usai dan kini aku telah berbahagia. Bahkan bahagiaku cukup untuk dibagi denganmu....", dia yang semula memainkan sedotan di jelasnya tiba tiba berkata begitu, memandangku, kemudian tersenyum.

Aku terbelalak, dan.... malu....

"Mbak minta menu ya", aku mengalihkan pembicaraan. Kemudian pelayan kafe itu menghampiri kami.

"Kamu pesen apa?"

"chocolate ice cream and waffles"

"Mbak.... saya mau pesan chocolate ice cream w, waffles 1, strawberry cake 1"