BAB 7

Jam tujuh malam, Ellora bersiap. Dia hendak pergi ke balapan liar seperti biasanya. Dia begitu cantik dengan jaket kulit hitam dan rok span berwarna coklat.

Dia sampai di lokasi dan hendak menyapa teman-temannya ketika ada seseorang yang menghampirinya dengan memberinya minuman. Dia mengenalnya. Seorang pemuda yang menjadi anggota di klub 'CARFLASH', klub balap mobil, dimana Ellora juga menjadi anggota di dalamnya.

Setelah meminum air itu, dia merasa begitu pusing dan langsung tak sadarkan diri.

Saat sadar, betapa terkejutnya dia saat Dareen sedang berada di atas tubuhnya dan 'menggarap' dirinya. Dia berusaha melawan. Dia berusaha berontak. Namun apa daya. Sekuat apapun tenaganya, dia tetap tak akan mampu melawan kekuatan seorang lelaki yang memang lebih kuat darinya.

Ellora hanya bisa menangis merasakan kepedihan di dalam hatinya dan juga di bagian tubuhnya yang saat itu sedang 'di hajar' oleh Dareen.

"Mampus kamu. Salah siapa kamu sok jual mahal. Seandainya kamu kemaren tak menolakku, aku pasti tak akan sampai memperkosamu. Sekarang menangispun tak ada artinya, Ellora. Keperawananmu sudah berhasil aku tembus. Tak ada lagi kebanggaan yang bisa kamu agungkan lagi sekarang. Kamu sudah nggak perawan. Hahaha." Dareen menghinanya sambil terus melancarkan aksinya. Suaranya terengah-engah. Dia begitu menikmati tubuh Ellora yang begitu indah.

"Nggak ada gunanya kamu menangis, Sayang. Hahaha. Nikmati saja. Kenikmatan seindah ini nggak perlu kamu tangisi. Apalagi yang kini sedang 'bermain' denganmu adalah seorang pemuda tampan dan kaya. Dan kamu cintai tentunya. Jadi buat apa kamu menangis?" Dareen semakin dalam memasuki tubuh Ellora. Ellora tak mampu berkata-kata lagi. Air matanya semakin deras mengalir. Dia hancur. Lebur.

"Ah. Kamu memang luar biasa, Sayang. Cantik dan menggairahkan. Seandainya aku lelaki baik, aku pasti sudah akan menikahimu. Sayangnya aku lelaki brengsek. Dan aku nggak akan menikahimu sampai kapanpun. Bahkan kalau kamu hamil. Aku tak peduli. Ini balasan karena kamu menolakku kemaren." Dareen masih tetap belum beranjak. Dia malah semakin keras 'menyiksa' Ellora.

"Brengsek..." Ellora mengumpat. Tatapannya seakan ingin mencekik dan menginjak-injak lelaki yang ada di depannya. Yang dengan bangganya karena sudah menyetubuhinya.

Plaaaakkkkk!!! Darenn menampar Ellora. Begitu keras. Pipi Ellora merah. Ada rembesan darah keluar dari bibirnya. Ellora memejamkan matanya. Masih terus menangis.

"Aaaaaaggggghhhhh..." Tak cukup sampai di situ. Ellora berteriak kesakitan saat tangan Dareen ada di dadanya. Menyiksanya dengan menggenggam dadanya sekeras-kerasnya.

"Kenapa? Sakit? Aku bahkan bisa merobek dadamu saat ini juga kalau kamu masih terus memakiku. Aku bisa membunuhmu sekarang juga kalau mulutmu itu tak mau diam." Dareen mencengkeram dada Ellora semakin kuat. Ellora menggigit bibirnya. Dia menahan kesakitannya.

"Jangan kamu pikir bahwa kamu itu cantik, kamu bisa seenaknya sama aku. Aku nggak suka jika ada seseorang yang memakiku. Apalagi seorang cewek korban perkosaan sepertimu." Dareen menyudahi siksaannya setelah mendapatkan apa yang dia mau. Tubuh Ellora. Kesucian Ellora. Dan kenikmatan sialannya.

"Terimakasih untuk malam ini. Aku nggak akan pernah melupakan tubuhmu yang indah ini." Dareen membelai tubuh Ellora yang tak terbalut sehelai benangpun. Tubuh yang begitu indah. Kulit yang begitu halus.

"Aku pergi ya, Sayang. Sampai jumpa besok di sekolah." Dareen mengambil jaket kulit yang tergeletak di dekat Ellora. Setelah merapikan pakaiannya, dia lantas pergi. Meninggalkan seorang Ellora yang sudah dia telanjangi.

Ellora menangis. Hatinya sakit. Seluruh tubuhnya nyeri. Kesuciannya ternodai. Dan harga dirinya terlukai.

Dia mengambil bajunya dengan tangan yang gemetar. Di bersihkannya darah yang tersisa dari area pribadinya dengan pakaiannya. Setelah bersih, di pakainya satu per satu pakaiannya hingga kini dia sudah lengkap memakainya.

Dia berjalan tertatih. Mendaki pondasi jembatan untuk bisa sampai di jalan raya. Jembatan yang selamanya tak akan pernah di lupakannya. Jembatan yang setiap hari di lewatinya saat dia hendak pergi ke sekolah. Jembatan besar yang di hiasi begitu banyak lampu berwarna-warni yang semasa kecil begitu di kaguminya, kini menjadi jembatan laknat yang di kutuknya.

Dan lelaki itu. Lelaki yang sudah memperkosanya di bawah jembatan favoritnya, dia juga akan mengutuknya. Dia akan mengutuk kebiadabannya. Dia akan mengutuknya agar membusuk di dasar neraka. Tempat yang pantas untuk lelaki seperti dia.

Susah payah Ellora berhasil sampai di pinggir jalan raya. Dia berjalan tertatih. Rasa sakit luar biasa yang di rasakannya begitu membuatnya gemetar. Dia seakan ingin pingsan.

Ellora menyetop taksi yang lewat. Dia segera masuk ke dalam taksi dengan begitu hati-hati.

"Ke jalan Gelora ya Pak." katanya lirih. Dia ingin kembali ke tempat teman-temannya berkumpul. Mengambil mobil dan tasnya.

"Mbak kenapa? Mbak sakit? Apa kita ke Rumah Sakit dulu aja Mbak?" Sopir taksi itu melihat ada darah yang menetes dari bibir Ellora. Dia juga melihat ada memar di wajah Ellora. Dan ada darah di baju Ellora.

"Nggak usah Pak." Ellora memalingkan wajahnya. Dia menangis. Di tatapnya jalanan dari balik kaca jendela. Jalanan yang begitu ramai. Jalanan yyang setiap hari di laluinya. Jalanan yang begitu akrab dengannya. Kini terasa begitu menjijikkan. Seakan sedang menertawakan dirinya.

Ellora memejamkan matanya. Dia menggenggam tangannya kuat-kuat. Merasakan tubuhnya seakan tak bernyawa. Seakan sudah lebur. Luluh lantah berantakan, bak batu yang di hantam gadha berkali-kali.

"Ello, kamu dari mana aja sih?" Teman-temannya menghampirinya ketika dia baru turun dari taksi. Ellora menangis. Dia tak mampu menjawab pertanyaan teman-temannya. Temannya yang khawatir langsung merangkul Ellora dan membayar taksi Ellora terlebih dahulu.

"Eh, kenapa nih, kenapa nih?" ujar teman-teman lelakinya. Mereka ternyata belum pulang. Mereka menunggui mobil Ellora. Karena memang kesepakatan mereka kalau para wanita yang ada di klub itu, harus di pastikan pulang dalam keadaan selamat dengan mengantar para wanita satu per satu setelah balapan selesai.

"It's Oke. Kita antar Ellora pulang dulu. Dia kayaknya syock." Kata ketua di klub itu. Ben namanya.

"Oke. Jawab anggota yang lainnya." Ellora masih tak menjawab. Campur aduk perasaannya. Dia masuk ke dalam mobil.

Selang beberapa menit, mobil Ellora melaju kencang. Ellora menangis di pelukan teman wanitanya yang bernama Sella. Pacarnya Ben. Sedangkan Ben yang mengemudikan mobil Ellora. Teman-teman yang lainnya mengikutinya dari belakang.

"Tio." kata Ellora tiba-tiba sambil terisak. Tio. Lelaki yang memberinya minuman. Dia tak ada di antara teman-temannya.

"Oh, dia udah pulang duluan tadi El. Ada urusan katanya. Kenapa?" jawab Ben. Dia menatap Ellora dari spion depan. Seakan curiga kenapa Ellora tiba-tiba menanyakan Tio. Padahal Ellora tak pernah akrab dengannya.

Ellora menggigit bibir bawahnya. Dia terisak semakin keras. Tubuhnya bergoncang, tak sanggup menahan deritanya.

Lagi-lagi Ellora hanya diam. Dia tak mengindahkan pertanyaan Ben. Memang tak ada yang perlu di jawab. Dia belum siap menahan deritanya ketika semua orang tahu tentang apa yang menimpanya. Mungkin akan banyak yang merangkulnya. Tapi tak sedikit juga yang akan mencemoohnya. Dan itu membuatnya seakan takut. Takut menghadapi harinya.

***