Laras memanggil suster gadungan itu untuk membawa Limas menghadiri acara syukuran dan nanti Laras akan mengatur semuanya menyatukan syukuran Lara dan Limas, tapi orang-orang akan tetap mengira bahwa Limas itu anak yang tidak mampu yang ingin melaksanakan syukuran juga.
["Halo Anjani kamu harus datang besok ke rumah saya karena akan diadakn acara syukuran, saya ingin Limas bisa datang dan berpura-pura menjadi putri kamu."]
"Iya bu besok saya akan datang bersama Limas."
Laras langsung menutup telpon karena Dion datang dengan tiba-tiba, membuka pintu kamar sangat kencang.
"Bisa gak sih kalau datang itu dengan sopan ucapkan salam!" Lirih Laras.
"Hah apa? aku gak salah denger nih seorang Laras menyuruh aku untuk mengucapkan salam," ucap Dion sarkas.
"Mau kamu apa sih?"
"Aku mau anak kita kembali," singkat padat dan jelas itulah keinginan Dion
"Tidak Mas! Besok Anjani akan ke sini dan aku harap kamu bisa menyembunyikan semuanya."
"Sialan kamu Laras," pekik Dion melayangkan tangan kirinya. Dion akan menampar Laras tapi Lara menangis, akhirnya Dion tidak lagi mau bicara dengan Laras karena percuma ego nya Laras itu sangat tinggi.
Pikiran Dion setiap harinya semakin kacau, dia selalu teringat putri pertamanya itu.
Acara syukuranpun tiba semua keluarga besar Dion berkumpul di rumahnya ada para Ustadz dan ada anak-anak yatim juga, semua ini adalah kemuan Jidah ibunya Dion.
Dua bayi perempuan ada di hadapan Dion salah satunya adalah Limas putri pertama Dion, tapi orang-orang mengira itu adalah anak kampung yang tidak mampu untuk melaksanakan acara syukuran sebesar ini.
Dion memandang ke arah Laras dan Laras tersenyum licik.
Setelah acara selesai Dion mencari Limas tapi tak Dion temukan, sebab Anjani telah dulu membawa Limas pulang. Laraspun muncul lalu berkata "Percuma kamu cari anak itu, aku sudah menyuruhnya pulang."
Anjani adalah seorang buruh konveksi dan suami Anjani adalah pegawai bangunan sebut saja namanya Anjar, mereka berdua sangat senang akan keberadaan Limas meski Limas mempunyai kekurangan.
"Ibu dari mana?" tanya Anjar kepada istrinya itu.
"Ibu dari rumah Limas Pak syukuran bersama dengan Lara adiknya Limas dan Ibu juga diberi uang oleh Bu Laras katanya untuk membeli susu."
Anjar berpikir kenapa keluarga Handoko tega membuang Limas padahal Limas itu adalah sebuah anuugerah dari Allah.
Komplek elit yang terdapat di pusat kota dan lebih tepatnya belakang komplek itu ada kampung kecil rumahnya Anjani terdapat di situ, Limas dibesarkan di sebuah kampung sedangkan Lara dibesarkan di kalangan orang kaya yang lingkungan pertemanannya mempunyai batasan harta.
****
Lima tahun berlalu Dion tidak mengetahui keberadaan anaknya, sedangkan Laras masih tetap acuh bahkan tidak perduli sama sekali. Lima tahun itu juga Dion masih geram pada istrinya. Laras berusaha membujuk suaminya agar tidak terus mendiamkan dirinya. Dion hanya memberi perhatian pada Lara anaknya tapi tidak pada Istrinya yang menyebalkan itu.
Pagi hari Dion sedang berada di teras rumah membaca koran lalu Laras datang membawa satu gelas teh hangat. Laras menyapa Dion dengan ramah tapi Dion malah memandang sinis dan pergi.
"Mas maafkan mas aku tahu aku salah!" Laras memegang tangan Dion.
"Terus saja seperti itu mengaku salah tapi tidak pernah sadar," ucap Dion dengan datar.
Dion yang sudah membuka pintu mobil dan akan pergi diberhentikan oleh Laras, Laras memberitahukan bahwa anak pertamanya itu ada di perkampungan belakang komplek.
"Coba katakan dengan siapa dia hidup!" Dion mendekati wajah Laras.
"Dengan Anjani suster gadungan itu, kamu berjanji kan kamu tidak akan pernah membawa lagi pulang anak itu."
"Aku ingin tahu di mana alamat lengkapnya dan wajahnya."
Laras pun memberikan alamat lengkap Anjani dan sebuah foto Anjani dengan suaminya. Dion segera menaiki mobil pergi ke tempat tersebut, perkampungan itu sangat kumuh apalagi di belakang Komplek.Sungguh dia tidak tega melihat anaknya hidup di sini.
Tapi Dion bukan orang yang suka mengingkari janji dia sudah berjanji kepada istrinya tidak akan membawa kembali anak pertamanya mungkin Dion hanya akan melihat saja.
Cinta memang buta ya, itulah Dion pada Laras.
Dion mencari ke setiap gang melihat ke setiap nomor rumah yang terpampang di kaca. Lalu ada sebuah rumah di ujung berwarna hijau ukuran 2×5 meter dan depannya ada lapangan kosong. Dion melihat seorang anak kecil perempuan yang sedang duduk di bangku kayu melihat bangunan belakang komplek, bangunan yang menjulang tinggi menutup perkampungan. Dion bisa menebak anak perempuan itu adalah Limas anak pertamanya.
Air matanya turun, dia merasa sangat gagal menjadi ayah bahkan dia bersimpuh lutut sedari menangis. Anjani pun melihat kejadian ini Anjani yang mengetahui itu Dion, langsung menghampiri.
"Maafkan saya tapi semua ini adalah perintah Bu Laras Pak, saya tidak bisa menolak karena saya juga ingin mempunyai anak. Saya mengurus Limas dengan baik sebagaimana seorang Ibu merawat anaknya, saya tidak pernah mau melihat Limas sakit Limas sudah saya anggap sebagai darah daging saya meski dia bukan darah daging saya," ucap Anjani menjelaskan.
Dion menangis sesegukan ia menyeka air mata dengan tangannya lalu berdiri dan menghampiri Limas. Dion duduk di sebelah Limas "Apa yang kamu lihat nak?" Tanya Dion.
Limas memandang ke arah Dion tapi tak berekspresi apapun lalu dia kembali memandang tembok komplek yang berjejer itu.
"Aku ingin punya rumah di sana membawa ayah dan ibu tinggal di sana, aku tidak ingin diam di sini rumahku sangat sempit," kata Limas dengan polosnya menjelaskan pada Dion.
Dion memalingkan wajah air matanya turun lagi, dia memijat pelipis hatinya sangat terluka dan begitu sesak di dada. Anak yang seharusnya tinggal bersama tapi kini terpisah malah hidup sengsara.
"Bapak kenapa menangis?" tanya Limas yang dari tadi memperhatikan Dion.
"Enggak kok hehehe, Bapak juga pengen punya rumah di sana." Dion berusaha menghibur Limas.
"Bapak terlihat seperti orang kaya Bapak pasti yang punya rumah di salah satu komplek elit itu,
kata ibu orang kaya suka memakai kemeja, berdasi merah terus berjas pokoknya penampilannya sama seperti bapak. Berarti orang kaya, Bapak tidak mungkin tidak punya rumah di sana," jelas Limas.
Dion berusaha menahan tangisnya tapi sekuat apapun menahan tangis akhirnya air mata itu turun lagi, dia tidak bisa membendung kesedihan ini. Dion memeluk Limas mendekapnya di dada dan mencium keningnya.
Limas merasa nyaman ya karena mungkin itu memang pelukan dari seorang Ayah kandung.
"Bapak siapa? Aku tidak pernah melihat Bapak di kampung ini," Limas bertanya mendongakkan kepala dan masih dalam dekapan Dion.
"Bapak adalah seorang guru dan bapak lihat ada perkampungan di sini jadi Bapak ke sini Bapak bukan orang kaya kok," jawab Dion.
Limas yang masih kecil percaya saja dengan apa yang Dion katakan.
"Kamu mau ke Alfamart tidak?" Ajak Dion pada Limas.
"Apa itu Alfamart? selama ini aku belum pernah ke sana," tanyanya dengan polos.
"Nanti bapak bilang sama ibu kamu ya Bapak mau ajak kamu ke Alfa beli makanan."
"Iya aku mau tapi Bapak gak akan nyulik aku kan?"
"Enggak akan kok kan Bapak orang baik."
Limaspun tersenyum sumringah.
Setelah berdiskusi dengan Anjani akhirnya Dion pun membawa limas untuk pergi ke Indomaret atau Alfamart, apa yang dokter katakan lima tahun yang lalu itu memang benar sekarang Limas berumur 5 tahun dan jalannya terlihat tidak normal seperti orang biasa, kaki kirinya digusur tidak bisa menginjak dan menahan seperti kaki kanan.