Bertemu Pertama Kali

"Kau tidak berangkat ke kantor lagi?" tanya seorang laki-laki yang tengah menyemir sepatu hitamnya.

Laki-laki yang ditanya mengedikkan bahu sambil menarik ujung bibirnya ke atas.

"Masa hukumanku baru beberapa hari dimulai," sahutnya.

"Bersabarlah kau, Gibran. Meski bukan kesalahanmu, tapi kau memang berada di waktu dan tempat yang salah," ujar laki-laki yang kini tengah berdiri dan merapikan dasinya. Rupanya sepatunya sudah selesai ia semir dan sudah tertempel di kakinya.

"Yeah … mungkin aku memang sedang tidak beruntung saja," sahut laki-laki itu sambil bangkit dari posisi tidurnya. Ia kemudian menjulurkan kakinya ke bawah ranjang.

"Tidak semuanya, kau masih punya keberuntungan karena kau hanya di skors dari pekerjaanmu sebagai sekretaris pribadi selama sebulan. Jika tidak, mungkin saja kau sudah mendekam di penjara karena tuduhan membunuh anak dari pemilik perusahaan SAMUDRA SEAFOOD."

Laki-laki yang dipanggil "Gibran" itu menghela nafas panjang. Otaknya seolah mengingat kembali kejadian di mana ia berada di situasi yang sangat genting. Seolah nyawanya hampir saja tercabut paksa dari raganya.

***

BEBERAPA HARI SEBELUMNYA …

"Gibran, semua pengalihan tugas dan jadwalmu sudah dikerjakan oleh sekretaris baruku, Sasa. Kau tinggal menyesuaikan kembali beberapa hal yang belum sinkron dengan bos barumu. Ah, iya ingat! Besok adalah hari pertamanya bekerja sebagai CEO di kantor ini. Kau harus memperlakukannya secara cermat dan sabar," ujar Zico dengan nada mengintimidasi. Ekspresinya tak kalah menakutkan dari ancamannya.

Gibran mengangguk. Ia bukan asal mengangguk layaknya sebuah tugas ringan yang biasa ia terima dari bos lamanya itu, tapi ia sangat sadar betul bahwa yang akan menjadi bos barunya itu adalah seseorang yang sangat berharga bagi tuan Zico.

Ya, Gibran sudah menjadi sekretaris Zico selama hampir sepuluh tahun sejak Zico menjabat sebagai CEO di kantor pusat Bandung. Meski hubungannya dengan Zico di kantor adalah karyawan dan atasan, tapi Zico selalu menganggap Gibran selayaknya seorang sahabat. Gibran sudah sangat paham tentang keidupan pribadi Zico. Semua sudah tertera di dalam buku agenda sekretarisnya, kecuali kehidupan pribadinya. Zico sangat tertutup jika berurusan dengan hal-hal pribadi.

"Baik tuan Zico, saya mengerti," sahut Gibran.

"Ah, sepertinya aku masih ada waktu satu jam sampai jadwal penerbanganku ke London. Sasa, bisa kau buatkan aku reservasi di restaurant steak, aku ingin makan siang dengan Yonaa nanti siang," ujar Zico setelah melihat jam di tangannya yang sudah memasuki jam makan siang.

"Baik tuan, akan saya hubungi sekarang, permisi pak," sahut Sasa lalu undur diri dari ruangan Zico.

"Kalau begitu, saya juga permisi. Saya akan mengecek jadwalbberapa dokumen untuk seminggu ke depan," ujar Gibran yang bermaksud untuk ikut undur diri dari hadapan Zico.

Zico mengangguk. Ia lalu berjalan memutari meja sambil mengambil satu foto yang selalu bertengger di atas meja kerjanya. Foto dirinya dan seorang gadis kecil yang mengenakan seragam sekolah dasar. Di foto itu ia terlihat tersenyum bahagia sambil menggandeng tangan gadis itu. Foto yang selalu menjadi penyemangatnya dalam bekerja di ruangan itu.

"Kau, sekarang sudah besar, Yonaa. Aku akan selalu ada untukmu kapanpun," gumam Zico sambil mengusap pelan foto Yonaa yang tengah tersenyum lepas.

Sementara itu, Gibran tengah mengatur jadwal untuk bos barunya, tiba-tiba saja perutnya mendadak sakit.

"Haish … aku salah makan apa tadi pagi? Kenapa perutku sakit begini?" rintih Gibran sambil memegangi perutnya.

"Ah, Sasa. Aku ke belakang dulu sebentar. Kalau tuan Zico memerlukanku, kau kabari aku via chat," ujar Gibran pada Sasa sambil menodongkan ponsel miliknya ke pandangan Sasa.

Setelah mendapat sinyal berupa anggukan dari kepala Sasa, Gibran langsung melesat pergi ke area toilet untuk menyelesaikan urusannya.

"Aduh!" seru seorang gadis cantik di hadapan Gibran.

Tapi belum juga sampai di lorong area toilet, ia tersentak kaget karena bahunya menyenggol seseorang. Gibran sontak mendongak dan melihat siapa orang yang tak sengaja ia tabrak saat terburu-buru ke area toilet.

"Ah, maafkan saya … saya tidak melihat anda dari arah depan. Maafkan saya, nona," ujar Gibran sambil menundukkan kepalanya tanda permohonan maaf.

Matanya menangkap seraut wajah nan ayu dari gadis di depannya. Hampir sepuluh detik ia terpana pada wajah jelita milik gadis itu tanpa sadar.

"Ah, iya maaf. Aku juga yang salah karena berjalan tanpa melihat arah depan. Aku hanya tidak tahu harus ke mana," ujarnya sambil menyunggingkan senyum tipis.

'Astaga … cantik sekali gadis ini … ' batin Gibran terpesona dengan kecantikan alami gadis itu.

"Ehm, maaf. Bolehkah aku tahu, di mana ruangan pak Zico?" ujarnya memecah lamunan Gibran.

"Ah, iya. Nona bisa langsung lurus saja dari sini. Ruangan pak Zico ada di sebelah kiri," jawab Gibran hampir tergagap.

"Terima kasih, kalau begitu aku duluan ya," sahutnya lalu pergi meninggalkan Gibran dengan sejuta tanya.

"Ya Tuhan … siapa dia? Sungguh cantik, apakah dia kekasih tuan Zico? Tapi … sepertinya aku pernah melihat wajah itu, di mana aku pernah melihatnya?" gumamnya sambil mengingat-ingat siapa gadis itu.

"Ah, entahlah. Sebaiknya aku segera ke toilet. Sebelum tuan Zico mencariku," desisnya lalu ia berbelok ke lorong area kamar mandi pria.

***

"Maaf, aku mau bertemu dengan kak Zico. Apakah aku bisa bertemu dengannya?" ujar Yonaa pada wanita berkemeja biru.

Wanita itu mendongak.

"Ah, iya nona. Tuan Zico sudah menunggu nona Yonaa di dalam. Mari, saya antarkan ke dalam ruangan beliau," sahutnya.

"Menungguku?" tanya Yonaa heran.

Zico sudah memberitahu foto Yonaa pada Sasa. Karena itulah, Sasa langsung dapat mengenali wajah Yonaa meski baru pertama kali melihatnya. Berbeda dengan Gibran, Zico tak pernah menunjukkan foto Yonaa yang terbaru karena sikap protektif dan posesif Zico pada adik kesayangannya itu.

"Nona Yonaa bisa duduk terlebih dahulu. Saya akan masuk ke dalam untuk memberitahu pada tuan Zico" ujar Sasa sambil emnunjukkan sofa di samping ruangan Zico.

Setelah itu, Sasa mengetuk pintu ruangan Zico.

"Permisi tuan. Nona Yonaa ada di sini," ujar Sasa.

Mata Zico langsung berbinar. "Suruh dia masuk."

"Baik tuan."

Sasa kembali menemui Yonaa. "Nona, silakan masuk. Tuan Zico sudah menunggu nona di dalam.

Tanpa menunggu lama lagi, Yonaa langsung masuk ke dalam ruangan Zico.

"Kakak ... " seru Yonaa saat melihat Zico di dalam ruangan itu.

Ia tak menyangka Yonaa justru malah mendatanginya di kantor. Ia lantas bangkit dari duduknya untuk menyambut adik kesayangannya itu.

Yonaa langsung berlari dan memeluk Zico.

"Kakak baru saja akan menjemputmu, kau malah mendatangi kakak. Ada apa, sayang?" ujar Zico mengusap lembut pucuk kepala Yonaa.

Yonaa mendongak, meski ia tak mengubah sedikitpun posisi tangannya yang memeluk tubuh kekar Zico.

"Menjemputku? Memangnya kakak mau mengajakku ke mana?" tanya Yonaa polos.

"Kakak mau mengajakmu makan siang sebelum kakak terbang ke London," sahut Zico.

Pelukan Yonaa meregang.Wajahnya kini berubah menjadi masam.

"Ada apa sayang? Kau tak mau makan siang dengan kakak?" tanya Zico bingung.

Yonaa menggeleng.

"Lalu, kenapa wajahmu sedih seperti itu? Apa kau mau ke tempat lain?"

Sekali lagi Yonaa menggelengkan kepalanya.

"Aku hanya sedih karena kakak harus terbang ke London. Aku pasti akan kesepian lagi," ujar Yonaa.