FLASHBACK

" Apa Rado mau pergi bersama Opa?" tanya Bella pada putranya yang terlihat ragu.

" Pergilah! Opa sangat saaaayang sama Rado! Bukan begitu Opa?" tanya Bella.

" Tentu saja! Opa saaaaaayang sekali sama..." Max pura-pura tidak ingat nama Rado.

" Rado, Opa! Elrado Smith..."

" Bakhtiar!" sahut Bella tegas.

Max menatap tajam wajah putrinya, dia tidak suka jika Bella memberikan nama Evan di belakang cucunya.

" Apa B itu Bakhtiar, mami?" tanya Rado.

" Bukan..."

" Iya!"

Max dan Bella menjawab pertanyaan Rado secara bersamaan.

" Iya, sayang! Nama kamu Elrado Smith Bakhtiar!" kata Netta dengan sabar.

" Trima kasih, ma!" kata Bella.

" Jangan bicara apa-apa, Max!" kata Netta yang tahu jika suaminya itu akan membalas ucapannya.

" Kita melihat Legonya?" tanya Netta.

" Sayang! Kamu merusak rencanaku!" kata Max merajuk.

" Apa kamu tidak malu berdebat dengan putrimu dihadapan cucumu? Kamu selalu seperti itu!" kata Netta kesal.

" Maaf, sayang! Kamu tahu sendiri bagaimana suamimu ini!" kata Max lagi.

" Ckckk! Sudah tua tapi masih seperti anak-anak saja!" ucap Netta sebel.

" Ayo, cucu Oma!" ajak Netta.

Bella menurunkan putranya lalu Rado memegang tangan Netta dan Max.

" Ayo, Oma! Opa!" kata Rado.

Max yang melihat semua itu merasa sangat terharu, dia merasa jika Rado akan menjadi anak yang hebat nantinya.

" Papa masih belum selesai denganmu, sayang!" bisik Max.

Deg! Bella menelan salivanya, dia tahu jika papanya pasti akan meminta penjelasan darinya. Max dan Netta berjalan bersama Rado menuju ke lantai 2, sementara Bella menatap dengan mata berkaca-kaca. Trima kasih, Tuhan! batin Bella. Setelah mereka hilang dari pandangan, Bella segera keluar dari rumahnya dan masuk ke dalam mobilnya.

Sementara itu di sebuah Rumah Sakit, Evan terbaring dengan wajah lebam dan kepala di perban. Ponselnya bergetar sedari tadi, tapi dia mengabaikannya.

" Kenapa nggak lo angkat?" tanya Malv yang duduk di sofa.

" Nggak penting!" jawab Evan.

" Kalo dari istri lo, lo angkat aja! Mungkin anak lo nyariin!" kata Malv.

" Gue..."

" Denger, Van! Bukan berarti orang tua gue bakal nerima lo biar keadaan lo kayak gini!" kata Malv terdengar sadis.

Evan tahu jika dirinya tidak pantas untuk di maafkan dan diterima di keluarga Smith. Tapi setidaknya dia ingin bertanggung jawab untuk putranya.

" Gue tahu, Kak! Gue nggak pantas masuk ke dalam keluarga Kakak! Tapi paling tidak gue ingin bertanggung jawab terhadap anak gue! Darah daging gue!" kata Evan menjelaskan.

" Kenapa baru sekarang?" tanya Malv.

Evan menghela nafas panjang, lalu mencoba untuk duduk.

" Karena gue baru mengingat semuanya seminggu yang lalu!" jawab Evan.

" Kenapa? Karena menurut gue, kasus amnesia lo itu harusnya bisa sembuh dalam kurun waktu setahun!" kata Malv santai.

" Gue tahu! Dan gue terlalu bodoh karena baru sadar setelah 5 tahun ini!" jawab Evan dengan wajah penuh penyesalan.

FLASHBACK

Sudah sejak seminggu ini Evan mendapatkan kilatan-kilatan memori dalam kepalanya. Yang sering dia lihat adalah wajah Bella, sahabatnya sejak kecil dulu. Dia tidak tahu kenapa bisa mengingat Bella, karena sudah sangat lama mereka tidak bertemu.

" Apa artinya itu, Dev?" tanya Evan pada temannya yang seorang psikiater.

Devi menghela nafasnya dengan berat, dia memejamkan kedua matanya lalu menatap ke arah manik mata Evan.

" Gue bicara sebagai teman lo saat ini, bukan sebagai dokter lo!" kata Devi.

" Maksud lo apa?" tanya Evan tidak mengerti.

" Sebelumnya gue minta maaf! Memang ini sangat bertentangan dengan hati nurani dan kode etik, tapi gue nggak bisa menolak semua keinginan istri lo sebagai sesama wanita!" kata Devi lagi.

" Wait! Gue makin nggak ngerti! Apa hubungannya semua itu dengan istri gue?" tanya Evan kaget.

" Istri lo... minta gue... buat..."

" Buat apa?" tanya Evan yang melihat Devi menghentikan ucapannya.

" Buat...bikin lo lupa akan masa lalu lo!" jawab Devi dengan tatapan menyesalnya.

" Apa? Tapi kenapa? Dan bagaimana?" tanya Evan masih menerka-nerka apa yang terjadi.

" Obat yang lo minum...itu bukan vitamin!" kata Devi.

" Jangan bercanda lo, Dev!" kata Evan.

" Gue serius, Van! Itu obat agar amnesia lo nggak bisa sembuh!" kata Devi lagi.

" Tapi obat itu dari Dr. Kylan!" sahut Evan tidak percaya.

" Lo inget foto ini?" tanya Devi yang memperlihatkan sebuah foto dari ponselnya.

Evan menatap foto tersebut, lalu matanya membulat melihat siapa dan apa yang dilakukan orang di foto tersebut.

" Aaakhhhhhhh!" teriak Evan memegang kepalanya.

Kepalanya seketika terasa sakit saat dia melihat foto itu dan mencoba mengingat dimana dan kapan kejadian itu terjadi.

" Ambil nafas Van! Lupakan! Jangan mencoba mengingatnya!" kata Devi membantu Evan dengan membawanya duduk di kursi kosongnya.

" Pejamkan mata lo sejenak! Ambil nafas perlahan...lalu buang! Lakukan berulang hingga lo merasa tenang! Kosongkan pikiran lo seperti biasa!" kata Devi.

Evan menuruti semua perintah Devi, perlahan dia merasa tenang dan kepalanya sudah tidak sesakit tadi. Evan membuka kedua matanya dan menatap Devi penuh tanya.

" Foto itu diambil seseorang dan diberikan pada Dania 5 tahun yang lalu! Lo nggak akan bisa mengingat semua itu selama lo masih meminum obat itu, Van!" kata Devi dengan nada sedih.

" Tapi kenapa dokter itu..."

" Dia teman gue! Dia ahli saraf! Dan saat Dania memohon sama gue agar lo bisa melupakan masa lalu lo demi kelanjutan rumah tangga kalian, gue merasa sedih sebagai sesama wanita!" tutur Devi.

" Tapi lo temen gue, Dev!" kata Evan.

" Gue juga wanita, Van! Dan gue tahu rasanya di khianati!" kata Devi jujur.

" Dikhianati? Gue?" tanya Evan terkejut.

" Lo temui saja temen papa gue! Namanya Dr. Albert, ini kartu namanya!" kata Devi memberikan sebuah kartu nama yang dia ambil dari dalam tasnya.

"Evan menerima dan membaca kartu nama tersebut dan memasukkannya ke dalam sakunya.

" Dia seorang ahli saraf!" kata Devi.

" Ok, thanks, Dev! Gue akan bicara lagi sama lo nanti!" kata Evan setelah tenang dan merasa baikan.

Evan keluar dari ruangan Devi dan berjalan menuju ke arah pintu masuk rumah sakit. Evan melihat seorang wanita sedang bercakap-cakap dengan seorang dokter agak jauh dari tempatnya berdiri. Seperti Dania dan Dr. Kylan? batin Evan. Tapi Dania bilang tadi dia menunggu Ai di sekolah! batin Evan lagi. Ponsel Evan berdering, nama papanya tertera di layar ponsel.

Setelah selesai dengan papanya, Evan kembali melihat ke arah Dania lagi, tapi mereka sudah tidak ada. Evan berjalan keluar rumah sakit menuju ke mobilnya. Dia menekan nomor Dania, tapi tidak diangkat. Evan menelpon lagi nomor Dania, kembali tidak diangkat.

" Apa bener itu tadi Dania?" tanya Evan ambigu.

Evan masuk ke dalam mobilnya dan menuju ke tempat praktek Dr. Albert. Tempat praktek tersebut lumayan jauh dari rumahnya, hingga memakan waktu satu jam.

" Sudah berapa lama kamu mengkonsumsi obat ini?" tanya Evan.

" Kira-kira 3 tahunan, Dok!" jawab Evan yang duduk di hadapan Dr. Albert.

" Hasil terakhir MRI kamu?" tanya Albert.

" Ada di rumah, Dok!" jawab Evan.

" Bawa kesini!" kata Albert lagi.