Simpati

“Ken, kau dari mana?" Ibunya keluar dari ruang keluarga ketika Ken lewat hendak menuju kamarnya. Kennard lantas menghentikan langkahnya melihat ke arah Ibunya kini memangku tangan dan menatapnya serius.

"Dari rumah gadis itu lagi?" tebak Ibunya membuat Ken menoleh kesal.

"Ibu bisa menjodohkan ku dengan siapa pun, tapi jangan ganggu dia, jangan larang aku untuk bertemu dengannya juga." jawab Ken kesal, tak setuju dengan ucapan Ibunya itu. Raut muka Thalia berubah serius, ia tidak suka Ken menemui gadis itu. Itulah salah satu alasan ia menyuruh Ken untuk menikah. Agar terbebas dari Laura.

"Ibu tak menyukainya, dia hanya memanfaatkan mu untuk hidupnya. Dia hanya akan membuat keluarga kita bangkrut. Kau akan menikah bulan depan, jadi jangan temui dia lagi, atau rumah dan kuliahnya akan Ibu ambil." ucap Thalia dengan suara lantang ke arah Kennard. Ken mendengarnya semakin kesal. Ia menatap wanita paruh baya itu kini menatapnya dengan raut muka marah. Ken akan selalu berdebat mengenai Laura.

Walaupun Laura tak pernah salah, tetap saja Thalia mengatakan semua kejelekannya.

"Apakah Ibu benar-benar Ibuku? Kenapa Ibu selalu kejam pada semua anak mu, jangan usik dia atau aku akan kabur bersama orang yang paling Ibu benci itu, jadi Ibu bebas memilih. Jangan membuatku tambah membencimu. Aku tak mengerti kenapa Ibu lebih kejam dari Ibu tiri?" Kesal Kennard kembali berjalan menuju kamarnya yang tinggal beberapa langkah lagi, masuk dan membanting pintu kamarnya kesal membuat Thalia sedikit terkejut, dan ini bukan pertama lagi mereka berdebat karena Laura. Thalia selalu menganggap Laura adalah gadis sial. Ken terduduk lemas di balik pintu memegang kepalanya yang terasa semakin berat.

"Sial." gerutunya kesal sambil mengacak-acak rambutnya. Detik berikutnya Ken kembali berdiri, padahal niat hatinya ingin istirahat tapi malah seperti ini. Ia tidak bisa tidur sekarang. Alhasil, Ken memilih kembali bangkit dan keluar dari kamarnya, ia sudah tidak menemukan Ibunya di sana. Ia berpikir untuk ke rumah sahabatnya saja, Galvin. Berharap Galvin bisa menenangkannya sedikit.

***

Galvin menatap sahabatnya itu dari ujung kaki ke kepala, Ken tampak kusut dan berantakan.

"Kau sehat? Tanya Galvin serius. Ken mengangguk lemah.

"Yah, sedikit. Kepala ku ingin meledak jika melihat Ibuku di rumah." balasnya mengambil duduk di atas sofa berwarna cream disudut apartemen Galvin. Ia merebahkan kepalanya di sandaran sofa, sembari mengusap mukanya dengan kedua tangannya.

"Jadi, ibumu masih memaksa mu untuk menikah?" tanya Galvin. Lelaki berkacamata itu merupakan sahabat baik Ken, mereka sudah seperti saudara. Lelaki berkulit sawo matang dan terlihat manis. Ia punya senyum khas yang membuat banyak wanita terpesona. Galvin beranjak menuju lemari es miliknya, membukanya, meraih sebotol jus jeruk dari dalam sana.

Menuangkan di dalam gelas kaca yang ia ambil di rak di samping lemari es itu. Lalu membawanya pada Ken, menyodorkan gelas itu pada Ken.

"Iya, aku harus menerimanya dengan sangat tidak iklhas." Gerutunya kesal, mengangkat kepalanya, meraih gelas itu dan meneguknya sedikit, lalu mengoyang-goyang kannya pelan.

"Jadi? Kau pulang kesini hanya untuk menikahi gadis yang ingin dijodohkan Ibumu padamu?"

"Apa kau sudah bertemu dengannya?" Galvin ikut mengambil duduk di samping Ken di atas sofa.

"Belum, mereka masih merahasiakannya dariku." kata Ken memasang wajah frustasi membuat Galvin tersenyum samar. Ia tahu sekarang Ken pasti sangat kesal.

"Aku tak tahu kenapa dia juga menerima perjodohan ini, aku yakin dia tak laku," sahutnya membuat Galvin tertawa kecil mendengar ucapan itu. Ternyata sahabatnya itu masih bisa bercanda disaat seperti ini.

"Aku ingin segera bertemu dan membuat beberapa perhitungan dengannya." Ken kembali meneguk sedikit jusnya, lalu ia letakkan di atas meja kaca di depannya.

"Kenapa tak kau saja menolaknya?" Galvin menepuk pundak sahabatnya itu. Mereka sudah bersahabat selama kurang lebih sepuluh tahun. Sejak keduanya berada di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ken menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Detik berikutnya ia menggeleng serius.

"Aku tak bisa, mereka akan menghancurkan hidup Laura jika aku menolak. Aku tak bisa menyakitinya lagi untuk kedua kalinya." Sahut Ken kesal. Mukanya tampak semakin frustasi. Galvin mengangguk paham.

"Kau masih merasa bersalah padanya?" Galvin bertanya lagi. Ia masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu pada malam itu.

"Iya, dia tanggung jawabku penuh." sahutnya Ken cepat.

"Tapi kau tak membunuhnya, kau hanya dijebak saat itu." Jelas Galvin cepat. Ia masih menyangkalnya. Ia masih tidak percaya kalau Ken yang menabraknya.

"Tidak ada bukti kalau aku tidak bersalah di sana, sudah jelas aku yang ada di sana dan itu sudah pasti aku yang menabraknya." Ken kembali memasang muka bersalah. Setiap kali mereka membahas ini. Hal itu lah yang membuat Galvin tidak ingin membahasnya lagi. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Ken.

"Tapi," Galvin berpikir sejenak. Ia akan tetap pada pendiriannya.

"Firasatku mengatakan kau di jebak seseorang di sana, karena mereka tahu kau siapa." ucap Galvin kembali meyakinkan.

Entah sudah berapa kali Galvin mengatakan hal ini pada Ken. Tapi tak Ken hiraukan. Ia merasa ini memang salahnya.

"Entahlah, aku pusing setiap kali memikirkannya di tambah lagi dengan perjodohan sialan ini,"

"Aku terjebak semua dalam hidupku." Gerutu Ken lagi, ia makin kesal dibuatnya. Galvin mengangguk mantap.

"Yah, kau terjebak dengan Laura, aku yakin kau tak cinta padanya, kau hanya simpati, kau tak bisa membedakan cinta dan simpati karena kau merasa bersalah padanya." Jelas Galvin membuat Ken melotot kesal mendengarnya.

"Apa?"

"Jadi kau menganggap itu hanya simpati?!" Tanya Ken tak terima. Galvin mengangkat kedua bahunya.

"Aku tak tahu,"Galvin menggeleng lambat.

"Kau sendiri yang tahu itu, jadi pikirkanlah." jawabnya dengan senyum penuh arti.

Kennard mendadak diam, ia mencoba mencernanya, lalu detik berikutnya ia mengacak rambutnya lagi, ia sedang tidak bisa berpikir sekarang. Keduanya saling diam dalam beberapa menit.

"Jadi apa rencana mu setelah menikah dengan gadis itu?" Galvin kembali bertanya memecahkan keheningan diantara mereka berdua.

"Membuat perhitungan dengannya, kalau aku punya Laura dan aku tak kan mengusiknya sedikitpun. Karena ini hanya pernikahan kontrak." jelas Ken yakin sambil mengepal tangannya. Galvin menatapnya sedikit tak percaya.

"Bagaimana kalau kau terjebak dan jatuh cinta padanya?" Galvin tertawa sedikit. Entah kenapa ia malah berharap seperti itu agar Ken lepas dari Laura.

"Ku harap tak seperti itu." balas Ken cepat.

"Ah, ku harap seperti itu agar kau tak terjebak dengan Laura lagi, aku tak menyukainya, sama seperti Ibumu." kata Galvin jujur. Ken tertawa miris.

"Kenapa semua orang kepercayaan ku tidak menyukai Laura. Apa karena dia miskin, kurang cantik?" tanya Ken heran.

"Kurang segalanya." Sahut Galvin tertawa keras. Ken hanya menggeleng heran.

"Jika kau menikah, jangan lupa mengundang semua mantan mu, aku akan mengirimi mereka semua undangan itu." Galvin makin tertawa keras. Sedangkan Ken melotot tak setuju, tentu saja itu ide paling konyol yang pernah didengarnya dari sahabatnya itu.

"Kau bodoh, ini hanya pernikahan kontrak bukan sungguhan, aku akan membunuhmu jika kau melakukannya." Ken memasang muka jutek pada Galvin yang masih tertawa bahagia di sana. Ia merasa sedikit terhibur dengan candaannya pada Kennard kali ini.

"Setidaknya kau mengundang mantanmu yang ke-32, untuk jadi pengiring wanitamu di acara sakral itu." kata Galvin kembali tertawa.

"Kau mengejek ku, siapa yang kau maksud?"

"Keyna?" Kennard tertawa kecil mengucap nama Keyna. Ia sudah melupakan gadis itu dalam waktu lama.

"Wah, kau masih mengingatnya? Dia ciuman pertama mu, jadi kau harus mengundangnya kesana." jelas Galvin lagi.

"Kau bisa saja, dia menamparku dua kali setelah itu. Aku masih merasakan telapak tangannya tercetak di wajahku, dia benar-benar kuat dan emosi setelah aku menciumnya,"

"Di mana dia sekarang? Apa dia masih hidup?" tanya Ken tersenyum samar. Galvin ikut tersenyum.

"Kau masih mengingatnya dengan jelas, kau merindukannya?" goda Galvin.

"Sedikit." balasnya tertawa keras. Setidaknya ia bisa tertawa sekarang.

"Aku masih ingat, senyum mu berbeda jika bertemu dengannya, berbeda dari gadis lain yang kau kencani, jadi aku kira kau benar-benar menyukainya waktu itu dan kau diam saat dia memutuskan mu, jadi kau sedikit frustasi sampai tak sadar menabrak orang," jelas Galvin ikut tertawa.

"Aku tidak tahu, itu sudah lama, aku sudah lupa." elak Ken kembali tersenyum.

"Tapi aku memang menyukainya saat itu, kalau aku tidak menyukainya aku tak mungkin menciumnya." tambah Ken kembali tertawa kecil.

"Aku dengar dia kuliah di Universitas yang sama dengan Laura." ucap Galvin membuat Ken menoleh serius.

"Kau serius?" tanya Ken memastikan.

"Yah, aku mendengarnya dari Edvard. Dia lumayan popular di sana, dia masih cantik seperti dulu." ucap Galvin kembali menggoda Ken.

"Oh benarkah? Dia gadis yang paling susah aku dapatkan, jadi aku mengencani Daniza untuk dekat dengannya tapi dia salah paham, aku malah menghancurkan persahabatan mereka, aku memang banyak dosa." ucap Ken tersenyum tipis.

Menginggat kejadian itu lagi. Galvin ikut tersenyum samar.

"Kau masih menaruh rasa padanya?" Galvin kembali menggoda sahabatnya itu.

"Kau bicara apa? Itu sudah lama." Ken mengelak lagi, sedikit tersenyum, meraih kembali gelas di depannya lalu meneguknya sampai habis. Galvin ikut tersenyum samar, ia tahu Kennard masih menyukai gadis itu.

"Bagaimana kalau ternyata Ibumu menjodohkan mu dengan salah satu mantan mu, itu akan menjadi sesuatu yang menarik, bukan? " Galvin kembali berbicara aneh padanya membuat Ken makin kesal.

"Ku harap tidak, kau jangan banyak mengkhayal dan membuatku tambah sakit kepala. Aku akan membunuhmu." Ken mendorong Galvin kuat hingga jatuh kelantai. Galvin kembali terkekeh.

"Aku ini memang mantan playboy tapi tidak semua gadis di sini ku kencani." Ken memasang muka cukup kesal pada Galvin yang masih tertawa di sana. Galvin sekarang benar-benar puas menertawakan sahabatnya itu.

"Bisa jadi tebakan ku benar, kau kan mengencani mereka tidak berdasarkan keluarga mereka, kau tak mengecek keluarganya, kau hanya melihat wajahnya saja." Galvin kembali terkekeh.

"Kau selalu berbicara aneh sejak aku pulang, aku akan tambah gila jika masih di sini dengan mu." Ken beranjak pergi meniggalkan Galvin yang masih tertawa di sana. Memegang perutnya yang sudah terasa sakit.

"Kyah. Kau mau ke mana lagi?" tanyanya Galvin bingung. Memegang perutnya yang terasa sakit.

"Bukan urusan mu." balas Ken kesal membuka pintu apartemen Galvin dan keluar dari sana dengan langkah cepat.

"Ken, hey?"

"Kennard!" Galvin terus memanggilnya dan sama sekali tak Ken hiraukan. Ia memilih untuk pergi saja. Semua membuat dadanya terasa sesak. Bahkan hidupnya tidak tenang sejak ia pulang.