Demi apapun, leher Lena sudah terasa akan putus jika menunduk lebih lama lagi. Ia kira Steve tidak akan memberikan pekerjaan sebanyak ini, namun ternyata ini lebih banyak dari perkiraannya. Rasanya menyesal, ketika saat itu Lena mengatakan Steve lebih memiliki hati nurani daripada Jay. Mereka berdua tidak ada bedanya, caranya saja yang berbeda.
Dikarenakan masih menyayangi lehernya, Lena memilih untuk mengistirahatkan diri. Dirinya bersandar dengan kepala yang terlempar pada sandaran sofa. Kedua matanya terpejam dan merasakan sedikit perih setelah menatap semua lembaran kertas yang penuh dengan huruf. Bukan hanya mencetak tugas kuliah Steve, tapi ia juga mengerjakan tugas lainnya yang belum diselesaikan oleh laki-laki itu. Diam-diam Lena memberikan sumpah serapah pada Steve agar tidak lulus kuliah. Menyelesaikan kewajibannya saja tidak bisa.
Tangannya bergerak guna mengambil minuman yang berada di atas meja, namun ia tidak mengetahui jika gelas itu sudah kosong sejak lima menit lalu, ketika ia masih terfokus dengan pekerjaan Steve. Bibirnya sudah terbuka dan siap memanggil Steve, meminta untuk diambilkan minuman lagi, sayangnya terhenti begitu saja saat ia teringat posisinya saat ini. Pun sebenarnya ia juga bisa bergerak sendiri untuk mengambil minumannya—walaupun ia tidak mengetahui letak dapur rumah ini. Tapi, Lena juga masih mengetahui sopan santun di rumah orang lain.
Setelah bertengkar dengan pemikirannya sendiri, Lena memberanikan diri untuk bangkit dari sofa dan mencari keberadaan Steve. Agak kebingungan mencarinya, lantaran rumah ini sangat besar. Bahkan, Lena sampai meninggikan suaranya agar pemilik nama itu bisa mendengar panggilan ini. Langkah demi langkah, secara mendadak ia mendengar suara plastik yang gemeresak dari arah kanannya. Karena penasaran, Lena berjalan ke arah sana, yang ternyata membawanya ke dapur. Sepertinya ia harus berterimakasih pada kantung plastik itu, karena mempermudah ia menemui dapur.
Disaat akan berjalan menuju dispenser, ia melihat kulkas yang terbuka lebar dan menampilkan Steve memasukkan sesuatu ke dalamnya. Rasa penasaran Lena bertambah, pun akhirnya ia mendekati laki-laki itu dengan melihat apa yang dilakukan oleh Steve dengan semua pepero itu.
"Oh, pepero!" seru Lena.
Steve langsung menghentikan kegiatannya, ia memutar tubuh menghadap Lena yang secara tiba-tiba berdiri di belakang tubuhnya. "Tidak sopan sekali, kau," ucap Steve.
Kedua tangannya menggenggam erat gelas kosongnya, ia menunjukkan benda itu pada Steve. "Lihat, minumku sudah habis. Aku ingin meminta lagi, tapi aku tidak ingin kau mengatakan jika aku memerintahmu," jelasnya.
Steve tak menjawab, ia kembali menghadap kulkas. Ketika Lena baru mengecap beberapa kata kekesalannya, ia langsung terdiam saat tangan kiri Steve bergerak ke belakang tubuhnya dan membawakan minuman jus jeruk untuk Lena. Awalnya, ia ragu untuk menerimanya, namun setelah Steve mengatakan jika itu minuman yang akan diberikan pada Lena, gadis itu segera mengambilnya. Setelah menuangkannya ke dalam gelas, perhatian Lena kembali teralih pada kegiatan Steve yang memasukkan semua pepero ke kantung plastik besar.
Bukan apa-apa, tapi beberapa jam Lena berada di rumah ini, ia sama sekali tidak melihat adanya wanita atau anak kecil, yang kebanyakan menyukai jajanan jenis itu. Memang tidak menutup kemungkinan jika Steve dan Jay yang menyukainya, namun dilihat dari penampilan dua laki-laki itu, mereka terlihat seperti orang yang tidak menyukai jajanan seperti itu. Ya, memang pemikiran Lena itu terkadang aneh.
"Apa yang ingin kau lakukan dengan semua pepero itu?" tanya Lena dilanjutkan meminum minumannya. "Bukankah lebih baik di dalam kulkas saja?" tanyanya lagi.
Tersisa sekitar lima belas pepero yang belum dimasukkan ke dalam kantung plastik, ia terhenti dan menatap sisanya. Steve sangat menyadari semua pepero ini sangat sayang jika harus dibuang begitu saja.
"Dibuang," jawabnya.
"HAH?! Kau yakin akan membuang pepero sebanyak itu?! Kau gila!" kesal Lena.
Gadis itu meletakkan gelasnya dan berjalan menghampiri Steve untuk mencegah tindakan bodohnya itu. Dia kembali memasukkan semua pepero ke dalam kulkas, namun tak berlangsung lama hingga Steve kembali merebutnya.
"Jay yang memintaku melakukannya! Aku sendiri juga tidak tahu kenapa dia melakukan hal seperti ini lagi," kata Steve.
Keduanya sama-sama terdiam, pandangan Steve yang terarah pada semua pepero di dalam kantung plastik, dan pandangan Lena yang terarah pada laki-laki di depannya ini. Dia mendorong pelan tubuh Steve menjauh dari kulkas, bersamaan dengan kantung plastik yang dia bawa. Lena menutup pintu kulkas dan mencoba berbicara dengan Steve.
"Lagi? Apa sebelumnya dia pernah seperti ini?" tanya Lena saat mengetahui jika Jay yang mengisi kulkas dengan pepero sebanyak itu.
Steve mengangguk, "Dimulai tahun lalu," jawabnya. "Dia kehilangan kekasihnya, dan entah kenapa di tanggal jadian mereka tahun lalu, Jay mengisi pepero di dalam kulkas ini," tambahnya.
Lena menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Dia mengedipkan matanya beberapa kali setelah mendengar penjelasan Steve. "Mungkin, dia frustasi karena kehilangan. Dan bisa jadi, pepero ini salah satu yang paling berkesan untuk mereka berdua," Lena mencoba untuk mengutarakan pemikirannya dengan kalimat sehalus mungkin.
Steve melepas genggamannya dari kantung plastik itu, ia bersandar pada meja dapur dan melipat kedua tangannya di depan dada. Netranya bergerak guna menatap gadis yang tengah bersamanya di dapur ini.
"Jika dia hanya membeli tiga atau lima, aku bisa menghabiskannya," Steve menjeda dan menarik nafasnya. "Tapi, ia membeli pepero sebanyak ini. Aku saja tidak tahu berapa jumlah keseluruhannya,"
Lena sempat berpikir beberapa menit, ia teringat pada anak-anak yang tadi terlihat bermain di depan rumah mereka saat Lena tengah mencari alamat rumah ini. Detik itu juga, dirinya memasang senyum cerah di wajahnya. Ide ini adalah yang terbaik untuk menyelamatkan semua pepero itu daripada harus dibuang.
"Steve, kenapa tidak kau berikan saja pada anak-anak di kompleks ini? Mereka pasti akan menyukai jajanan manis," lontar Lena.
Laki-laki itu menyibak rambutnya ke belakang, tubuhnya kembali ditegakkan dan mengambil kantung plastik yang tadi sempat ia lepaskan. "Tadinya, aku juga akan melakukan hal yang sama seperti tahun lalu. Beberapa anak menyukainya, dan beberapa orang tua lainnya tidak mau menerima pemberianku. Mereka mengira aku adalah penculik anak-anak," kata Steve.
Tidak tahu apa yang harus Lena berikan sebagai respon. Sejujurnya, pengakuan Steve barusan terbilang lucu, karena tampang seperti Steve masih dikatai sebagai penculik oleh warga kompleks sekitar. Tapi, gadis itu memilih untuk tetap diam, karena suasananya yang tidak tepat.
"Kalau begitu, untukku saja. Aku menyukai pepero," kata Lena. Dia melihat ke arah Steve beberapa detik, sebelum kembali melontarkan kalimatnya. "Tolong jangan dihitung sebagai hutang juga. Aku tidak memilki banyak uang untuk membayarnya,"
Sempat memikirkan kalimat Lena, akhirnya dia menganggukan kepalanya beberapa kali untuk persetujuan permintaan Lena ini.
"Baiklah, ambil saja semuanya,"