C2 - The Dream

Pemuda itu masih terdiam menatap jendela sambil melamunkan perkataan ibunya. Dia mungkin tak ingin mempercayai begitu saja pada cerita yang disampaikan. Namun, setiap rangkaian kejadian tersebut seolah mendatanginya satu persatu. Menunjukan bahwa mereka layak untuk dipercaya.

'Langit merah, manusia panik, burung-burung aneh dan yang terakhir ....' pemuda itu menelan ludah di mulut untuk menghilangkan dahaga di lehernya.

Kini, tinggal 1 kejadian lagi yang belum terjadi, yaitu menyangkut pesawat yang masih mengudara di ketinggian ribuan meter ini.

"Pesawat ini akan..."

Pria tua yang sebelumnya memegangi gorden itu menolehkan kepala. Kelopak mata yang sudah cukup lama tidak berkedip itu membuat kedua matanya memerah.

"Kau bicara apa anak muda?"

Tak membalas ucapannya, pemuda itu langsung menutup rapat-rapat gorden jendela tersebut dan menarik pria itu agar menjauh dari sana.

"He–hei! Hentikan!!" protes pria tua itu.

Pemuda itu langsung memandangi sekitar untuk memeriksa keadaan.

Karena merasa ada yang janggal dengan kelakuan pemuda itu, dia langsung menariknya kembali untuk duduk di kursi.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan?!"

Pemuda itu tak membalaskan sedikitpun ucapannya.

"Bodoh! Apa orang tuamu tak mengajarimu sopan santun? Untuk apa kau menarik seseorang seperti itu?!" pria tua itu tampak sangat kesal dengan kelakuan pemuda jaman sekarang yang suka berbuat seenaknya pada orang tidak dikenal.

"Itulah yang orang tuaku ajarkan! Jangan lihat jendela!"

"HAH?!" Pria tua itu sangat terkejut dengan kelancangan mulut pemuda itu saat berbicara, "Orang tua mana yang mengajarkan anaknya untuk mengambil hak jendela orang lain?! Aku berhak atas jendela yang ada di sampingku!"

Si pemuda tak menyangka kalau pernyataan bodoh itu yang akan keluar dari mulut pria tua di hadapannya ini, "Berapa botol wine yang kau tenggak, Pak tua?"

"Mana mungkin! Itu terlalu mewah untukku!" balas pria tua itu sambil menajamkan bola matanya yang masih memerah.

Pemuda itu hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia sudah tak peduli lagi.

Karena tidak suka dengan kelakuan pemuda itu, pria tua itu berniat melaporkannya pada petugas di bandara nanti, agar pemuda itu diberi ganjaran yang setimpal atas kelancangannya.

"Siapa namamu anak muda?!" Pria tua itu bertanya dengan tatapan yang masih sama.

"Aku? Namaku Erlan Gio!"

"Oh?!" pria tua itu tampak terkejut ketika mendengar nama pemuda itu, "Kau bukan dari Korea?"

Erlan menggelengkan kepala dan langsung bangun dari kursinya, dia harus memperingatkan semua orang yang ada di pesawat.

Belum sempat melangkah, pria tua itu menarik tangannya lagi agar duduk.

"Namaku, So Jun." Pria tua itu tersenyum dengan lebar ketika menyebutkan namanya.

Erlan tak mempedulikan itu dan langsung pergi menuju barisan lainnya untuk memperingati mereka. Kekhawatiran di dalam hatinya terus berkembang karena terus dibayangi oleh kata-kata ibunya.

"Hei, anak muda! Maksudku, Erlan!"

"Ada apa, Pak tua?" Erlan menjawab sambil terus melanjutkan tujuannya.

"Kenapa kita tak boleh melihat keluar?" tanya So Jun dari kursinya.

"Ibuku yang mengajarkan itu! Aku kan sudah bilang!" Erlan masih berusaha keras untuk meyakinkan setiap orang yang mulai terpengaruh oleh langit merah dan burung-burung itu.

Seluruh penumpang kelas ekonomi tak melakukan perlawanan terlalu banyak ketika Erlan meminta mereka untuk tak melihat keluar jendela.

Namun, ketika dia berniat memasuki kabin kelas bisnis, pintunya terkunci. Dia harus meminta pramugari untuk membuka pintu tersebut. Lantas dia langsung menuju ke ruang istirahat staff di pesawat agar mereka mau membantunya mengenai masalah darurat ini.

"Tunggu!" So Jun berusaha menghentikannya karena masih penasaran dengan tujuan Erlan, dia menarik tangannya lagi untuk masuk ke barisan kursi, "Jelaskan sejelas mungkin!" lanjutnya.

Erlan terdiam sejenak, dia masih harus menilai So Jun terlebih dahulu karena takut jika dia malah akan menjadi panik setelah diberitahu kenyataan tersebut.

"Katakan saja, Aku bisa tutup mulut!" So Jun memukul dadanya dengan keras seraya memamerkan gigi emas di gerahamnya.

Erlan tersenyum kecil ketika melihat hal tersebut , dia tak menyangka kalau So Jun bisa bersikap demikian. Tanpa membuang waktu lagi, dia langsung membuka suaranya.

"Ibuku, dia mengatakan..."

"APA?!"

Namun, dia terhenti sejenak ketika menyadari suasana yang sangat sunyi di kelas ekonomi. Erlan mendekatkan mulutnya pada telinga pria tua itu, dia mencoba untuk berbisik agar orang lain tak mendengar hal tersebut.

"Burung itu.. akan jadi penyebab utama pesawat ini!"

So Jun terdiam, kelopak mata dan mulutnya terbuka lebar. Dia berusaha tak percaya dengan hal tersebut. Tetapi dengan burung yang tadi menabrakan tubuhnya ke jendela ...

"Aku percaya padamu!" ucap So Jun. Dia berusaha menanamkan kepercayaan pada anak muda bernama Erlan Gio yang baru ditemuinya.

***

Erlan akhirnya dapat bertemu dan meminta tolong salah satu crew pesawat agar membantunya untuk membuka pintu kelas bisnis itu. Dia sudah berusaha keras untuk meyakinkan mereka semua. Namun, hanya salah satu dari mereka yang percaya dengan perkataan Erlan.

"Terima kasih, Ji Young."

"Tidak masalah," balas Ji Young sambil tersenyum cerah.

"Apa benar tidak masalah? Kau mungkin langsung dipecat jika melanggar peraturan."

"Tak apa, jika itu menyangkut keselamatan penumpang. Maka aku sebagai pramugari harus membantu." Ji Young bertaruh pada Erlan mengenai masa depannya.

Mereka berdua sampai di depan pintu kelas bisnis. Ji Young mencoba membuka pintu tersebut dan berhasil. Namun, sebelum dia membuka sepenuhnya pintu tersebut, wanita itu membuka suaranya, dia ingin mengatakan sesuatu pada Erlan ...

"Sebenarnya..."

"Diam!" Erlan memangkasnya, dia mendengar sesuatu dari dalam kelas bisnis.

Ji Young sangat terkejut ketika dibentak oleh Erlan, dia sedikit kecewa dengan perlakuan tersebut. Namun, perasaan itu segera menghilang.

Karena ketika pintu tersebut terbuka lebar, suara geraman dapat terdengar dari salah satu kabin, yaitu kabin kedua dari tempat mereka berdua berdiri.

Ji Young yang merasa bertanggung jawab tentang keselamatan penumpang langsung menghampiri kabin tersebut, dia ingin segera memastikan orang di dalam kabin tersebut. Karena sebelumnya dia memang sudah bertemu dengan orang yang menempati kabin tersebut, yaitu seorang pria dan wanita yang ingin pergi bulan madu ke Korea.

Erlan tak menyangka jika Ji Young akan segegabah itu dalam melakukan sesuatu. Dia tak bisa berteriak, karena jika yang disampaikan ibunya itu adalah suatu kebenaran. Maka yang satu ini adalah ....

'Makhluk itu.. tidak mungkin ada 'kan?! Itu hanya ada di film 'kan? Tidak...'

Sementara Erlan sedang melawan pemikiran yang menyerang otaknya tersebut, Ji Young sudah membuka pintu kabin kelas bisnis tersebut dan sangat terkejut ...

"E.. E—Erlan?" Ji Young terjatuh ke lantai, dia menarik badannya mundur untuk segera menjauh dari kabin tersebut.

Erlan tersadar, dia langsung manjatuhkan pandangannya pada kabin yang pintunya terbuka itu, lumuran darah terlihat dari dalam sana.

"Tidak mungkin.. tidak! Kenapa hal ini terjadi padaku?! Aku pasti sedang bermimpi!!" Erlan berteriak histeris, pikirannya terasa tertekan karena setiap kata yang diucapkan ibunya benar-benar terjadi.

Ibunya seperti sebuah sutradara film yang sedang mengarahkan tiap langkah hidupnya. Erlan sudah mencoba melawan kehendak tersebut dengan menggagalkannya pada bagian kelas ekonomis. Namun, dia tetap melakukan kesalaahan terbesar.

"Bodoh!" Erlan memukul lantai.

"Andai saja aku tak berinisiatif untuk membuka pintu ini!

"Andai saja aku tak meminta bantuan Ji Young!

"Andai saja aku tak menyuruh mereka!

"ANDAI SAJA.. AKU TAK BERTEMU DENGAN PAK TUA ITU!!

Erlan menegang, kedua bola matanya berubah menjadi warna merah darah. Seluruh ototnya berkembang secara brutal.

Kemudian dia berdiri dan berjalan menuju tempat So Jun duduk. Di dalam hatinya hanya ada keinginan untuk membalas dendam di hatinya.

'BENAR! KAU BENAR! BUNUH! Bunuh saja dia yang telah membawamu pada kesesatan! CABIK-CABIKLAH TUBUHNYA SAMPAI HANCUR!

'LAKUKAN APA YANG KU KATAKAN!!!'

—Ding-ding-ding!

Suara sirine tiba-tiba saja terdengar dari speaker.

"Pengumuman. Kepada para penumpang! Kami ingin menyampaikan keadaan darurat!

"Kita akan mendarat di tempat yang tidak seharusnya. Semua penumpang tolong ikuti saya untuk melakukan tindakan keadaan darurat."

Keadaan makin mencekam. Penumpang mulai panik.

Seluruh kejadian tersebut persis seperti yang diucapkan orang tua Erlan

***

"Langit semerah darah manusia.

"Burung yang memiliki bentuk tubuh tidak normal.

"Penumpang yang histeris.

"Manusia yang berubah menjadi kanibal dan saling membunuh.

"Pesawat yang akan terjatuh..."

Seorang pria sedang duduk di atas gedung pencakar langit. Dia sedang memperhatikan langit yang kian menggelap karena awan hujan dari laut lepas datang untuk menyapu aliran darah di tiap sisi jalanan kota.

"Yang terakhir.. sepertinya aku harus meminta maaf karena tak menyampaikan hal sepenting itu di dalam mimpinya," sesal pria itu sambil menggenggam sebuah batu yang bertuliskan huruf kuno.

"Mungkin jika dulu aku tak membantunya, dia tak akan merasakan itu saat ini."

"Erlan Gio... kau akan tertelan oleh Phantom Force."

"Semoga beruntung."