Alora Elizabeth Xander

Alora Elizabeth Xander gadis berusia 17 tahun baru saja pindah dari Nevada ke California, mengikuti jejak kedua orang tuanya, yang memang ditugaskan pindah dari kantor cabang perusahaan ayahnya ke kantor pusat.

Demikian pun sekolahnya, Alaro pindah dari sekolah lamanya, ke sekolah kalangan elit, yang banyak diisi oleh anak-anak kalangan atas.

Alora masuk ke sekolah itupun dengan jalur beasiswa, karena kecerdasan yang dimilikinya. Bukan karena ayahnya yang menanggung semua biaya pindidikannya.

Karena Alora tahu, keluarganya tidak mampu untuk membiayai sekolahnya, apalagi sekolah itu terkenal seperti ini. Mana mungkin sanggup ayahnya, untuk biaya sehari-hari pun Samuel Xander harus bekerja pagi hingga malam.

Alora cukup tahu diri, dengan kemampuan keluarganya, yang hanya seorang buruh berpenghasil kecil, dengan pendapatan perbulan yang hanya cukup untuk biaya makan keluarga, dia tetap bersyukur bisa bertahan dari kejamnya dunia.

Tak terasa Alora dan keluarga sudah 3 hari berada di California, kini tiba saatnya ia harus mengikuti pelatihan untuk beasiswa nya, hanya berbekal ilmu yang didapatkannya saat masih berada disekolah lama.

Alora mampu menjawab, mengisi lembaran kertas esai jawaban yang diberikan oleh salah satu pengajar di sekolah barunya dalam waktu 30 menit, ia telah menyelesaikan jawabannya.

Sang pengajar itu pun merasa heran, dengan Alora. Menjawab begitu cepat tanpa mengoreksi jawaban. Berbeda dengan para peserta lainnya. Yang masih sibuk dengan soal yang diberikan oleh pengajar.

Alora sendiri pun, sudah merasa yakin dan benar, dengan jawaban yang diberikannya, hanya tinggal menunggu hasilnya. Tapi ia yakin dengan jawaban yang diberikannya. Tidak mungkin salah.

"Apa kau tidak takut jawabanmu akan salah? Apa kau tidak takut jika kau tidak lolos untuk mendapatkan beasiswa ini?" tanya Mr. Anthoni, salah satu pengajar di sekolah itu.

"Mr. Anthoni, aku sudah yakin dengan jawaban yang aku berikan. Jika memang jawabanku salah dan tidak bisa mendapatkan beasiswa ini, aku akan mengikutinya tahun depan," ucapn Alora yakin.

"Baik kalau itu jawabanmu, semoga kau lolos untuk mendapatkan beasiswa ini."

"Thaks sir." ucap Alora rapah penuh kesopanan, membut sang pengajar terpesona oleh senyuman Alora yang manis dan terlihat lebih cantik.

Alora pun pamit pad guru pengawas, ia meninggalkan gedung sekolahnya lebih awal. Ia berjanji pada ibunya untuk membantu membikin kue untuk ayahnya yang hari ini merayakan ulang tahun.

Alora berjalan kaki sekitar 45 menit dari sekolah menuju apartemen keluarganya, karena menerutnya berjalan kaki lebih sehat ketimbang menaiki bis dan menghabisi uangnya, bukan karena ia pelit, melainkan ia tidak ingin bergantung dengan keluarganya, tidak ingin terus membebani ayah dan ibunya. Yang sudah berusaha, berkerja demi memberikan hidup yang terjamin, dan pendidikan selama ini.

Sekarang giliran Alora yang akan memberikan kebahagian untuk kedua orang tuanya dimasa tua, ia kan memberikan segala yang dipunya saat ia sudah mendapatkan pekerjaan paruh waktu, agar ayahnya tidak bekerja keras dan membiayai kebutuhan keluarganya. Tapi ia harus mampir ke tempat pengiriman barang untuk mengambil kopernya, yang dikirimnya beberapa waktu lalu, sebelum ia pindah ke kota ini.

Setelah Alora mendapatkan koperny, ia pun langsung pergi menuju Apartemennya. Sesampainya di depan apartemen kecilnya, Alora tidak sengaja menabrak seorang pria tampan. Ia terpesona akan ketampanan pria itu, tapi sayangnya mulut pria itu terlalu pedas. Tajam seperti silet.

Bruk!

"Au..." ringis Alora terjatuh menabrak tubuh John. Hingga ia terjatuh ke dalam kobangan air. Tejelebab kebelekang.

"Dasar buta! Kau tidak melihat ada orang di depanmu?"maki John kesal dengan gadis di depannya.

" WHAT! Kau berteriak mengataiku buta! Jelas-jelas kau sendiri yang tidak punya mata! Dasar Kingkong!" balas Alora tidak terima dengan perkatan John. Dan berbalik mengatainya.

John tidak peduli dengan perkataan gadis itu, melipatkan tangan ke dada bidannya, menatap Alora sinis tidak suka.

Alora pun bangun dari jatuhnya. Tapi apa yang terjadi justru ia ditabrak oleh seseorang, jatuh ke dalam dekapan John. Menangkap tubuh Alora, berpelukan. Bahkan tatapan keduanya saling menatap.

Sampai John pun tersadar, dan langsung memutuskan kontak matanya. Melepaskan pelukannya, sehingga membuat Alora terjatuh kembali.

Sungguh bertemu pria arogan di depannya membuatnya sial, tapi justru Alora terpesona dengan John.

•••

FWM CLUB.

Di malam harinya, John memulai pekerjaanya sebagai seorang bartender, ia di tugaskan di bar depan, yang sering digunakan para wanita jalang mencari pria hidung belang.

Baru saja John berada di lingkungan bar, ia sudah di goda oleh salah satu wanita jalang. Hingga membuat John jengah, memutar matanya, malas. Menimpali jalang kecentilan dan sok kecantikan.

Wanita bernama Maria, mengelus dada bidang John, sampai membuat John benar-benar muak, ia pun menyentak, menghempaskan tangan kotor wanita itu dari tubuhnya. Berdesis, menatap tajam pada wanita itu.

"Jangan pernah menyentuh tangan kotormu itu dari tubuhku! Atau kau ingin aku membuat tanganmu lumpuh!" ucap John, penuh ancaman.

Maria si wanita jalang itu pun terkejut, mendengar ucapan sinis penuh ancaman, ada rasa takut saat melihat tatapan John begitu tajam menghunus jantungnya.

Tanpa berkata apapun, Maria pergi meninggalkan John, ia masih menginginkan tangannya bergerak normal. Dari pada menggangu pria iblis di depannya.

Selepas kepergian Maria, John pun memutuskan untuk mencuci tangan dan membersihkan tubuhnya dari wanita jalang itu. Ia benar-benar merasa risih akan sentuhan kotor tangan si jalang. Ataupub berdekatan dengan wanita.

Baginya wanita adalah seseorang yang bisa membuat hidupnya kacau, merepotkan. Bahkan bertingkah tidak wajar. Bukan ia membenci wanita, atau tidak menyukai wanita. Justru dengan sikap para wanita itu yang membuatnya muak. Dan cukup satu wanita saja yang selalu merepotkan hidupnya, siapa lagi kalau bukan Ashley Gabriella Collins--sepupu sialannya itu, yang tinggal satu kota dengannya.

Setelah di pikir-pikir semenjak John berada di California, ia belum pernah bertemu Ashley, atau menjumpai paman Matthew di mansion. Jika memikirkan itu ia sendiri merasa bersalah.

Seharusnya John sudah mengunjungi keluarga, tapi sampai sekarang mana sempat ia berjumpa dengan keluarganya.

Ada saatnya John akan berkunjung ke mansion pamannya, dan mengajak jalan sepupu sialannya itu.

••••

Setelah John mengelap tangan dan tubuhnya, ia pun kembali bekerja, meracik minuman yang sudah dipelajarinya hanya dalam beberapa jam saja. Ia mampu membuat minuman itu terasa nikmat, bahkan pengunjung memuji dirinya yang hebat meracik alkohol.

Sampai salah satu pengunjung bertanya pada John, dari mana ia belajar meracik minuman seenak ini.

"Kau sangat hebat untuk meracik minuman seenak ini, dari mana kau belajar dan mengolah minuman ini?" kata salah satu pengunjung klub itu, memuji kehebatan John.

"Hanya belajar beberapa jam saja, dan mengingat komposisi racikan dalam kertas yang di tulis oleh seseorang," balas John, sedikit menyombongkan dirinya.

"Kau sungguh cerdas, Dude! Baru kali ini, aku mendengar seseorang mahir dalam membuat minuman seperti ini. Dan kau adalah orang itu, apa kau ingin bergabung menjadi anggotaku? Kau tenang saja, aku akan memberikanmu gaji yang cukup besar?" kata pria itu, mengaja bergabung ke dalam salah satu organisasinya.

"Ck...! Aku tidak berminat!" jawab John, sama sekali tidak ada niatan untuk bergabung dengan organisasi kecil itu.

Jangankan untuk bergabung dengan organisasi itu, kedudukan yang di serahkan dari Nicholas--kakeknya pun di tolak, walaupun pada akhirnya, ia harus menerima semua tahta pemimpin mafia dunia, yang paling di takuti.