Kakek Sakti Suling Pualam

Angin dingin berhembus dengan lembut mengibarkan pakaian dan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Seharusnya angin dingin itu membawa kesejukan di hatinya. Pendekar Baju Putih sangat menyukai angin. Baginya, angin bisa memberikan keterangan.

Serisau dan segundah apapun dirinya, jika angin sudah berhembus menerpa tubuhnya, maka Pendekar Baju Putih akan merasa lebih tenang. Lebih nyaman. Dan lebih rileks.

Tapi kali ini merupakan pengecualian. Angin memang dingin. Tapi hatinya tetap tidak tenang. Dia masih geram. Geram terhadap manusia-manusia seperti para penyerang itu.

Mengapa di dunia ini harus ada manusia seperti mereka? Bukankah mereka hanya menimbulkan huru-hara saja? Kenapa langit tidak langsung mengutuk atau para Dewa menyuruh petir untuk menyambarnya? Bukankah kalau mereka mampus, hal itu jauh lebih baik?

Sampai sekian lama, Pendekar Baju Putih tetap tidak bergerak. Dia seolah-olah patung yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Dua tetes air mata turun membasahi kedua pipinya. Sehebat dan sesakti apapun Pendekar Baju Putih, hakikatnya dia tetap manusia. Manusia yang sama seperti umumnya. Mempunyai hati. Mempunyai perasaan.

Melihat pemandangan seperti sekarang, adakah manusia yang tidak merasa sakit dan tidak ingin menangis?

Kalau jawabannya ada, maka bisa dipastikan kalau perasaan manusia itu sudah mati.

Melihat keadaan saat ini, mengingat-ingat semua kejadian yang telah lalu, tiba-tiba timbul berbagai macam perasaan dalam benaknya.

Sebenarnya siapa orang-orang itu? Siapa pula dalang utama dibalik semua peristiwa ini?

Benarkah hanya karena benda pusaka, mereka rela melakukan hal sekeji ini? Ataukah masih ada alasan lainnya lagi?

Pertanyaan-pertanyaan itu terlalu rumit. Pendekar Baju Putih tidak bisa langsung menjawab. Dia harus menyelidiki terlebih dahulu. Setidaknya, butuh waktu cukup lama untuk mengungkapkan semuanya.

Fajar akhirnya menyingsing. Kabut tengah malam mulai memudar. Embun putih yang bersis nan suci mulai menggenang di ujung daun. Setetes demi setetes, perlahan-lahan embun itu jatuh ke tanah. Tanah menjadi lembab. Tapi karena lembab lah tumbuhan lainnya bisa tumbuh.

Apakah kehidupan manusia juga begitu? Seperti setetes embun yang rela berkorban, demi menghidupkan tumbuhan lainnya?

Jalanan di sekitar sana mulai ramai. Puluhan warga sudah berkumpul di sekitar Partai Pedang Kebenaran. Mereka semua dibuat terkejut setengah mati dengan apa yang dilihatnya saat ini. Para warga menginginkan semua ini hanyalah mimpi buruk mereka. Sayangnya, hal itu tentu tidak bisa.

Apa yang terpampang di depannya saat ini adalah nyata. Bukan mimpi buruk. Apalagi impian kosong belaka.

Isak tangis mulai memenuhi sekitaran tempat berdirinya Partai Pedang Kebenaran. Ada tangisan warga sekitar, tangisan keluarga atau kerabat yang menitipkan orang terdekatnya di partai itu, bahkan ada juga tangisan para sahabat.

Semuanya berkumpul. Semuanya bersatu bersama kesedihan yang sama.

Pendekar Baju Putih menoleh ke belakang. Dilihatnya bahwa di antara orang-orang itu, tidak ada yang tidak menangis. Semaunya meneteskan air mata masing-masing.

Selama ini, Partai Pedang Kebenaran dikenal sebagai salah satu partai lurus. Sepak terjangnya membuat setiap orang kagum. Kebaikan murid-muridnya, kebaikan guru dan ketuanya, semuanya mendapatkan nilai baik di mata orang-orang.

Tapi kenapa nasib mereka begitu tragis? Kenapa langit selalu membawa orang-orang baik lebih cepat daripada orang jahat?

Setelah sekian lama terdiam dan berhasil menenangkan diri, akhirnya Pendekar Baju Putih pun berbicara.

"Saudara sekalian, sekarang simpan dulu air mata kita. Kasihan mayat-mayat ini, mereka harus mendapatkan kuburan dengan layak. Mari, bantu aku menguburkannya," ucapnya dengan suara lantang dan berwibawa.

Meskipun hatinya sedang dirundung oleh kesedihan mendalam akibat peristiwa berdarah yang menimpa Partai Pedang Kebenaran, namun bagaimanapun juga dia adalah seorang tokoh sakti. Siapapun tahu akan hal tersebut.

Oleh karena itulah, nada suarnya masih menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya.

"Baik …" jawab para warga yang berada di sana.

Setelah itu mereka seera bergerak menjalankan tugasnya masing-masing. Tidak berapa la setelah orang-orang tersebut turun tangan, mendadak dari segala penjuru datang pula puluhan pendekar dunia persilatan.

Mereka yang datang adalah tokoh-tokoh aliran putih yang bahkan sudah mempunyai nama cukup terkenal dalam rimba hijau.

Dari hal ini saja, bisa dinilai seberapa hebat dan seberapa berpengaruhnya Zhang Yixing si Pendekar Pedang Tanpa Tanding dalam dunia persilatan.

Sekarang di Partai Pedang Kebenaran sudah kembali berkumpul banyak orang. Bedanya, kalau tadi malam melakukan pembantaian, maka sekarang melakukan penguburan.

Siang hari telah tiba. Tepat pada saat matahari sudah berada di atas kepala, akhirnya proses penguburan masal pun selesai dilaksanakan. Sekarang Partai Pedang Kebenaran yang sebelumnya menjadi tempat bagi para pendekar pembela kebajikan, saat ini telah berubah menjadi sebuah tanah pekuburan.

Tanah pekuburan tempat beristirahatnya orang-orang gagah dunia persilatan.

Para warga telah membubarkan diri. Setelah selesai melakukan penguburan dan melangsungkan penghormatan terakhir, mereka memilih untuk kembali menjalankan aktivitasnya yang sempat terhenti. Selain warga, para pendekar dan tokoh terkenal lainnya juga turut melakukan hal serupa.

Pendekar Baju Putih masih berdiri di sana. Dia memandangi puluhan makam para pahlawan itu. Ditatapnya makam itu satu per satu. Lalu dirinya menghela nafas panjang.

Seolah-olah dia masih tidak bisa menerima kenyataan terhadap apa yang sudah menimpa Partai Pedang Kebenaran.

Sayang sekali, kenyataan tetaplah kenyataan. Tidak bisa diubah, dan tidak bisa berubah.

Angin berhembus mengibarkan jubah yang dipakai oleh Pendekar Baju Putih. Rambutnya yang tergerai bergoyang-goyang tertiup angin. Begitu pula denga jenggotnya yang sudah memutih.

Biasanya, dia sangat menyukai angin yang datang di tengah hari. Baginya, angin di tengah hari membawa kesejukan dan ketenangan. Membawa pula kenikmatan tersendiri.

Tapi saat ini adalah pengecualian.

Hembusan angin yang dia rasakan seolah-olah tidak membawa perasaan apapun. Kesedihannya masih terasa. Bahkan semakin mendalam. Sorot matanya masih memancarkan cahaya. Tapi lagi-lagi cahaya kesedihan. Bukan cahaya kegembiraan seperti biasanya.

"Aku sungguh tidak percaya terkait nasib Partai Pedang Kebenaran. Partai yang terkenal dan punya nama, ternyata harus berakhir tragis seperti ini,"

Sebuah suara tiba-tiba berkumandang tepat di belakang tubuh Pendekar Baju Putih.

Mendengar ada orang lain di sana, tokoh kosen itu segera membalikkan badanya. Dia ingin mengetahui siapa orang yang bicara barusan.

Tapi setelah Pendekar Baju Putih mengetahui siapa orangnya, dia langsung terlihat gembira kembali. Dirinya tahu siapakah gerangan.

"Ah, kiranya Kakek Sakti Suling Pualam …" ujarnya sambil melemparkan senyuman hangat. Bersamaan dengan itu, dirinya juga langsung memberikan hormatnya yang tulus.

Kakek Sakti Suling Pualam adalah salah satu tokoh terkenal. Dalam dunia persilatan, semua orang pasti kenal dan tahu kepadanya. Khususnya mereka yang seangkatan dengannya.

Dia dikenal karena permainan serulingnya. Baik itu ketika ditiup, maupun ketika dimainkan dalam medan pertarungan. Masalah bagaimana kehebatannya, siapapun tidak ada yang berani meragukan.

"Benar, ini aku. Selamat bertemu, Pendekar Baju Putih," jawab kakek tua itu sambil membungkukkan badan, seraya membalaskan senyum dan hormatnya.