Warung Arak I

"Selamat bertemu pula, Kakek Sakti Suling Pualam …" jawab Pendekar Baju Putih tanpa menghilangkan senyuman di bibirnya.

Kakek tua itu berjalan semakin dekat ke arahnya. Setelah jarak mereka berdekatan, kedua tokoh dunia persilatan tersebut segera berjabat tangan.

"Apa kabarmu, Tuan pendekar?" tanya Kakek Sakti Suling Pualam.

"Aku baik-baik saja, bagaimana dengan kau sendiri?" tanya balik Pendekar Baju Putih.

"Aku pun baik-baik saja. Cuma karena umurku yang semakin menua, aku sering merasakan sakit di beberapa bagian tubuh," jawabnya sambil tertawa.

Pendekar Baju Putih tertawa ketika mendengar jawaban tersebut.

"Ternyata yang sering mengalami hal itu bukan cuma aku saja," ujarnya. Setelah berhenti sesaat, dia berkata kembali, "Ah, iya, bagaimana kalau kita mencari warung arak untuk berbincang-bincang sebentar?"

"Hemm, usul yang baik. Aku setuju,"

"Baiklah. Kalau begitu sekarang kita cari warung arak,"

"Baik."

Dua tokoh dunia persilatan itu segera pergi dari sana. Langkah mereka tetap tenang dan perlahan.

Meskipun Pendekar Baju Putih masih merasa sedih atas peristiwa yang menimpa Partai Pedang Kebenaran, namun bagaimanapun juga, dia tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan.

Bukankah terlalu larut dalam kesedihan sama saja dengan kebodohan?

Bersedih boleh, tidak ada yang melarang akan hal tersebut. Setiap manusia diperbolehkan bersedih ketika mendapat kedukaan.

Namun bukan berarti harus berlarut-larut. Karena kalau seperti itu, hal tersebut sama saja dengan menyiksa diri sendiri.

Di dunia ini, selain bodoh, sebutan apa lagi yang pantas untuk orang seperti itu?

Setelah beberapa lama kemudian, akhirnya dua tokoh dunia persilatan tersebut berhasil juga menemukan tempat tujuannya. Di depan sana, dalam jarak sekitar tiga tombak, ada sebuah warung arak.

Meskipun hanya warung sederhana dan arak yang disediakan juga paling-paling arak kelas rendah, namun ketika berada dalam situasi seperti sekarang, rasanya hal itu saja sudah jauh lebih daripada cukup.

Kedua orang tua itu segera memasuki warung arak tersebut. Kebetulan ketika mereka masuk, keadaan di dalam warung cukup sepi. Kecuali hanya ada tiga orang pengunjung, di sana tidak terlihat pengunjung lainnya lagi.

Pendekar Baju Putih dan Kakek Sakti Suling Pualam memilih tempat duduk di paling pojok. Mereka sengaja memilih tempat tersebut, tujuannya agar bisa melihat ke segala sudut dengan leluasa.

"Sianseng (tuan) mau pesan apa saja?" tanya pemilik warung arak yang merupakan seorang nenek tua berusia sekitar enam puluhan tahun.

"Cukup pesan dua guci arak saja. Tambahkan juga satu krat daging," jawab Pendekar Baju Putih.

"Baik, segera. Silahkan Sianseng menunggu sebentar,"

Pendekar Baju Putih menganggukkan kepalanya. Si pemilik warung arak segera pergi ke belakang untuk menyiapkan pesanan.

Sembari menunggu pesanan datang, keduanya memilih untuk berbincang-bincang. Pembicaraan itu dimulai oleh Kakek Sakti Suling Pualam, katanya, "Sampai sekarang, rasanya aku masih tidak percaya atas kejadian yang menimpa Partai Pedang Kebenaran,"

Sambil berkata demikian, ekspresi wajahnya sedikit berubah. Seperti ada kesedihan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Jangankan dirimu, aku pun demikian. Kejadian itu seperti mimpi buruk. Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir kalau Keluarga pendekar Zhang berikut Partai Pedang Kebenaran akan bernasib tragis seperti itu," ujar Pendekar Baju Putih sambil menghela nafas panjang.

Peristiwa yang menimpa Partai Pedang Kebenaran itu adalah satu peristiwa besar yang pernah terjadi di daratan Tionggoan.

Kalau tidak menyaksikan secara langsung, mungkin siapapun tidak akan ada yang percaya bahwa salah satu partai besar seperti Partai Pedang Kebenaran, bisa dibumi hanguskan hanya dalam waktu semalaman.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apakah kau bisa menceritakan sedikit kejadian itu kepadaku?" tanya Kakek Sakti Suling Pualam.

"Aku sendiri tidak tahu secara pasti. Aku bisa berada di situ karena kebetulan sedang lewat saja. Malam itu, aku memutuskan untuk turun gunung. Firasatku berkata ada sesuatu yang sedang terjadi. Begitu sudah tiba di bawah gunung, ternyata firasatku benar-benar terbukti. Sayangnya, ketika tiba di sana, peristiwa itu sudah terjadi beberapa saat yang lalu,"

Pendekar Baju Putih berhenti sebentar. Dia melamun. Sekedar untuk mengingat dan membayangkan betapa brutalnya orang-orang yang melakukan penyerbuan ke Partai Pedang Kebenaran.

Ketika gambaran sudah muncul dalam benaknya, tanpa sada dia menggertak gigi dan mengepalkan kedua tangannya. Mungkin hal itu terjadi karena saling kesalnya Pendekar Baju Putih.

"Aih, sayang sekali aku tidak ada di sana ketika peristiwa itu terjadi. Anehnya, walaupun peristiwa itu menyangkut puluhan atau bahkan ratusan orang, kenapa tidak ada satu pun orang persilatan yang datang memberikan bantuan?"

Kakek Sakti Suling Pualam merasa janggal dengan peristiwa tersebut. Ketika ratusan orang bertempur, apalagi menggunakan senjatanya masing-masing, bukankah sudah pasti akan menimbulkan keramaian?

Dan siapapun tahu, setiap orang akan merasa penasaran jika mendengar keramaian. Sifat dasar manusia adalah penasaran. Siapapun tidak akan ada yang bisa melepaskan diri dari sifat tersebut.

Tapi kenapa ketika peristiwa itu terjadi, seolah tidak ada orang-orang yang menaruh rasa penasaran?

"Aku sendiri awalnya merasa heran kenapa tidak ada satu pun pendekar yang memberikan pertolongan. Tapi setelah dipikir kembali, aku jadi ingat akan satu hal," kata Pendekar Baju Putih setelah terdiam beberapa saat.

"Hal apa?" tanya Kakek Sakti Suling Pualam dengan cepat.

"Ketika pertempuran berlangsung, sepertinya ada seorang tokoh sakti yang sengaja menggunakan ilmu kedap suara. Sehingga suara yang ditimbulkan oleh pertempuran itu tidak sampai terdengar keluar,"

"Benarkah?"

Kakek Sakti Suling Pualam sebenarnya merasa sangsi akan penjelasan Pendekar Baju Putih. Tapi setelah diingat kembali, hal itu memang bisa saja terjadi.

Bagi seorang tokoh kelas atas yang sudah mencapai puncaknya, menggunakan ilmu kedap suara memang bukan suatu hal yang mustahil. Bagi orang-orang seperti itu, bahkan mereka bisa menggunakan ilmu mengirimkan suara dalam jarak puluhan tombak.

Terkait hal ini, mereka berdua sudah termasuk ke dalam jajaran orang-orang yang mampu melakukan hal tersebut.

"Aku sangat yakin akan hal tersebut. Apalagi jika mengingat dalam pertempuran itu, turut terlibat pula tokoh-tokoh kelas atas yang berasal dari aliran putih,"

Ketika mendengar perkataan tersebut, wajah Kakek Sakti Suliny Pualam kembali berubah. Kali ini, perubahan itu bisa terlihat jelas oleh siapapun.

"Apakah kau tidak bercanda?"

"Apakah aku sedang terlihat bercanda?" tanya balik Pendekar Baju Putih.

Ditanya seperti itu, orang tua tersebut langsung membisu. Dia memang tidak melihat ada kesan candaan dalam wajah tokoh sakti itu. Kakek Sakti Suling Pualam percaya betul bahwa Pendekar Baju Putih sedang berkata yang sebenarnya.

Tapi di sisi lain, dia benar-benar terkejut dibuatnya.

Bagaimana mungkin tokoh kelas atas yang berasal dari aliran putih mau melakukan tindakan keji seperti itu?

"Aih, sungguh berita yang mengejutkan. Kalau boleh tahu, kira-kira siapa saja tokoh kelas atas yang kau ketahui?" tanyanya penasaran.