Walau nampak tegar dan kuat, duka cita Viona pecah tak tertahankan ketika berada di pusara ayahnya. Pria itu rupanya memiliki arti sangat penting karena kepergiannya membawa luka menganga sangat dalam. Bram tak kuasa menghibur dn akhirnya memutuskan untuk membiarkan wanita itu larut dalam duka. Di atas makam pria yang pernah menjadi atasannya, seonggok bunga darinya juga diletakkan berdampingan dengan bunga yang dibawa oleh Viona.
“Gue liat, lu terpukul dengan kepergian Papa lu.”
“Emang iya.”
“Mama gimana?”
Viona langsung teringat diskusi keduanya kemarin. Saat itu Mama sarankan agar perusahaan mereka yang kini agak terseok-seok untuk dimanage orang lain untuk sementara. Menurut Mama, ia khawatir kegamangan pikiran Viona bisa mempengaruhi jalannya perusahaan yang saat ini harus dipimpin dengan pemimpin yang tegas, yang tidak terpengaruh secara mental dan emosional. Viona harus mencari penggantinya walau sementara. Ia setuju.
“Mama baik-baik aja,” kata Viona setelah beberapa waktu.
Bram berjalan merendengi Viona meninggalkan lokasi kembali ke parkiran mobil.
“Papa itu bener-bener segalanya buat gue,” kata Viona mulai mencurahkan isi hati.
Bram mendengar dan menyimak dengan sabar ketika dalam lima-enam menit berikutnya Viona menceritakan kehebatan sosok yang menjadi orangtuanya itu. Dari apa yang disampaikan terlihat jelas bahwa Viona memang pantas kalau begitu terluka atas kepergiannya. Dedikasi orangtua itu sangat luar biasa. Sayang, menjelang akhir hidupnya ia hidup dalam dendam karena merasa usahanya dikhianati oleh perusahaan yang pernah menjadi mitranya, Mintarja Grup. Dan nama terakhir itu saat ini menjadi perusahaan dimana Bram mencari nafkah. Dari omongan-omongan yang tercetus itu juga Bram jadi sangat tahu bahwa dendam itu kemudian turun pada puteri sang presdir yaitu Viona.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan Bram langsung menghidupkan mobil serta menyalakan AC tanpa harus segera menjalankan kendaraan.
“Perusahaan yang lu nggak suka itu sekarang dipimpin sama anaknya. Pak Mintarja kondisi kesehatannya jelek terus, maka dari itu Ervan sekarang yang jadi CEO-nya.”
“Gue udah tau cerita itu. Mudah-mudahan keburu koit bangsat tua itu.”
Mendengar intonasi suara Viona yang berucap sambil menggertak gigi, Bram semakin yakin wanita itu benar-benar diliputi dendam yang luar biasa.
“Sekarang coba lu cerita soal Ervan. Dia kan petinggi lu di kantor.”
Bram mulai menjalankan kendaraan. “Dia jadi big boss kan karena nerusin estafet kepemimpinan. Kalo soal kapabilitas sih masih suka salah-salah dalam ngambil keputusan. Dia masih ijo. Ijo banget. Mungkin bisa dibilang anak kecil karena emosinya labil. Gampang berubah. Dibaik-baikin sedikit, keputusan bisa berubah. Beberapa kali dia bikin kebijakan yang ngaco yang bikin perusahaan rugi, besar.”
Bram masih terus menceritakan tentang Ervan. Pada bagian-bagian terakhir Viona tak terlalu memperhatikan karena tiba-tiba ia memikirkan beberapa hal yang datang mendadak begitu saja di benaknya.
Pemikiran pertama: Ervan adalah CEO baru yang masih hijau yang terbukti salah berkali-kali dalam mengambil keputusan.
Pemikiran kedua: Kebijakan Ervan sering membuat perusahaan rugi besar.
Pemikiran ketiga: Ervan itu, dibaik-baikin sedikit bisa membuatnya mengambil keputusan berbeda.
Bagi Viona yang masih sangat jelas diliputi marah dan dendam, ketiga hal itu bisa bermuara pada satu hal lain yaitu pembalasan dendam.
“Bram,” kata Viona tak lama kemudian setelah Bram bercerita kesana-kemari. “Lu bilang Papa orang hebat.”
“Memang,” Bram yang belum mengerti arah ucapan Viona mengiyakan. “Gue respek Papa lu sampe mati. Gue berhutang budi.”
“Bagus. Berarti lu bisa bantu gue.”
“Bantu gimana?”
Viona menoleh. Menatap tajam Bram yang mengemudi kendaraan. “Gue ingin lu bantu balasin dendam gue ke perusahaan itu. “
“Maksud lu, balasin dendam ke Ervan?”
“Iya,” jawab Viona penuh harap. “Lu musti bantu gue untuk bisa keterima di perusahaan Ervan.”
“What? Gak salah denger nih?”
“Ya nggak.”
Otak Bram berputar cepat. Kebetulan sekali baru pagi ini bossnya itu membicarakan rencana perekrutan pegawai baru yaitu mencari pengganti Shirley, yang baru minggu lalu dia pecat.
“Kenapa diem?”
“Kebetulan banget.”
“Kebetulan kenapa?”
Bram terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Ervan lagi butuh sekretaris baru.”
Mata Viona berbinar. Ini kesempatan emas baginya. “Plisssss, plissss Bram. Tolong masukin gue. Gue harus masuk ke sana untuk bisa balasin dendam Papa.”
“J-jadi, maksud lu, lu mau gue ancurin perusahaan tempat gue cari nafkah?”
Viona menunjukkan 5 jari. “500 juta buat lu kalo bisa bantu wujudin rencana ini.”
Bram kaget. Angka itu adalah angka yang besar. Rasa tamak dengan cepat timbul. Namun ia berusaha menguasai diri karena menurutnya adalah hal lain yang bisa ia manfaatkan dalam situasi ini.
“Gimana ya?” Bram pura-pura berpikir keras. “Lowongan itu sudah lama ada. Kamu tau kan sekarang lagi sulit cari kerjaan dimana-mana. Memang aku juga jadi penentu yang bisa bujuk boss untuk extend. Tapi dengan deadline hari ini aku koq kurang yakin, soalnya….”