Graha Penyangga Langit, Wulansana. Ruang Makan Khusus Tamu

Mentari baru saja tenggelam di balik puncak-puncak menara batu putih Wulansana. Cahaya jingga terakhir memantul lembut pada dinding-dinding cemerlang, yang diukir dengan pola-pola geometris khas warisan leluhur negeri. Ruangan itu megah, tapi sunyinya anggun seperti candi yang dijaga oleh keheningan.

Gorden tebal warna emas dengan lapisan putih lembut menggantung di sisi-sisi jendela tinggi yang menjulang, diikat rapi dengan simpul berseni. Lampu-lampu dinding berpendar hangat di antara ukiran batu, memperlihatkan kilau samar pada relief langit-langit. Di tengah ruangan yang luas itu, Solor duduk sendiri. Seragam beskap putihnya rapi, mencerminkan sosok tamu kehormatan yang baru selesai berganti pakaian setelah perjalanan panjang.

Ia sedang menikmati makan malam sederhana yang tersaji di atas meja kayu persegi panjang, hanya ditemani oleh suara lembut dari peralatan makan yang menyentuh piring. Di dekat pintu, dua penjaga berdiri tenang, menjaga tanpa suara.

Lalu pintu berderit pelan.

Dari ambang pintu yang terbuka, masuklah seorang pria bertubuh kurus tinggi, berusia 55 tahun, mengenakan beskap putih santai dengan blankon senada. Wajahnya tenang, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang dalam. Ia tak memanggil nama, tak menyapa secara formal. Hanya berdiri sejenak, memandangi Solor dengan tatapan yang tajam namun tidak mengancam.

Shidik Sukro.

Melangkah menghampiri "Menjadi Pengembara Bulan Sabit… tanpa arah. Tanpa tahu ujung teka-teki. Itu beban, bukan kehormatan."

Solor menoleh pelan, sudut bibirnya menegang sedikit. Ia mengenali sosok itu. Tak pernah dekat, tapi cukup tahu, bahwa pria di hadapannya bukan orang sembarangan. "Kau baru sadar sekarang?"

Solor menghela napas pendek "Semua orang bilang paham penderitaan itu. Tapi tak satu pun yang berbuat apa-apa setelah selempang itu lepas dari bahu."

Shidik melangkah masuk, menarik kursi di sisi meja, lalu duduk tanpa banyak suara. "Karena sebagian dari mereka takut. Sebagian lagi, terlalu setia pada dokumen tua dan kebijakan yang digembok." seraya bersandar pada kursi yang di lapisi bantalan warna putih keemasan tampak nyaman.

sejenak ia diam, seperti memilih kata-kata berikutnya dengan saksama "Tapi pusaka... itu bukan soal dokumen. Bukan sekadar warisan atau alat. Kalau benda seperti Akik Kumenteng benar-benar diumumkan ke publik... rakyat akan menyentuh sesuatu yang bahkan kita, para Pengembara, tak bisa pahami sepenuhnya."

Solor dengan nada lebih serius, memandangnya tajam "Kau tahu soal itu?"

"Lebih dari yang kuinginkan."Ucap Shidik lirih, nyaris seperti bisikan.

Suaranya mulai dalam, tenang namun menusuk "Kita hidup di negeri di mana kebenaran dikubur demi ketertiban. Tapi sampai kapan?".Matanya menajam. "Apakah kebenaran memang harus disembunyikan hanya karena kita takut pada reaksi orang awam?"

Solor terdiam lama, pandangannya terpaku pada cahaya lilin lilin yang tenang didepannya. "Jika kebenaran itu bisa membakar dunia… mungkin, ya."

"Dan kalau yang menyulut api justru mereka yang mengaku menjaga dunia?" Shidik menatap langsung ke mata Solor

"Kalau Aliansi keliru… apakah kau tetap akan diam?" Solor kembali menyuap beberapa daging buah sebelum berbicara, dengan suara rendah, seperti dari dalam rongga dada.

"Pertanyaan itu… terlalu lama mengendap di dadaku." Shidik bangkit perlahan, melangkah ke jendela yang kini mulai merefleksikan langit malam. "Sebagian dari kita sudah terlalu lama diam. Tapi hari ini… diam adalah bencana." Berbalik, berdiri menghadap Solor 

"Aku tak datang untuk berbasa-basi."

Solor senyum getir, nyaris mencemooh tapi juga menahan rasa ingin tahu "Kau terdengar seperti orang yang sudah melihat sesuatu."

"Akik Kumenteng." Shidik menyebut nama itu dengan penuh tekanan

"Nama itu akan keluar dari mulut para petinggi. Tapi bukan untuk diamankan. Melainkan diumumkan. Diangkat jadi hadiah. Disanjung di depan rakyat." Solor menoleh menatapnya lalu kembali dengan merunduk, suaranya meninggi dengan nada gemetar " Itu berarti—"

"—itu berarti permulaan dari Malapetaka Penutup, jika ramalan itu benar." Shidik menghela napas, kemudian lebih lirih.

"Kau dan aku, kita tahu betapa busuknya sesuatu yang dilapisi kilau pusaka. Kita telah melihat betapa gelapnya Batin Pangikrar ketika tak dimurnikan."

Solor perlahan menghela napasnya. Tangannya diam dengan garpu di selah jarinya enggan melanjutkan memakan sesuatu "Mengapa kau memperingatkan aku?"

Shidik menatap tajam, tidak berkedip "Karena kau satu dari sedikit orang yang masih bisa memilih untuk bertindak. Kau pernah menggenggam teka-teki itu. Dan kau belum sepenuhnya menyerah."

"Dan jika aku memilih diam?" Balas Solor.

Ucap Shidik dingin, seperti sebuah vonis "Maka sejarah akan berjalan tanpa kita.Tapi kelak, ketika langit retak dan bumi tak mengenal siang, namamu akan ada di antara mereka yang tahu... dan memilih berpaling."