Langit malam di Wulansana tergantung sunyi, pekat dan berat tanpa rembulan—seakan enggan menatap apa yang akan terjadi di bawahnya. Di pelataran batu yang luas, lentera-lentera berkerlip lembut, berjajar rapi bagai bintang-bintang yang diturunkan ke bumi, menandai jalan menuju jantung kebesaran: Graha Penyangga Langit.
Bangunan itu menjulang agung, laksana gunung yang dipahat tangan para leluhur, tersusun dari batu putih yang bersinar tenang dalam cahaya kuning pucat lampu-lampu minyak yang menempel rapi di dinding-dinding berukir. Lima lantai simetris membentang ke atas seperti lapisan-lapisan langit, dijaga oleh tangga-tangga lebar yang membelah setiap sisi tengah bangunan mirip candi bukan hanya untuk dilalui, tapi untuk menguji niat dan keberanian setiap langkah yang menaikinya.
Di antara ratusan tamu undangan yang mulai memenuhi pelataran dan menaiki tangga Graha Penyangga Langit, tampak satu sosok menonjol bukan karena keangkuhan atau kemegahan, melainkan karena kesendiriannya. Seorang pria bertubuh pendek, berambut terkucir tipis yang melengkung ke atas seperti goresan kuas pada lukisan tinta, melangkah perlahan di antara rombongan yang bercengkerama.
Langkahnya mantap namun tidak tergesa, seolah setiap anak tangga lantai demi lantai memiliki kenangan yang harus dihormati. Ia mengenakan beskap putih bergradasi keemasan, simbol tertinggi kehormatan dari Aliansi—busana yang hanya dikenakan oleh mereka yang telah menoreh sejarah dalam Sayembara Tujuh Tahunan.
Di dada kirinya, sebuah pin kecil tersemat anggun, bergambar bulan sabit dan daun melati—lambang sakral para mantan Pengembara Bulan Sabit. Dan di bawah cahaya lentera, pin itu tampak berpendar pelan, seolah mengisyaratkan bahwa meski masa pengembaraannya telah lama berlalu, namanya belum benar-benar pudar.
Solor Jayusman melangkah perlahan, seperti menghitung setiap injakan di tangga batu yang dingin dan sedikit licin oleh embun malam. Udara di sekitar dipenuhi aroma damar dan akar wangi, asap tipis dari obor minyak mengambang pelan di sepanjang dinding.
Matanya menelusuri ukiran-ukiran kuno yang terpahat di sisi tangga—jejak bisu dari tangan-tangan leluhur yang telah lama menyatu dengan tanah. Ada kuda berkaki empat belas yang tampak seolah melesat keluar dari batu, pohon berbuah cahaya dengan dahan menjulur ke langit, dan mata yang menangis api, seolah menyimpan rahasia yang tak pernah bisa dipadamkan.
Setiap simbol seperti menyapa Solor dalam diam, menanyakan keberadaannya, menguji makna langkahnya. Ia tahu, ini bukan hanya tempat untuk rapat—Graha Penyangga Langit adalah tempat di mana ingatan dan masa depan bisa saling mengintip dari balik batu yang sama.
Sampai pada lorong-lorong sunyi, batu putih cemerlang membalut segala sisi, tampak remang dalam cahaya api yang bernaung di wadah-wadah kuno, terukir dan tertanam di dinding. Seluruh dinding memamerkan pahatan geometris khas Wulansana, berpadu dengan panel-panel relief menakjubkan, membentuk bentangan visual yang seolah mengisahkan sejarah dalam diam. Di langit-langitnya, ukiran bintang dan awan bergelombang menghias, menyiratkan dunia langit para leluhur Sanajayan—senyap tapi hidup, bergaung pelan di sisi langkah Solor, seakan gema masa lalu menyertai setiap tapaknya.
Dari balik bayang tiang-tiang besar, suara langkah kedua menyentuh lantai batu, menembus keheningan.
"Saya mengirimu poster Sayembara sekaligus hadiahnya, bukan surat undangan," kata suara itu, datar tapi tajam.
Solor tak menoleh."Dan aku tahu hanya satu orang yang memilih muncul tanpa suara... tapi membawa gelombang."
Wandarimo melangkah keluar dari balik cahaya pelita. Ia mengenakan beskap putih bergradasi emas, celana selutut bersih, dan rambut seleher yang diurai rapi dengan gelombang samar. Wajahnya tenang, tapi matanya—mata yang dahulu menatap langit sebagai Pengembara Bulan Sabit—menyimpan sesuatu yang tak mudah dijelaskan... semacam keyakinan yang dingin.
"Akik Kumenteng," ucap Solor lirih. "Itu bukan hadiah. Itu peringatan."
Wandarimo hanya menatapnya. Tak membantah, tak mengiyakan.
"Aku mengenal batu itu," lanjut Solor. "Pernah kupelajari… satu-satunya pusaka yang berawal bukan dari empu atau petapa, tapi dari penambang. Diciptakan oleh ketidaksengajaan, disucikan oleh derita."
"Dan apa artinya itu bagi Anda?" tanya Wandarimo, suaranya tenang seperti angin malam.
Solor menarik napas. "Malapetaka Penutup... mungkin bukan sekadar dongeng. Dan kau menyeret percikannya ke tengah sidang esok pagi, ke tangan-tangan yang tak tahu betapa panasnya api yang mereka pegang."
Wandarimo melangkah mendekat, pelan, tanpa suara, hingga hanya dua langkah memisahkan mereka."Jika kita tahu jurang menganga, .. apakah kita hanya akan memalingkan wajah? Atau melempar cahaya ke dalamnya—dan lihat siapa yang bersinar kembali?"
Solor menatap lekat. "Kau bertaruh pada ramalan," katanya pelan. "Tapi bagaimana jika yang muncul... bukan penyelamat? Tapi penghukum?"
Wandarimo tersenyum tipis. "Batin Pangikrar tidak mengenal niat baik atau buruk. Ia hanya memantul—seperti cermin. Yang sejati akan datang... bukan untuk menyelamatkan, bukan pula untuk menghancurkan. Ia hanya akan datang, saat waktunya tiba."
Keheningan menggantung, seolah batu-batu pun menahan napas."Jika Aliansi menganggap ini penyimpangan..." Wandarimo berbalik, siluetnya memanjang oleh cahaya api.
"...biarlah sejarah yang menilai."
—----
Solor memandang langit-langit yang membingkai lengkung lorong, menatap ukiran-ukiran bergambar yang tersinari cahaya lampu-lampu api di dinding. Gambar-gambar itu seperti sosok-sosok dalam pemujaan; warnanya putih, berdesir lembut menyimpan makna. Di sampingnya, lebih tinggi, ukiran berubah menjadi relief angkasa dengan bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia merasa betul-betul kecil. Bukan sebagai manusia, bukan pula sebagai mantan Pengembara Bulan Sabit. Tapi sebagai saksi… dari sesuatu yang lebih besar, yang mungkin tak bisa ia hentikan.
"Rapat besok akan memecah banyak hal. Tapi sebelum itu, aku ingin Anda tahu... semua ini bukan semata karena aku menantang Aliansi. Aku ingin membuka mata mereka. Juga mata Anda." Ucap Wandarimo, melangkah perlahan menelusuri lorong.
Solor, tubuhnya pendek, menoleh dan menatapnya, lalu menyusul dari belakang.
"Apa membuka mata harus dengan hadiah terlarang? Apa membuat orang ingat pada pusaka harus dimulai dengan menggoda mereka?"
Mata Wandarimo menatap langit-langit lorong di depan, tangan diikat di belakang. "Kadang, kebenaran tidak bisa diketuk pelan. Ia harus dijungkirkan ke atas meja, agar semua melihat. Kau tahu itu, Tuan Solor," jawabnya tenang.
Solor menunduk, namun langkahnya tak berhenti.
"Aku tidak takut pada kebenaran, Wandarimo. Aku takut pada harapan palsu. Seribu tahun kita menghindari pusaka bukan karena kita lemah, tapi karena kita sadar—manusia belum siap."
Wandarimo membalikkan wajah ke belakang, Solor tak terlihat oleh pandangnya, namun ia tetap berjalan.
"Lalu kapan mereka akan siap, kalau bahkan para kesatria seperti Anda terus menyembunyikan jalan?"
"Bukan aku yang menyembunyikan jalan. Tapi jalan itu sendiri yang belum bersih untuk dilalui. Kau tahu itu... Batin Pangikrar belum pulih," jawab Solor.
"Dan justru karena itu, kita harus memaksanya. Menelanjanginya. Kalau kita terus menunggu ramalan tanpa bertindak... maka kita bukan penjaga, hanya boneka." Ucapan Wandarimo kini pelan, namun penuh bobot. Langkahnya diperlambat, hingga kini ia berjalan di samping Solor. Seperti sepasang kakak-adik dalam balutan seragam yang sama.
Solor berbisik, nyaris tak terdengar.
"Kau berubah, Wandarimo. Dulu kau bicara tentang menjaga… Kau dikenal sebagai pencetak murid-murid yang tangguh, yang jiwanya kesatria—aku melihatnya sendiri! Tapi mengapa kau justru membuka hal yang dilarang Aliansi? Kau tahu apa akibatnya! Itu seperti mengumumkan kepada dunia bahwa pusaka-pusaka itu benar-benar ada. Warga akan percaya, dan pasti akan mencoba membuatnya!"
Wandarimo menjawab dengan suara kuat.
"Membuatnya? Kau yakin mereka bisa begitu saja membuat pusaka, Tuan Solor? Sekarang, setiap orang yang memohon kepada Batin Pangikrar harus membayar dengan nyawanya sendiri. Permintaan itu bukan hadiah—itu kutukan yang perlahan mematikan."
"Itu tidak menghentikan mereka! Dunia ini tidak dipenuhi orang bijak. Banyak yang tak peduli pada sekitarnya—bahkan pada dirinya sendiri! Meski upahnya berat, tetap akan ada yang mencoba... hanya untuk merasa berkuasa." Balas Solor, nada suaranya mengeras.
"Aku tahu risikonya. Tapi aku lebih percaya pada kebenaran daripada kebohongan yang nyaman. Jika Akik Kumenteng tidak kujadikan hadiah utama, maka dunia ini akan terus membelakangi kenyataan—terjebak dalam ketakutan, bukannya menghadapi kebenaran."
"Lihat sekelilingmu! Kita semua gagal memurnikannya... dan kau malah—"
"Cukup, Tuan Solor!" Wandarimo memotong, langkahnya terhenti, nadanya meninggi, membuat Solor turut berhenti di depannya. "Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Selama seribu tahun, kita seharusnya sudah mencapai puncak kemegahan—hidup yang mudah, damai, terstruktur. Tapi kenyataannya? Kita terseok, menolak melihat akar masalah!"
Hening sesaat. Wandarimo menghela napas panjang. Suaranya melunak. Ia kembali melangkah.
"Kau pecinta binatang... Kau tahu apa artinya menahan sesuatu yang buas agar tak melukai. Tapi dunia ini bukan kandang. Kita tak bisa terus mengurung kekuatan seperti pusaka tanpa menyentuh akar luka yang mengotorinya."
"Jadi maksudmu... kau ingin pusaka kembali diangkat ke dunia ini?" tanya Solor.
Wandarimo menjawab mantap, pandangannya menembus kejauhan lorong putih di depan mereka.
"Ya. Tapi di bawah kendali. Dalam naungan perdamaian. Kau tahu Sakadian, yang muncul beberapa hari lalu? Dialah bukti bahwa itu masih mungkin—seorang kesatria sejati, lahir dari keberanian dan pengorbanan."
Ia merunduk sedikit, menatap Solor dengan pandangan mendalam.
"Aku ingin generasi seperti dia tumbuh kembali. Generasi yang mengingat dari mana dunia ini bermula."
Solor menoleh cepat, menatap mata Wandarimo yang jauh lebih tinggi darinya.
"Apa maksudmu… dia?"
Pandangan Wandarimo kembali ke depan, langkah mereka tak terhenti.
"Dia... memanggul longsoran tanah dengan tangan yang bersinar. Pusaka membantunya. Tapi dia tak berubah menjadi rakus, tak dibutakan oleh kuasa. Ia tetap rendah hati. Itulah kesatria sejati, Tuan Solor. Sosok yang seharusnya menjadi lambang harapan—bukan sekadar bayangan yang ditakuti."
"Itu pemikiran gila, Wandarimo... Sama saja dengan mengkhianati Aliansi." Wajah Solor mengeras, sorot matanya ke depan, mencoba mencernanya, namun tetap tak bisa menerima.
"Anda mempertanyakan aku, Tuan Solor? Tapi... apa yang sesungguhnya anda rasakan terhadap Aliansi? Masih utuhkah kepercayaanmu pada mereka?"
Solor terdiam sejenak, lalu berkata pelan namun dalam, "Kalau begitu... siapa yang seharusnya kita percaya?"
Wandarimo tersenyum miris, seperti menertawakan dirinya sendiri lewat bayangan Solor. "Haha... Anda terdengar seperti pemuda yang baru mulai mengembara."
Ia menatap Solor di sisinya, langkah mereka tetap berdampingan.
"Jadi disini kita memilih jalan berbeda... anda memilih menunggu jawaban dari langit. Sedangkan aku, aku memilih menggali jawabannya dari tanah, meski harus menyentuh lumpur dan darah. Tapi satu hal tak pernah berubah—aku masih ingin dunia ini selamat. Dengan caraku."
Hening menyelubungi lorong, hanya terdengar gema langkah kaki mereka yang menjauh perlahan, seolah waktu pun enggan menjadi saksi dari dua jalan yang mulai menjauh.
"Kalau caramu menumbalkan apa yang seharusnya dijaga, terpaksa aku akan menentangmu," ucap Solor sambil menyilangkan tangan di dada, namun tatapannya tetap lurus, menembus hingga ke tangga yang menjulang ke atas, seperti melihat sesuatu yang belum tersentuh.
"Kalau caramu hanya menunggu hingga kehancuran datang, maka aku akan melewatimu," sahut Wandarimo. Ia perlahan membalikkan badan, lalu melangkah lebih dulu. Solor mengikutinya, langkah-langkah mereka mengisi diam yang mulai menebal.
Mereka menapaki tangga menuju lantai peristirahatan. Tak ada suara lain selain desis pelan sandal yang bersentuhan dengan batu putih—gema kecil dari tiap pijakan, seolah tangga pun menyimak percakapan mereka.
"Graha ini tidak berubah. Tapi kita... sudah terlalu jauh berubah, bukan?" ucap Wandarimo, matanya tetap ke depan, nada suaranya tak jelas antara kenangan dan keluhan.
"Bangunan memang dicipta untuk kokoh. Manusia tidak," jawab Solor, jemarinya menyentuh lembut dinding batu putih yang cemerlang—terukir relief anggun yang kini seolah mengamati mereka dalam diam.
Langkah mereka terhenti di depan lorong sisi timur lantai ketiga. Jendela-jendela besar tanpa kaca terbuka lebar, memperlihatkan hamparan langit malam Wulansana.
Cahaya dari lentera-lentera yang terbungkus ukiran batu putih memantul di lantai, menciptakan kilau lembut yang menyapu bayangan mereka berdua.
Bayangan dua tokoh lama, yang kini berdiri di persimpangan takdir.
"Katakan padaku, apa maksud buaya-buaya putih itu!?... Kenapa makhluk yang seharusnya hilang seribu tahun lalu kini muncul seenaknya sendiri!?" tanya Solor, nadanya tegas dan penuh tekanan. Matanya menyorot tajam, tak sekadar bertanya—ia menuntut jawaban.
Wandarimo menanggapi dengan senyum tipis.
"Anda saja tak mempercayaiku... bagaimana aku bisa mengatakannya?"
Solor, tak sabar, menarik lengan Wandarimo.
"Kalau diajak bicara sama orang tua, kamu jangan begitu!!" tegurnya dengan nada tajam.
Wandarimo tersenyum lebih lebar, tak marah, justru seolah menikmati keterkejutan Solor.
"Anda tahu sendiri... alam sudah menunjukkan kedatangannya."
Solor tertegun. Napasnya tercekat.
"Kedatangan siapa...?"
Wandarimo membungkuk perlahan, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Matanya menatap tajam dan mantap.
"Pengembara Bulan Sabit."
Genggaman Solor di lengan Wandarimo makin kuat. Ia tak sanggup menyembunyikan keterkejutannya. Seluruh pemahamannya selama ini seakan runtuh. Benarkah...? Apakah makhluk-makhluk itu bukan sekadar gejala alam, melainkan pertanda akan sesuatu yang jauh lebih besar?
Wandarimo tertawa kecil.
"Haha... lepaskan tangan anda, Tuan. Anda tak akan mengajak bertarung denganku, kan?"
Nada bicaranya ringan, namun ada sorot tahu di balik canda. Ia mengenal Solor terlalu baik—seorang yang bahkan tak tega menyakiti hewan, apalagi sahabat lama.
Solor masih terdiam. Dadanya terasa sesak. Rasa sakit dan kecewa mengimpit dari dalam. Jika Wandarimo benar... maka dunia sedang menuju jurang, dan ia, Solor, belum siap menerima itu.
Bayangan wajah Agniran melintas—wajah dalam mimpi. Lalu Handoko, Joko, para penambang, Randu yang dihukum mati setelah menyelamatkan desa dari longsor, dan makhluk-makhluk gaib yang tak seharusnya muncul. Semua itu berpusing dalam benaknya, berputar liar bagai pusaran angin hitam. Solor berusaha tetap teguh, namun pikirannya mulai retak oleh ketidakpastian dan beban kebenaran yang tak bisa ia tolak.
"Selamat malam, Tuan Solor. Semoga tidur anda nyenyak..." ucap Wandarimo ringan, sebelum perlahan melangkah pergi menuju ruang penginapan khusus tamu di ujung lorong.
Solor berdiri sejenak, mematung di lorong yang senyap. Akhirnya ia pun beranjak menuju kamarnya sendiri. Tapi malam ini... tidur mungkin hanya tinggal harapan. Penasaran, kekhawatiran, dan tanda tanya yang menggumpal belum juga pergi dari benaknya.
Ia hanya bisa berharap, bahwa rapat esok hari akan menjadi awal terbukanya celah—untuk memahami semua yang kini terasa begitu gelap dan mencekam.