Pagi hari menjelma dengan damai di kota yang seolah terukir dari satu tubuh: seluruhnya putih, seluruhnya bersinar. Dari kaki hingga puncaknya, kota ini tersusun layaknya piramida raksasa yang menjulang ke langit, dibangun dari batu putih cemerlang yang memantulkan cahaya mentari seperti kristal hidup. Menara-menara dan bangunan-bangunan tinggi teratur dalam tatanan indah, membentuk siluet arsitektur yang nyaris mustahil diciptakan tangan manusia biasa.
Di puncaknya, berdiri megah Istana Wulansana, menjulang lebih tinggi dari bangunan mana pun di kota. Di sana, sebuah kristal ramalan agung—warisan zaman yang nyaris dilupakan—tertanam di puncak menara utama, bersinar lembut tanpa pernah padam, meski malam berganti ribuan kali.
Tak jauh dari istana, Gedung Graha Penyangga Langit berdiri seperti candi raksasa dari zaman para leluhur, dikelilingi empat tangga besar yang mengarah dari keempat penjuru. Bangunan itu dipenuhi tamu-tamu eksklusif, para utusan dari kota-kota Sanajayan, mengenakan seragam putih kekeemasan yang serupa, tampak mengalir perlahan naik, bak arus manusia menuju pusat langit.
Di antara mereka, seorang gadis muda bernama Samiranah menaiki anak tangga dengan langkah yang anggun dan tegas. Kemben putih keemasannya berkibar lembut diterpa angin pagi, menambah pesona antik pada siluet tubuhnya yang ramping. Ia melangkah melewati para tamu lain yang tertegun melihatnya, namun ia tetap menatap lurus ke depan, menuju lantai para tamu utama.
Tak lama, ia berdiri di depan sebuah pintu kayu coklat muda, mengilap oleh pelitur dan dihiasi ukiran relief menawan. Sebuah papan kecil keemasan tertempel di pintu itu, terukir dalam aksara Jawa halus:
"SOLOR JAYUSMAN"
Ia mengetuk sekali. Dua kali. Tak ada jawaban.
"Paman…?" panggilnya pelan.
Masih hening. Ia mengetuk lagi, lalu mencoba membuka pintu perlahan.
"Lekk…?"
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari dalam.
"Sebentar lagi!"
Samiranah tersenyum kecil, lalu memasuki ruangan. Interiornya mewah namun tidak berlebihan. Gorden putih keemasan menggantung anggun di jendela tinggi. Lentera-lentera batu menyala temaram, memantulkan cahaya hangat ke pot bunga tebu dan ranting-ranting kering yang tertata seperti lukisan alam. Ranjang kayu berukir lebar berada di tengah ruangan, diselimuti lapisan kain dan tirai yang menjuntai seperti kabut pagi di pegunungan.
"Paman… kau di mana?" tanyanya lagi, menengok ke kamar kecil.
"Sebentar lagi!" sahut suara Solor dari balik dinding dalam.
Ia pun duduk di kursi kayu putih di samping ranjang, menghadap pintu, sembari menatap ke luar jendela. Wajahnya tenang, tapi pikirannya sibuk. Rapat besar akan segera dimulai.
"Lekk… buruan. Gongnya akan segera dipukul," teriaknya sambil tetap duduk.
Tak lama kemudian, pintu dalam berderit. Solor muncul—dengan beskap belum tersusun rapi, jarik yang melorot, dan wajah seperti baru bertarung dengan tumpukan pakaian.
"Ya kebetulan kamu ke sini. Aku tak bisa mengenakan centing!" ucapnya kesal sambil mencoba mengencangkan sabuk kainnya.
Dua penata rias memasuki ruangan membawa nampan peralatan dan seragam cadangan. Namun sebelum mereka masuk lebih jauh—
"Oh, biar aku saja," ucap Samiranah cepat. Ia menerima nampan itu dan memberi isyarat halus agar keduanya pergi. Mereka menunduk hormat, lalu meninggalkan ruangan.
Samiranah membuka seragam yang terlipat rapi dan menyampirkannya ke ranjang. Ia menunduk sedikit, lalu mulai merapikan jarik putih kecoklatan dan melilitkannya ke tubuh Solor yang pendek dan kurus, hingga jarik melingkar sempurna di pinggangnya.
"Paman, dengarkan saya baik-baik," ucapnya dengan suara tenang namun penuh keyakinan. Tangannya terus bergerak, cekatan, melilitkan centing ke perut pamannya.
"Aku tahu Paman mungkin sudah letih dengan semua ini... Tapi satu hal tak pernah berubah sejak aku masih remaja—aku percaya pada Paman. Selalu."
Ia berhenti sejenak, menatap ukiran batik emas pada jarik, lalu melanjutkan dengan suara lebih hangat:
"Mereka bilang Paman gagal. Tapi yang kulihat… Paman yang paling sadar akan bahayanya kemenangan semu. Yang lain terlalu sibuk ingin diingat, tapi Paman malah menjaga agar tidak ada yang dilupakan."
"Wandarimo ingin membuka semuanya sekarang. Tapi tidak semua gelap bisa disinari sekaligus. Kita butuh waktu. Kita butuh cara."
Tatapannya menembus, dalam dan jujur. Lilitan centingnya hampir selesai.
"Paman pernah mengajariku bersabar, melihat lebih dalam sebelum bertindak. Jadi sekarang biarkan aku mengingatkan… Jangan biarkan bara jadi cahaya yang membakar. Tolak usulan itu. Bukan karena Wandarimo jahat—tapi karena ia lupa bahwa api juga bisa melukai yang belum siap melihat."
Solor terdiam. Ia menatap keponakannya yang kini bersimpuh di hadapannya. Matanya sedikit basah, tapi bukan karena duka—melainkan karena sesuatu dalam dirinya perlahan dilonggarkan: beban lama yang telah terlalu erat diikat.
"Kau tumbuh terlalu cepat, Niranah…" ucapnya lirih.
"Kadang aku masih berharap kau tetap jadi anak kecil yang mengejar kupu-kupu di taman Wulansana. Tapi kini yang berdiri di hadapanku... adalah seorang kesatria yang lebih jernih dari kebanyakan kita."
Samiranah tersenyum kecil. Ia menunduk sejenak, bukan karena malu, tapi karena tahu bahwa ucapan itu datang dari hati.
"Aku pernah berdiri di tengah gemuruh," lanjut Solor. "Saat aku menang sayembara itu… aku kira dunia akan berubah lewat tanganku. Tapi ternyata, dunia lebih keras kepala dari yang kubayangkan. Dan aku… terlalu takut mengulang luka yang sama."
Ia menoleh ke jendela, menatap jauh ke masa lalu.
"Tapi sekarang… ada kau. Seseorang yang melihat dengan mata bersih, tanpa terburu. Kau seperti pagi tak mendobrak malam, tapi perlahan meredakannya."
"Paman yang mengajariku itu. Bukan dunia," balas Samiranah.
Solor tersenyum.
Lalu anggukannya hadir, tenang, tapi penuh makna. "Baiklah. Aku akan bicara dalam rapat nanti. Aku akan tolak Akik Kumenteng dijadikan hadiah sayembara."
Tatapannya dalam. "Tapi setelah itu… kita harus bersiap. Wandarimo takkan tinggal diam. Dan kalau semua ini akan terbuka, maka yang paling siap… harus berdiri paling depan."
Samiranah mengangguk tegas. Ia menepuk lengan pamannya dengan lembut—hangat, tapi penuh rasa hormat. "Kita sudah terlalu lama berdiri dalam bayang-bayang, Paman. Sekarang saatnya jadi cahaya… walau kecil."
Ia menyelesaikan ikatan centing Solor.
Lalu berdiri dari simpuhnya. "Seandainya waktu lebih lama… saya ingin bicara soal keluarga Lasimun dari Wartojayan. Saya menemukan detail baru—dia adalah ayah Hartoko."
Solor tersenyum pelan. "Berita itu takkan kemana-mana, Niranah. Tapi rapat bisa jadi lebih ribut dari pasar."
Samiranah tertawa kecil. Ia menunduk hormat, lalu melangkah ke pintu. "Saya akan berusaha bicara sejelas mungkin… walau yang mendengar belum tentu mau mendengar."
"Kebenaran kadang tak perlu berteriak," balas Solor sambil mengenakan jas beskapnya. "Kau hanya perlu menyampaikannya—lalu biarkan diam bekerja."
Samiranah berdiri di ambang pintu, memutar kepalanya sebentar.
"Terima kasih, Paman."
Nada suaranya hangat, tulus—tak hanya formalitas. "Apa pun hasil rapat nanti… saya tetap Samiranah yang belajar dari Anda."
Solor mengangguk pelan. "Dan aku tetap Solor yang diam-diam masih belajar darimu."
Ia mengangkat tangan sedikit, seperti melambai.
"Pergilah. Jangan biarkan Wandarimo bicara duluan. Bisa-bisa, ia menyulut petir."Samiranah tertawa pelan, lalu berjalan pergi. Suara langkahnya menyatu dalam gema lorong batu, perlahan menghilang menuju aula utama.