Sebuah ruangan megah yang luas dan membentuk lingkaran sempurna. Dinding-dindingnya terbuat dari batuan putih yang memancarkan kilauan lembut, memantulkan cahaya seperti mutiara di bawah sinar lampu. Pilar-pilar tinggi dengan ukiran geometris dan motif bunga menjulang anggun di setiap sisi, menopang sebuah kubah besar yang melengkung sempurna di atas. Kubah tersebut dihiasi ukiran rumit bergambar langit malam dengan bintang-bintang berlapis emas, menghadirkan suasana yang sakral dan menenangkan.
Di pusat kubah menggantung sebuah lampu gantung raksasa berbahan kristal, yang menyebarkan cahaya keemasan ke seluruh aula. Pancaran sinarnya, meski lembut, mampu menerangi seluruh ruangan, menciptakan atmosfer remang yang elegan dan agung. Cahaya lampu ini memantul pada sebuah kolam air mancur dari batu marmer putih yang terletak tepat di tengah aula, di atas karpet megah dengan corak khas Wulansana. Air mancur itu mengalir halus seperti tetesan kristal, menambah kesan harmoni dan keanggunan di dalam ruangan.
Kursi panggung yang tersusun melingkari kolam telah diatur rapi. Setiap kursi diukir dengan detail dan berlapis kain beludru warna keemasan, memberikan sentuhan keanggunan pada susunan tempat duduk. Di bagian atas aula, sebuah balkon dengan pagar berornamen melingkari ruangan, memberikan ruang bagi tamu undangan dari kalangan tertentu. Bendera panjang berwarna putih, dengan lambang Aliansi Wulansana tampak rapi berkibar anggun dari setiap sisi balkon, memperkuat nuansa kebesaran acara ini.
Ruangan perlahan dipenuhi oleh kehadiran tokoh-tokoh penting dari berbagai kota di Sanajayan. Para mantan Pengembara Bulan Sabit serta para pemimpin Aliansi duduk di tempat masing-masing dengan khidmat, sementara suara pelan percakapan mulai terdengar, seperti dengung lebah yang teratur.
Solor, yang dipandu oleh seorang petugas, berjalan dengan langkah mantap menuju kursinya. Dia mengamati sekeliling ruangan dengan pandangan yang tajam, menyadari betapa pentingnya pertemuan ini. Satu per satu, tamu lain mengikuti, hingga semua kursi mulai terisi dengan tertib. Atmosfer di aula berubah menjadi lebih serius saat jam besar berdentang, menandakan waktu dimulainya acara.
Sebuah gong besar di sisi aula dipukul, mengirimkan suara nyaring yang menggema hingga ke langit-langit. Semua hadirin segera hening, menantikan awal dari pertemuan penting ini—pertemuan yang akan menentukan arah masa depan Sayembara Tujuh Tahunan dan kemungkinan dampak dari benda legendaris yang menjadi inti perdebatan.