Anak Panah

Wutt!!!

Jiang Mei Lan melayangkan tebasan pedang jarak jauh. Angin pedang membelah udara. Serangan itu walaupun sederhana, namun sebenarnya mengandung kekuatan cukup dahsyat.

Siluman harimau biru hitam berkepala dua itu seperti terkejut. Sepasang kepalanya ditarik ke belakang. Kedua kaki depannya mengirimkan kembali serangan yang tidak kalah hebatnya.

Benturan jurus lagi-lagi terjadi.

Tapi untuk yang sekarang, Mei Lan tidak mau membuang waktu dengan percuma. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandangan mata. Sesaat kemudian, dia mendadak muncul tepat di hadapan siluman tersebut.

Satu tusukan pedang dilayangkan oleh Mei Lan tepat ke arah jantungnya. Namun ternyata siluman itu mempunyai kecepatan yang dapat diandalkan. Sebelum tusukan itu tiba, tubuhnya sudah berkelit ke samping.

Serangan Jiang Mei Lan lewat beberapa inci dari tubuhnya.

Siluman harimau itu mungkin berpikir kalau dirinya akan selamat dari kematian. Namun sayangnya dia telah salah menduga.

Sebab tidak tahunya, tusukan yang baru saja dilayangkan oleh Mei Lan hanyalah serangan tipuan. Sedangkan serangan yang sebenarnya justru baru akan diberikan sekarang.

Wutt!!!

Angin dingin berhembus. Hawa kematian menyeruak. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu pedang yang berada pada genggaman gadis itu sudah berhasil menebas salah satu kepala siluman harimau tersebut.

Suara raungan memilukan menggema ke segala penjuru. Siluman harimau tersebut masih berusaha keras untuk membunuh Mei Lan. Sayangnya usaha dia sia-sia. Malah hal itu sama saja dengan mengantarkan nyawa sendiri.

Sebelum serangan terakhirnya tiba, pedang Mei Lan malah sudah menembus dadanya.

Darah segar menyembur dengan deras. Mirip seperti mata air di pegunungan.

Lewat sekejap kemudian, siluman harimau itu telah tewas.

Pertarungan tersebut berjalan dengan singkat. Namun ketegangannya tidak kalah dengan pertarungan-pertarungan tokoh kelas atas yang biasa terjadi dalam dunia persilatan.

Sementara itu, setelah berhasil membunuh siluman harimau biru hitam berkepala dua, Mei Lan langsung menghela nafas panjang. Dia segera mendekati bangkai siluman tersebut lalu segera mengambil mustika siluman yang terdapat di salah satu kepalanya.

Begitu mendapatkan benda yang dia cari, Mei Lan segera pergi dari sana. Gadis itu berniat mencari hewan buruan untuk makan siangnya.

Hutan yang dia tinggali selama ini sangatlah luas. Saking luasnya, bahkan Mei Lan sendiri tidak dapat memastikan berapa jaraknya.

Sekarang gadis cantik itu sedang berada di tengah-tengah hutan. Mei Lan sedang bersembunyi, di depannya, dalam jarak sekitar dua puluh tombak, ada dua ekor kelinci hutan berwarna putih seperti salju.

Kedua kelinci hutan itu sedang makan rumput. Ukuran mereka lumayan besar. Bahkan lebih besar daripada kelinci pada umumnya.

Mei Lan tertarik. Dalam hatinya, dia berpikir bahwa kedua ekor kelinci itu pasti mempunyai daging yang sangat banyak.

Gadis cantik itu kemudian mengeluarkan dua batang pisau dari saku bajunya.

Dia mulai membidik sasaran. Setelah dirasa tepat, dua batang pisau tersebut langsung melesat menembus udara.

Wushh!!! Wushh!!!

Sebenarnya untuk pesilat seperti Mei Lan, jika ingin mendapatkan makanan, bukanlah suatu hal yang sulit. Malah hal itu teramat gampang. Tinggal mengeluarkan kekuatannya, apapun bisa dia dapatkan hanya dalam waktu singkat.

Sayang sekali, gadis tersebut bukan tipe orang seperti itu. Walaupun dia bisa menggunakan kekuatannya untuk mendapatkan segalanya, tapi dia tetap tidak mau melakukannya.

Mei Lan lebih memilih berburu dengan cara biasa. Baginya, hal itu justru malah lebih menarik. Selain bisa meningkatkan konsentrasi, hal tersebut juga bisa membuatnya lebih terlatih.

Di sisi lain, dia pun tidak mau membuang tenaga dalamnya dengan sia-sia.

Jika masih bisa memanfaatkan tenaga luar, lantas untuk apa memanfaatkan tenaga dalam?

Tenaga dalam atau kekuatan yang dia miliki bukan untuk berburu hewan-hewan biasa seperti kelinci hutan itu.

Oleh karena itulah, dari dulu hingga sekarang, kalau ada sesuatu yang masih bisa dilakukan dengan tenaga luar, maka apapun yang terjadi, dia tidak akan menggunakan tenaga dalamnya. Kecuali hanya sedikit.

Dua pisau tersebut sudah mengarah tepat kepada dua ekor kelinci hutan tadi. Tinggal beberapa tombak lagi, dua kelinci itu pasti akan mati oleh pisaunya.

Siapa sangka, ketika jarak pisau dan kelinci tadi tinggal satu tombak, mendadak dari arah lain muncul pula lima batang anak panah yang melesat dengan kecepatan tinggi.

Slebb!!! Slebb!!!

Lima anak panah tersebut berhasil menembus dua ekor kelinci hutan itu lebih dulu. Sedangkan pisau milik Mei Lan, justru gagal mengenai sasaran. Hal tersebut disebabkan karena dua ekor kelinci tadi sudah keburu ambruk ke tanah.

Mei Lan menggertak gigi. Amarahnya sedikit meluap.

"Sialan, siapa yang berani mendahului pisauku?" gumamnya kepada diri sendiri.

Begitu selesai bergumam, tubuh gadis tersebut tiba-tiba meluncur ke depan sana. Pada saat dirinya sampai, tidak berapa lama kemudian dari arah anak panah tadi, terlihat juga ada lima orang yang datang.

Entah siapa mereka itu. Yang jelas, Mei Lan baru pertama kali ini melihatnya.

Kelima orang tersebut merupakan pria. Yang empat orang mengenakan pakaian ringkas. Sedangkan yang satu orang lagi mengenakan pakaian mewah.

Orang itu masih muda. Usianya mungkin sebaya dengan dia sendiri. Wajahnya tampan. Alis matanya berbentuk golok. Tapi sayangnya, sinar mata orang itu memancarkan keangkuhan.

Dia mengenakan pakaian berwarna hijau muda. Tampak terang dan ramai oleh manik-manik. Dilihat dari jauh saja, Mei Lan sudah tahu bahwa pakaian tersebut pasti berbahan kain sutera.

Kelima orang tersebut berjalan beriringan ke arahnya.

"Apakah lima anak panah ini adalah milikmu?" tanya Mei Lan begitu mereka berhenti di dekatnya.

"Benar," jawab pemuda tersebut.

"Kenapa kau membunuh dua ekor kelinci ini?"

"Karena aku ingin,"

"Ternyata kau tidak mempunyai perasaan," kata Mei Lan dengan nada dingin.

Pemuda tersebut mengerutkan kening. Dia tidak mengerti dengan ucapan gadis cantik di hadapannya itu.

"Lalu, apakah dua batang pisau itu adalah milikmu?" tanya balik pemuda tersebut.

"Benar," jawab Mei Lan sambil menganggukkan kepala.

"Kalau begitu, maka kau pun sama sepertiku. Tidak mempunyai perasaan," ucapnya sambil menarik muka.

"Aku beda lagi,"

"Kenapa bisa begitu?"

"Aku membunuh dua kelinci ini untuk dimakan. Sedangkan kau membunuhnya hanya karena ingin,"

"Tapi bukankah masih sama-sama membunuh?"

"Memang benar. Tapi aku membunuh mereka untuk dimanfaatkan kembali. Sedangkan kau? Apakah kau juga akan memanfaatkan mereka? Kalau tidak, bukankah kematian dua ekor kelinci ini hanya sia-sia saja?"

Mei Lan mulai marah. Dia paling tidak suka terhadap tipe orang seperti pemuda di hadapannya saat ini.

"Kenapa kau jadi marah? Bukankah yang mati hanya dua ekor kelinci tak berguna?" si pemuda juga mulai marah. Dia merasa tidak terima dengan ucapan Mei Lan.

"Tentu aku akan marah. Karena aku paling benci terhadap orang sepertimu. Kau tidak mempunyai perasaan, kau pun tidak menghargai kehidupan, sekali pun itu kepada binatang,"

Mei Lan hidup sebatang kara. Terhadap segala macam sesuatu, dia selalu berusaha untuk menghargainya. Sekali pun itu hanya terhadap binatang saja.

Selama ini, belum pernah dia melakukan suatu hal jika tidak ada alasan yang kuat. Setiap apa yang dilakukan olehnya, pasti mempunyai suatu alasan kuat.

Oleh karena itulah, ketika tadi dirinya mendengar alasan pemuda itu, maka amarahnya langsung berkobar.