Seiring berjalannya waktu lama-kelamaan Adri pun mengubah sikap dengan tidak mau ambil pusing terhadap teman-teman sekelas. Cuek. Rasanya lebih baik jika ia membiarkan saja mereka dengan ulahnya. Ia jadi cenderung pendiam dan mulai menerima keadaan apa adanya. Ia yang bosan mengeluh, perlahan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Cara ini cukup efektif karena dampaknya, melakukan tugas sendirian kini tak lagi ia anggap menyedihkan. Tak memiliki banyak teman tak membuatnya larut dalam duka. Ia malah menikmati keterkucilannya karena dengan sedikitnya bersosialisasi hal itu membuat dirinya memiliki lebih banyak waktu untuk belajar lebih giat demi mengejar ketertinggalannya.
Sifat gigih, yang umum melebur pada darah seorang perantau, tergambar dalam karya nyatanya sehari-hari.
Dan kegigihannya belajar memang membuahkan hasil. Kendati tidak mencapai level siswa terpintar atau terjago, mata pelajaran utama dalam waktu tiga-empat bulan dengan cepat ia kuasai. Secara perlahan stigma dirinya sebagai siswa kampung yang bodoh pun mulai memudar karena ia juga suka dan siap mempelajari hal-hal baru. Sadar bahwa ilmu-ilmu praktis akan membantunya ketika kembali ke kampung halaman, Adri mempelajari banyak hal baru. Apa yang dipandang sebelah mata oleh siswa lainnya seperti merancang panel surya, membuat aquaponik, hingga desain grafis, perlahan ia geluti.
Adri juga memiliki kelebihan lain. Ia ternyata jago di dua pelajaran ekskul yaitu renang dan musik gitar. Dua hal itu rupanya sudah menjadi bakatnya dan sudah lama pula ia kuasai karena terpicu kondisi geografis di kampungnya yang amat lekat dengan alam dan kental pula dengan budaya musik dan menyanyi.
Dan itu belum semua.
Yang mengalami improvement alias meningkat ternyata tak hanya intelektualitas dan talentanya. Paparan gelombang energi dan radiasi sinar matahari selama setahun terakhir intensitasnya sepertinya terdistorsi sedemikian rupa di lapisan Ozon pada atmosfir di atas langit Jakarta. Terpicu fenomena alam La-Nina, paparan panas gelombang berintensitas ultra violet tadi jatuh ke permukaan epidermis wajah Adri sehingga berefek pada pengkoksidasian yang cenderung bergerak ke kwadran yang lebih positif.
In other words alias dalam bahasa sehari-hari: wajah Adri sekarang berubah menjadi... tampan.
Betul sekali, seperti tadi dikatakan di atas, wajah Adri masih di bawah Arjun atau Nathan. Namun momen ketika ia didaulat paksa untuk tampil langsung di ajang Creative Event sekolah benar-benar menjadi game changer. Mengubah segalanya. Penampilan Adri itu dahsyat. Ia memang tak pernah mendengar lagu-lagu yang lagi trend di kalangan rekan-rekan sekolah. Tapi itu tak menutup kehebatannya ketika melantunkan tembang yang nyaris tak pernah terdengar banyak orang namun ia sangat kuasai. Lagu kesukaannya, Redeemer dari Nicole C. Mullen, yang dinyanyikan sepenuh jiwa dibarengi karakteristik suaranya yang bertenaga, menciptakan standing ovation terlama yang pernah ada selama event digelar.
Perlahan, Adri alias Si Bopung alias Si Tarzan yang katro' mulai mencuri perhatian. Sementara Arjun, yang sama sekali tak menyangka bahwa Adri piawai mendentingkan senar gitar dan memiliki olah vokal dahsyat kini larut dalam penyesalan. Ya, penyesalan karena kebodohannya meminjamkan gitar akustik ekslusif miliknya kepada Adri. Dan yang lebih parah, Arjun pulalah yang memberi kesempatan bagi bocah kampung itu untuk tampil di panggung secara mendadak! Arjun kecele. Berpikir bahwa ulahnya akan menjebak dan mempermalukan Adri tapi yang terjadi malah membuat bocah kampung itu mulai menuai pujian dan apresiasi.
Sebuah peristiwa lain membuat semakin banyak orang menolehkan kepala kepada Adri.
Tak selang dua bulan setelah momen Creative Event peristiwa lain terjadi lagi. Ketika itu seluruh siswa kelas 11 IPA dan IPS mengadakan acara live-in di Yogya. Acara tinggal di pedesaan yang seharusnya seru berubah menakutkan ketika siswa-siswinya banyak yang kerasukan. Uniknya, Adri bukan cuma tak terkena hal yang sama. Ia justeru jadi orang yang banyak membantu ketika rekan-rekannya disadarkan kembali. Entah kenapa, setan seolah takut menyenggol dirinya.
Dua peristiwa tadi membuat Adri mulai mendapat semakin banyak pertemanan. Pada akhirnya keluguan dan kejanggalan Adri dalam berbicara dan bertingkahlaku malah mulai dianggap sebagai keunikan tersendiri alias tak lagi dianggap sebagai tabiat yang harus dijauhi. Tentu, masih ada yang tetap antipasti padanya dan sudah pasti itu dilakukan Arjun atau anteknya.
Adri makin mencuri perhatian dari banyak orang. Tapi, ia tak peduli. Setahun lebih di-bully membuatnya enggan mengakrabi seorang pun di kelasnya. Ia bukan introvert dan itu bisa dibuktikan dengan banyaknya teman Adri tapi dari kelas lain, termasuk dari adik-adik kelas SD atau SMP yang kebetulan satu gedung dengan SMA-nya. Ke-introvert-annya terbentuk hanya dalam hal kaitannya dengan orang-orang yang sekelas dengannya.
*
Dan sekarang, mari kita kembali ke apa yang terjadi pasca Adri terciduk berada di atas meja oleh ibu Sissy.
“Shit!”
Pekik yang keluar dari mulut Dessy itu mengagetkan Adri. Dessy mendelik marah pada Adri yang saat itu sedang membawa ember yang penuh berisi air. Air itu akan digunakan Adri untuk membersihkan meja-meja yang kotor karena ulahnya dan Arjun. Ini memang bagian dari pendisiplinan yang Adri mau terima secara legowo.
“Shit kenapa?”
“Elo ngerjain gue ya?”
Adri menggeleng cepat.
Dessy yang tak percaya kembali berteriak. “Bohong! Matanya di mana sih? Elo sengaja numpahin air di ember ke gue kan? Hayo ngaku.”
Ohhh itu yang jadi penyebab kemarahannya.
Adri kembali menggeleng. “Kita bawa ember tujuannya for, eh… untuk membersihinkan meja di kelas.”
“Ngomong aja gak becus,” ucapan Dessy terdengar ketus. “Elo mau bersihin meja gara-gara elo tadi lari-lari di atasnya kan? Elo dendam sama Arjun tapi kenapa sepatu gue yang disirem?”
“Nyanda sengaja kita.”
“Nggak sengaja? Ah, tukang bo’ong! Elo sengaja bikin supaya kita senggolan di muka pintu, abis itu elo numpahin air ke gue karena lu dendam. Gitu kan? Teknik basi!”
“Tadi kita so masuk duluan tapi kamu memaksa untuk menyusul. Akibatnya kita berdua baku senggol dan air di ember jadi tumpah sedikit ke kamu.”
“Sedikit?” Dessy makin meradang. “Pale lu peyang!”
Adri tak mengerti istilah yang terakhir diucapkan. Tapi melihat mimik muka gadis cantik tapi judes minta ampun seperti tadi, jelaslah bahwa itu pasti istilah yang bertendensi merendahkan. Ugh. Adri yang capek meladeni omelan Dessy lantas masuk ke dalam kelas dan langsung membersihkan meja pertama yang kotor karena bekas injakan-injakan sepatu. Dessy sendiri tidak jadi masuk dan memilih untuk duduk di salah satu bangku panjang di koridor. Ia mengeluarkan sebungkus plastik berisi kertas tisyu dari kantong roknya dan mulai mengeringkan rok dan sepatunya yang tadi sempat tersiram.
Saat merasa sudah agak kering, Dessy bangkit dari bangku. Ketika hendak memasuki kelas, ia baru tersadar bahwa ada Monique di dekat pintu yang tengah melihati sesuatu di dalam kelas.
“Ngintip siapa lu?”
“Si Bopung,” jawab Monique setelah sedetik melihat ke arah Dessy. “Kesian dia.”
“Kesian ‘napa?”