Dengan buku yang kebetulan dibawa, Monique menunjuk ke suatu arah. Dessy mengikuti arah yang dimaksud. Mata cenderung sipit bak elang miliknya segera menangkap bayangan Adri yang tengah membersihkan permukaan salah satu meja dengan lap. Selepas membersihkan satu meja, ia mencelup lap ke ember penuh busa yang ia letakkan di lantai lalu membersihkan meja lainnya.
“Sukurin! Didisiplin Mak Lampir dengan cara ngebersihin meja sekelas.” Suara Dessy terdengar gemas. “Ada bagusnya sih. Dia kan sering didisiplin dengan cara ngehormat bendera. Nah kali ini boleh dong caranya agak beda sendiri.”
Monique menoleh. “Elo gak kesian liat dia, Des?”
Pertanyaan itu dijawab dengan intonasi Dessy yang meninggi. “Nggak tuh. Dia tadi ngerjain gue. Sepatu gue kesirem air dari embernya itu gara-gara senggolan di pintu.”
“Dia nggak sengaja kali,” cetus Monique sembari mengebas dengan bukunya.
“Gak mungkin. Tuh anak tampangnya mungkin rada innocent. Tapi hatinya busuk. Minggu lalu juga dia sukses tuh ngerjain gue.”
Monique melihati Dessy dengan tatap menyelidik. “Si bopung bikin dosa apaan lagi?”
“Minggu lalu gue hampir kelelep gara-gara mendadak dia nyebur di deket gue. Gue yang belum lancar berenang jadi panik. Untung gue bisa buru-buru pegangan ke pinggir kolam.”
Monique merenung sesaat. “OK. Tapi buat yang kasus hari ini, kan yang cari gara-gara Si Arjun, cowok elo. Hasil ulangan biologi Adri disamber Si Arjun buat liat-liat isinya. Kalo digituin dan Si Adri jadi jengkel, gue bilang sih wajar.”
Dessy terdiam.
“Elo udah tanya ke Arjun kenapa sampe kepo kayak gitu?”
Pertanyaan itu tak disangka malah dijawab Dessy dengan diawali tawa kecil. “Udah.”
Monique kini terheran. “Kenapa ketawa?”
Sambil tersenyum-senyum, Dessy menggamit lengan Monique untuk sedikit menjauh. “Si Adri emang bopung banget. Bener-bener katro' abis. Kampungan. Tulalit lagi!”
“Katro' kenapa? Tulalit kenapa?”
Di tengah senyum-senyum kecilnya Dessy mengambil ancang-ancang untuk berbicara.
“Begini… waktu tadi pagi itu kan dibagiin hasil ulangan Biologi dua hari lalu,” Dessy mulai bercerita. “Nah, Si Arjun sempat liat kertas ulangan Si Adri secara sekilas. Tapi dia jadi kepo, penasaran, soalnya di lembar jawaban Si Bopung koq ada gambar kartun.”
“Gambar kartun?”
“Arjun buru-buru nyamber kertas ulangan itu. Nah dari situ baru dia ngeh kenapa Si Bopung bisa ngegambar kartun segala. Tau nggak, gambar itu rupanya jawaban essay Si Bopung dari pertanyaan terakhir. Mungkin gara-gara sebel karena Mak Lampir sentimen melulu sama dia, Si Bopung ngejawabnya asal aja.” Ucapan Dessy terhenti sejenak. “Elo masih inget pertanyaan terakhir ulangan Biologi dua hari lalu?”
“Inget lah,” Monique mengangguk mantap. “Pertanyaannya kan supaya digambarkan perjalanan ovum alias sel telur dari Ovarium ke Tube Falopi.”
“Naaah karena pertanyaannya minta digambarkan, eh tau gak, Si Bopung itu malah bener-bener ngegambar kayak anak TK ikut lomba mewarnai.”
“Haaaah? Plis don du dis et hom.”
“Emang iya. Tapi gue duga dia iseng gitu karena gak suka sama Mak Lampir. Mangkelnya udah sampe ke ubun-ubun. Buktinya, semua soal lain yang dijawab serius ternyata betul semua.”
“Dia gambar gimana sih?”
Tanpa diminta Dessy menyambar buku di tangan Monique dan pulpen di saku bajunya sendiri. Ia lantas menggambar sesuatu di halaman belakang buku.
“Ovum-nya digambar seperti telor ayam dengan dua kaki. Posisinya sedang jalan santai kaya’ gini,” Monique melihati ketika Dessy menggambar telur berkaki di atas kertas. “Di cangkangnya ditulis ‘Ovum.’ Gitu.”
Monique terperanjat. “Ebuset. Terus?”
“Udah gitu digambar lagi dua papan petunjuk,” Dessy kembali menggambar. “Yang satu ngarah ke belakang ovum dengan tulisan Ovarium. Yang satu ngarah ke depan ovum dengan tulisan Tube Falopi.”
“Ya olohhhh,” Monique melotot dan takjub melihat rekayasa gambar bikinan Dessy yang terpampang di depannya. “Jadi begini nih gambaran perjalanan ovum dari Ovarium ke Tube Falopi versi bocah kampung itu?!”
*
Kantin hanya terisi sedikit orang ketika Adri datang dan memesan makan siangnya pada pemilik kantin. Ucapannya hanya seperlunya sebelum kemudian ia duduk menyendiri di pojok ruangan untuk menunggu makanannya disiapkan.
“Makan apa, Dri?” Seseorang berinisiatif bertanya.
Adri menoleh dan melihat salah seorang teman sekelas yang duduk semeja dengan tiga teman lain.
“Ikan tongkol.”
“Ikan tongkol kalo udah lama dibikin dia bisa alot lho. Yakin elo mau pesan itu?”
Sebuah senyum kecil, kecut dan terpaksa dikeluarkan Adri. Ia mengangguk dan kemudian kembali duduk terpekur di bangkunya. Sebelumnya ia suka menunggu sesuatu sambil memainkan ponsel. Tapi kondisi layar tonjok – karena sudah tak pantas lagi disebut layar sentuh – sudah semakin parah. Ini akibatnya waktu menunggu hanya ia gunakan untuk berdiam diri.
Melihat Adri terlihat malas menjawab, orang itu masih berusaha mengajak Adri bicara. Hanya saja, tanggapannya tetap dingin. Mulanya ia berpikir topik mengenai musik dan olah vokal akan sangat membangkitkan minat anak itu karena di dua hal tadi bakat Adri memang teramat menonjol. Sudah semakin banyak orang yang mengagumi. Tapi nyatanya Adri tetap tidak antusias menanggapi.
Sekilas ini membangun imej bahwa Adri seorang yang sombong. Tapi mereka berempat yang sudah tahu latar belakang Adri memaklumi. Sudah terlalu sering dan banyak Adri mengalami perundungan dimana mereka termasuk juga di dalamnya. Jadi ketika mereka bertanya dan tanggapan Adri begitu dinginnya, mereka maklum. Mereka sadar mereka pantas tidak dianggap sebagai sahabat oleh Adri. Ada rasa bersalah dalam diri mereka karena telah beberapa kali mengerjai Adri di masa lalu.
Berteman dengan Adri sepertinya bukan hal sulit. Yang sulit adalah ketika ia bersedia menganggap orang itu sebagai sahabatnya. Dan itu tercermin dari sikap Adri saat makan siang sendirian sambil mojok. Ia memesan makanan secepatnya, menyantap secepatnya, dan pergi secepatnya, tanpa perlu pamit pada rekan-rekannya di sana.
*
Sudah hampir seminggu ini Kadir tidak bekerja. Pengemudi ini yang ditunjuk khusus untuk mengantar dan menjemput Dessy tengah pulang kampung untuk mengurus anaknya yang sakit. Dan selama ketidakhadiran orang itu, Dessy pergi dan pulang sekolah dengan menumpang taksi. Itu awalnya. Belakangan karena merasa kurang aman ia berubah pikiran dan memutuskan untuk ikut mobil khusus antar jemput siswa sekolah. Dessy berharap pria yang sudah belasan tahun mengemudi itu bisa kembali dalam beberapa hari ke depan agar ia tidak terlalu lama ikut mobil antar-jemput sekolah. Menaiki mobil semacam itu baginya terasa kurang nyaman karena ini artinya dia harus berdesakan bersama-sama siswa lain ketika diantar maupun dijemput.
Sebetulnya ada alternatif lain. Arjun sebagai kekasihnya sangat siap untuk mengantar atau menjemput. Masalahnya, mobil kabin-ganda berpenggerak empat roda miliknya tengah dirawat di bengkel gara-gara ia mengalami kecelakaan yang melekukkan kap depan saat Arjun kebut-kebutan dengan sebuah angkutan kota. Dessy tak bisa membayangkan hal itu - kebut-kebutan dengan sebuah kendaraan angkot! Efeknya adalah kendaraan Arjun kemudian harus menginap seminggu lebih di bengkel langganan mereka.