Susu (Si) Murni

"Tadi Elroy belajar tentang Pasteurisasi. Memangnya susu yang sehat itu yang seperti apa sih, Kak?"

“Oh itu.” Yakin bahwa jawabannya tak akan menyakiti cewek ceriwis di belakangnya, Adri kemudian mencoba menjawab dengan mantap. Didahului deheman kecil ia lantas mulai menjawab pertanyaan adik kelasnya tadi.

"Susu sehat itu tentu saja susu murni. Susu murni sangat..."

Ctar!

Adri memekik ketika tengkuk terasa tersengat disertai rasa perih. Dengan spontan ia memegangi tengkuk sembari menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi. Seperti yang ia duga, Dessy pelakunya. Gadis itu tengah menatapnya galak sambil memegangi penggaris plastik yang rupanya ia telah keluarkan dari tasnya.

"Syukurin! Rasain! Ngapain sih nyebut-nyebut susu murni segala!"

Di tengah deraan rasa perih, sejuta kata protes Adri urung terlontar. Adri mendadak menyadari satu hal mengenai Dessy.

Nama tengah gadis itu: Murni.

"Kak Adri, kak Adri."

"Diaaam!"

*

Jam dinding baru berdenting tujuh kali ketika Dessy turun dari kamarnya di lantai dua. Di bawah tangga, Ibu Dessy melihati puterinya dengan mata membelalak.

“What, Mom?”

“Kamu mau pergi?”

“Iya,” jawabnya setiba di lantai dasar. “Temen Dessy udah nunggu di depan rumah tuh.”

Wanita itu terdiam beberapa saat. “Mmm, cuma koq baju kamu koq makin kebuka-buka? Kamu nggak takut jadi masuk angin atau...”

“Risih?” tukas Dessy cepat.

Dan sebelum ia berujar lebih lanjut, Dessy sudah langsung nyerocos. “Mama koq masih gitu seeeeh. Mama sering ke mal, sering ikut resepsi nikah, acara ini-itu. Masa’ masih belum ngeh mana pakaian yang lagi nge-trend atau bukan? Atau Mama inginnya Dessy pake kebaya atau jas lab?”

“Nggak segitunya lah. Kamu boleh pergi dengan pakaian yang kamu suka. Tapppiii,” katanya ragu, “mama nilai... hot pant kamu kependekan. Terus, kenapa suka banget pake kaos tanpa lengan sih?”

“Apa salahnya?” tanya Dessy dengan intonasi datar sembari menghempas tubuh di sofa.

Sang mama terdiam dan segera sadar bahwa percuma bersikukuh agar puterinya mengikuti kemauannya. Dessy bangkit dan mendekat hingga persis di depan wanita itu.

“Nggak ada yang salah kan?”

Tanpa menjawab wanita separuh baya itu malah mengajukan pertanyaan lain. “Kamu mau dinner? Sama siapa?”

“Sama Monique.”

“Cuma Monique aja, Nak?”

“Aurel ikut. Fitri sama Andien juga.”

“Cuma mereka?”

Dessy menghembus nafas kesal. “Dengan cowok kami masing-masing juga.”

Ibu Dessy mengangguk-angguk. Bukan menyetujui tapi entah ia bingung harus bersikap apa.

“Diijinin pergi apa nggak nih?”

Sesosok lain tiba-tiba muncul di ruang yang sama. “Pasti diijinin dong. Masa’ anak Papa dilarang bergaul.”

Keduanya menoleh ke sumber suara. Ke arah dimana seorang pria empat puluhan tahun mendekati mereka berdua dan duduk di sandaran sofa kedua.

“Papa nggak ngelarang kamu pergi makan malam. Dan Papa yakin, Mama juga begitu. Kami percaya kamu bisa jaga diri,” ucapnya tenang. “Kamu dan teman-teman mau kemana sih?”

“Makan malamnya di mall Senayan. Sekalian mau ganti ponsel.”

“Terus? Sehabis itu kamu langsung pulang?”

“Mama ini! Nggak suka Dessy ngabisin waktu sama temen-temen ya? Kami rencananya sehabis dinner itu mau ke eXist ‘bentar. Gak lama koq. Paling sejam hangout-nya.”

“Dugem?” Ibu Dessy menanggapi dengan ekstra hati-hati. “Minggu lalu kamu janji hangout sejam, nyatanya tiga jam lho.”

Melihat Dessy terlihat mulai marah, ayah Dessy buru-buru berkomentar menyampaikan tanggapannya. “Sudahlah, Ma. Biarin aja.”

“Tapi Dessy dijemput ke sekolah pagi-pagi benar lho, Pa. Jangan gara-gara pulang kemalaman Dessy jadi bangun kesiangan dan tidak siap waktu dijemput. Dessy harus belajar bertanggungjawab.”

Dessy menggeleng. “Besok pagi Dessy dijemput sama Monique. Dia bawa mobil sendiri.”

“Kamu nggak ikut mobil antar jemput?”

“Cuma untuk beberapa hari aja soalnya ada orang kampung yang jadi biang kerok,” jawabnya kesal. “Jadi gimana? Diijinin apa nggak nih hangout-nya?”

“Papa sih nggak keberatan.”

Mata Dessy berbinar.

“Yang penting...”

Ibu Dessy mendengar dengan seksama ucapan yang terputus tadi. Ia berharap ada resistensi dari suaminya untuk mencegah Dessy pergi malam itu. Tapi harapannya sia-sia ketika mendengar kelanjutan ucapan ternyata tak seperti yang ia harapkan.

“Yang penting uang jajan kamu masih cukup. Uang yang Papa kasih tiga hari lalu masih nyisa?”

“Masih banget, Pa.”

Suara klakson mobil terdengar dari depan rumah. Dessy dengan lincah mencium pipi kiri dan kanan kedua orangtuanya sebelum kemudian melangkah pergi ke arah teras sambil meraih tas Chanel miliknya. Ibu Dessy menatap hampa. Saat tubuh puterinya hilang di balik pintu, pikirannya sesaat menerawang.

Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya bergulat dalam pemikiran sang ibu. Saat menatap kepergian puterinya, dalam keheningan, nuraninya sebetulnya tengah berteriak. Memberikan peringatan bahwa ia dan suaminya telah gagal menanamkan nilai-nilai kepantasan yang pernah ia junjung dahulu saat seumur puterinya. Dibombardir nyaris tanpa henti oleh arus informasi yang mayoritas patut dipertanyakan kepatutannya, ia melihat perubahan perangai puterinya. Saat masa kekanakan dengan berbagai dunia boneka telah Dessy tinggalkan, tantangan berikutnya yakni masa pencarian diri sebagai remaja menjelang sudah.

Di sini, di tahun 2010, Internet, gawai, ponsel 3G mungkin membuat seseorang semakin mudah berkomunikasi. Namun di lain pihak ia juga mencipta gap yang menganga makin lebar. Membuat jarak yang, dalam kasus Dessy, membuat gadis itu semakin asyik tenggelam dalam pusaran ilusi yang dibuatnya sendiri. Membuatnya melupakan bahwa kedua orangtuanya masih sangat rindu untuk mereka bertiga merajut waktu dalam kebersamaan.

Ditimpali perbaikan kehidupan ekonomi akibat keberhasilan bisnis yang dikelola suami yang berada di jajaran top level management sebuah perusahaan manufaktur satelit, Dessy perlahan namun pasti bertumbuh menjadi gadis yang berbeda dari yang ia harapkan. Ia cerdas, luwes bergaul, dan memiliki banyak kelebihan fisik. Namun, ia menilai Dessy mengkhawatirkan.

Perilaku darah-dagingnya itu sudah mulai sulit untuk dikendalikan. Seiring dengan perkembangan hormon remajanya yang bergolak, sebagai ibu ia kini kerap merasa jengah. Jengah melihat cara Dessy dan teman-teman sekolahnya berbusana. Pakaian serba ketat dan terbuka seolah menjadi menu di tiap latihan. Ia jengah pula melihat materi pembicaraan puterinya yang tak jauh dari soal lawan jenis, selebriti, mode. Tak terbendung pula nilai-nilai yang tersisip dalam film-film yang ia tonton. Nilai-nilai liberal, hedonis, pemberontakan terhadap kemapanan menjadi jargon tiap hari. Tersaji dalam berbagai rupa termasuk media sosial, musik, film, aplikasi, dan aneka produk internet lain yang makin gencar merasuk melalui laptop maupun ponsel puterinya.

Dulu ia percaya bahwa sikap itu hanya akan berlangsung sementara yang terjadi semata-mata karena perubahan hormon. Itu sebabnya ia hampir-hampir tidak pernah mendisiplin Dessy – senakal apa pun anak itu berulah. Ia berharap waktunya tiba ketika Dessy menjadi puteri yang taat pada orangtua, santun, berani memikul tanggungjawab.

Tapi setelah satu dekade berlangsung ia kecewa perubahan semacam itu tak juga terjadi. Ia merenung lebih jauh. Mungkinkah ia harus menunggu lebih lama lagi? Atau jangan-jangan situasi sudah nyaris terlambat dan terlalu sulit berubah?

*