Permen

Sebuah mobil kategori citycar meluncur deras membelah kabut pagi yang, tidak seperti biasa, pekat mendominasi sebuah jalan kompleks perumahan. Mesinnya menderum pelan menjelang tiba di sebuah persimpangan. Sesaat setelah berbelok dan berada di jalan raya, mesin mobil sedikit bergemuruh ketika dipacu pada kecepatan yang lebih tinggi. Decit suara ban membahana di tengah suasana yang masih agak sepi.

“Woy, mau ngebut nih?” Dessy memprotes pada Monique yang menyetir.

Sambil memasukkan tuas persneling, Monique melingkarkan mata. “Hadeuhhh, lari 70 aja dibilang cepet. Gimana kalo nanti gue tancep lari kecepatan 120 di boulevard.”

“Ebuset. Jangan sembarangan lu ya. Gue gak mau mati konyol.”

“Nebeng aja bawel lu ah.”

Biar pun nebeng, kan gue yang katanya nanti bayarin bensin. Mana elo mintanya Pertamax lagi!”

“O iya ya.”

Monique tersadar dan spontan terkikik, diikuti Dessy. Mobil kemudian berjalan dengan kecepatan normal dan mereka berdua memperbincangkan beberapa hal selama setengah jam berikutnya.

Tak jauh dari tempat itu, di sebuah halte bis Trans Jakarta, dua orang pria keluar dari sebuah bis yang berhenti persis di samping pintu halte. Salah seorang diantara mereka duduk di atas kursi roda dan didorong orang kedua. Baru saja tiba di halte, sebuah dering telpon terdengar cukup kencang dari balik celana pria yang yang mendorong kursi roda.

“Sebentar ya, Mas.”

Pria yang duduk di atas kursi roda menyilahkan. Si pria penolong, Adri, menyingkir sedikit menjauhi rekannya demi mendapat sinyal komunikasi yang lebih baik.

Saat menerima telpon itulah, dalam antrian lalu lintas yang terhenti karena lampu lalu lintas menyala merah, sebuah mobil berhenti tak jauh dari halte. Di dalam kabin mobil, Dessy yang memperbarui status Facebook di ponselnya mendadak dicolek Monique.

“Lah, itu Si Tarzan ngapain di sono?”

Dessy mengikuti arah pandangan Monique. Benar saja, ia melihat Adri yang tengah menelpon dengan ponsel miliknya.

“Si anak katro' itu ngapain di sono?”

Monique tak segera menjawab. Dessy masih terus melihati Adri yang masih menelpon di halte. “Sekolah kan masih dua kilometer lagi. Kenapa tuh bocah turun di halte Jamblang? Kalo dia turun di halte berikutnya, di halte Sawo, kan dia cuma perlu jalan sedikit. Iya nggak, Mon?”

“Bener juga,” kening Monique mengerenyit. “Dua minggu lalu gue juga liat tu anak turun di halte ini. Kalo ngulang lagi, masa’ gak ngerti-ngerti sih kalo turun di sini bakal lebih jauh jalannya ke sekolah?”

“Nggak heran lah, Mon. Tuh anak juga begonya over dosis, tau? Jadi sering amnesia ketika udah nggak lagi di habitatnya di hutan,” jawabnya sarkastis.

“Kecuali kalo emang dia sengaja, Des. Kali aja dia turun begitu karena ada perlunya.”

“Tau deh. Setau gue dia itu bego. Apa elo pernah denger kalo dia pernah gak naik kelas?”

“Waktu di SD kan? Iya, gue tau sendiri dari Farel. Tapi di UTS terakhir Kimia dan Biologi dia dapet 8.”

“Paling itu cuma kebetulan.”

Jalan raya kembali lancar. Sambil mulai menepikan kendaraan Monique kemudian bertanya. “Kita ajak dia yuk?”

Dessy menggeleng cepat sembari mengebas tangan. "Nggak usah, nggak usah."

“Kenapa nggak mau, Sy?”

“Gue nggak suka.”

“Tapi...”

“Elo boleh pilih. Gue yang nebeng atau dia yang nebeng. Gue nggak sudi semobil sama Homo Sapiens.”

“Tapi….”

“Tapi apa?”

“Sekarang banyak penculikan lho.”

Dessy menepuk jidat. “Monique sayang, yang diculik tuh dimana-mana orang kaya. Bukan orangutan!”

*

“Ngana?"

"Kamu."

"Torang?"

"Kita."

"Dia pe hati?”

“Hati dia.”

“Baku sayang? Baku polo? Baku ciong?”

“Kamu belajar bahasa Manado buat apa sih?”

Farel tersenyum malu. "Ini buat pendekatan ke gebetan."

Adri tersenyum kecil. Farel dari dulu memang tertarik pada seorang adik kelas yang kebetulan satu daerah dengan Adri, dari Manado.

“Ini ongkos les gue,” Farel menawarkan sebungkus roti kepada Adri yang langsung disambut dengan bahagia. Roti bertabur abon memang adalah roti kesukaannya.

“Untung nyanda semua orang di kelas ini bersikap seperti Arjun,” cetusnya yang masih sering selip kata menggunakan bahasa daerah ke padanan bahasa Indonesia.

Mendengar nama Arjun disebut, Dessy yang duduk berselisih dua meja, jadi tertarik untuk diam-diam mendengar dialog keduanya. Pikirnya, jika Si Bopung menjelek-jelekkan ia siap membenturkan dengan Arjun dan gang-nya.

Tak lama terdengar desak-desik plastik di antara mereka berdua.

“Terima kasih, Teman. Rotinya enak.”

Setelah beberapa detik yang sepertinya Adri baru melakukan gigitan pertama, Farel berkata lagi. “Lumayan buat ngurangin rasa laper kan?”

Tak terdengar jawaban. Sepertinya Adri hanya menjawab dengan anggukan. Sambil berpura-pura menulis sesuatu Dessy terus menguping. Uh, ia tak sabar mengadukan Si Tarzan yang katro' itu ke Arjun kalau ia menjelek-jelekkan kekasihnya.

“Roti ini mengurangin rasa lapar, mengurangin rasa jengkel.”

“Mengurangi,” Farel memperbaiki ucapan temannya. “Bahasa gaulnya: ngurangin.”

Terdengar kursi berderit. Dessy menduga itu suara bangku yang diduduki Farel ketika bergeser untuk ia berbincang lebih dekat kepada Adri. “Hidup di kota besar ya emang kaya’ gini, Dri. Gue masih inget curhatan elo tempo hari.”

Farel masih melanjutkan ucapannya. Kali ini dengan berbisik. “Elo musti bertahan seberat apapun tantangannya. Masa’ elo di Jakarta nggak sampe setahun?”

Terdengar jawaban Adri. “Kita nyanda segan mengambil langkah drastis seperti itu jika dianggap perlu. Jakarta sepertinya nyanda, eh… tidak cocok untuk kita, Teman.”

Sambil mengeluarkan sekotak permen Chicklet dari kantong tasnya, Dessy terkesiap. Terkaget karena di balik sikap yang umumnya diam, Adri ternyata mulai tidak betah bersekolah di tempat itu.

“Pssst! Pssst!” terdengar lagi suara Farel memanggil Adri. “Kamu nggak dendam kan sama Si Arjun?”

“Nyanda tahu. Seminggu ini kita so dua kali disakiti.”

“Kamu sudah dua kali disakiti?” Farel menatap tak percaya. Akibat banyak mengobrol dengan Adri lambat-laun akhirnya ia makin bisa menangkap makna kalimatnya.

“Iyo, eh iya. Dan peristiwa itu sangat me-meee…” kening Adri berkerut ketika berusaha mencari padanan kata paling tepat.

“Menakutkan?”

“Bukan.”

“Membahagiakan?”

“Bukan.”

“Mengagetkan? Mengharukan? Menyenangkan?”

“Menyebalin!” akhirnya Adri mendapatkan kata yang dimaksud. “Seminggu ini kita so dua kali disakiti. Dan itu betul-betul menyebalin.”

“Menyebalkan,” Farel mengoreksi.

“Iya, menyebalkan. Kalau di kampung kita, nyanda boleh bagitu…”

Dessy yang sejak tadi menguping kini sibuk menahan agar dirinya tak tertawa. Sekaligus ia juga penasaran memang apa yang membuat ia begitu sebal pada Arjun. Beberapa butir permen langsung ia lahap sekaligus.

“Kita nyanda suka dengan Arjun. Kita masih dendam betul sama dia.”

“Apa sih yang dia bikin memangnya, Bro?”

“Kawan, Si Arjun itu terus saja berulah. Berbuat macam-macam. Tak akan kita lupakan ulahnya saat di hari-hari pertama kita di sini. Waktu itu dia kasih bola-bola kamper warna warni pa kita.”

“Ngasih ke kamu? O, kamper yang biasanya ada di toilet cowok. Tauk, tauk. Terus?”

“Dia menyodorin beberapa butir ke kita. Ukurannya sudah seukuran biji kelereng pun.”

“Berarti itu udah bekas kepake, Bro. Makanya ukurannya jadi lebih kecil. Terus?”

“Nah, dia bilang ke kita kalo bola-bola itu adalah permen.”

Mata Farel membelalalk. “Permen?!”