Dessy merutuk kecil. Ia berpikir sesaat untuk menjawab pertanyaan itu. “Nge-jegal!”
“Oooooh,” Adri mengangguk-angguk. Namun Dessy yang melihat bahwa mimik blo’on masih belum menjauh dari wajah pria itu segera mengerti bahwa Adri masih perlu ditanyai kembali.
“Eh, elo tau kagak artinya nge-jegal?”
Rasanya temperatur tubuh Dessy naik sederajat ketika ia mendengar jawaban yang diberikan Adri.
“Mm... belum.”
Plak! Dessy secara instink menepuk keningnya sendiri.
“Maksud gue, pas gue tadi lewat elo pasti sengaja bikin gue... anu...” Dessy berpikir sejenak. Tangannya bergerak-gerak seolah menggulung sesuatu.
“Oh maksudmu tersandung?” Adri menutup buku catatannya.
“Iye! Ngerti juga akhirnya,” Dessy menjawab gemas.
“Tapi, ngana yang injak kita pe kaki!”
“Nginjek kaki lu? Nggak!” Dessy menjawab ketus. “Elo yang ngejegal gue.”
“Dengan cara bagaimana kah aku membuat dirimu tersandung?”
“Dengan cara elo tadi yang mendadak selonjorin kaki lu!”
“Sel- apa tadi? Selonjor-in?”
“Iye! Ngerti gak lu?”
“Oh itu,” Adri mengangguk-angguk sebelum kemudian menyambung. “Apa itu selonjor?”
Arggghhhh!!!
*
Paw-paw itu istimewa di mata Adri yang sejatinya memang seorang pecinta binatang. Selama berada di sekolah, tidak pernah ada sehari pun berlalu tanpa Adri menyempatkan diri untuk menengok atau bermain dengan makhluk itu. Seperti siang itu ketika wajahnya kembali muncul di kantin.
"Mau makan atau main dengan Paw-paw?"
"Dua-duanya."
Adri bersuit demi memanggil Paw-paw yang tengah tidur-tiduran di sudut kantin. Paw-paw spontan terbangun dan dengan segera menyambut kedatangan Adri dengan ekor yang mengebas kesana kemari.
"Pesan mi soto ya," cetus Adri sambil memain-mainkan moncong Paw-paw.
Permintaan itu langsung disanggupi dengan wanita itu langsung menyiapkan pesanan dengan menjerang air panas terlebih dulu.
"Melihat kedekatanmu dengan Paw-paw, kadang Ibu jadi takut."
"Takut kenapa?"
"Melihat sikap sayangmu padanya, Ibu mengkhawatirkan perasaanmu kalau karena sesuatu hal Paw-paw tidak lagi menemanimu."
"Kenapa Ibu berkata begitu?"
"Farel pernah cerita bahwa kamu mulai tidak betah bersekolah di sini."
Adri tersenyum kecut. Raut mukanya seketika berubah dan perubahan itu cepat disadari Ibu Prapti.
"Ada orang yang memusuhimu?"
Kendati dugaan itu benar, Adri merasa tak perlu menceritakan persoalannya yang ia hadapi dengan duo bandit, Arjun dan Dessy. Saat ia menggeleng kepala, Ibu Prapti mengejar dengan pertanyaan lain.
"Aturan sekolah yang terlalu berat?"
Adri melepas pegangannya pada Paw-paw. Ibu Prapti yang memang kuat dalam intuisi dengan cepat menyadari bahwa ada satu hal yang beda dalam diri Adri.
"Atau masalah pelajaran?"
Kali ini Adri tak ragu untuk mengangguk. "Beberapa pelajaran masih sulit untuk dikuasai. Bahasa Indonesia adalah salah satunya. Apalagi kalau ada tugas mengarang, aduh."
Pelajaran itu benar-benar jadi momok buat Adri. Bagi Adri, tersengat ubur-ubur atau terkena bulu babi di Bunaken masih lebih baik daripada menghadapi pelajaran yang satu ini. Dari sejak kecil, entah kenapa, ia memang tidak begitu suka. Dan ketidaksukaan itu terus mengikuti kendati ia sudah 2172 kilometer terbang menjauhinya dengan bersekolah di Jakarta. Ia pasti sudah ngeri saja ketika melihat guru bahasa Indonesia tiba di kelas. Apalagi kalau tugas atau PR yang diberikan adalah pelajaran mengarang. Seperti apa yang terjadi saat ini.
“Memang apa susahnya mengarang dalam Bahasa Indonesia?” tanya Ibu Prapti sembari mengaduk mi instan pesanan Adri. “Kamu jago di bidang musik dan renang tapi kenapa payah banget sih kalau soal bahasa Indonesia?”
Adri menggaruk belakang kepala dengan kesal. “Nyanda tahu. Dari dulu nilai untuk Bahasa Indonesia selalu jelek. Kita sendiri juga heran kenapa kita ini payah dalam berbahasa Indonesia. Apalagi mengarang. Edo’e… susah sekali!”
Ibu Prapti tak langsung menjawab. Ia memutuskan menyelesaikan pekerjaan terlebih dulu. Baru setelah ia meletakkan mangkok berisi mi pesanan Adri ke depan anak itu, ia memberikan tanggapan.
“Ah! Mengarang itu gampang kalau saja kita tahu triknya.”
Sambil mengelus kepala Paw-paw, Adri menggeleng tak percaya.
“Ibu juga dulu susah kalau disuruh mengarang… sampai ibu kemudian menemukan triknya.”
“Serius?”
“Trik ini ibu dapetin waktu pelajaran mengarang di SMP. Ketika ada tugas mengarang sebanyak satu halaman, ibu nyaris di-setrap di depan kelas.”
Adri menyimak baik-baik ketika Ibu Prapti nampak mengenang kejadian tersebut dengan senyum kecut.
“Nggak usah minder dengan kemampuanmu karena tidak semua anak toh menguasai semua pelajaran dan hobi. Cara menulis cerita ternyata gampang sekali. Dalam semenit, kamu bisa melakukannya. Kamu bisa bikin berlembar-lembar lho.”
Adri spontan tertawa terbahak. Suaranya begitu keras sampai Paw-paw berlari keluar kantin. Tak lama ia pun mulai menikmati pesanannya.
“Kamu nggak percaya, Dri?”
“Tentu saja kita nyanda percaya,” kata Adri di tengah makannya. “Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa mengarang walau hanya satu paragraf, dalam satu menit bisa punya kemampuan menulis cerita berhalaman-halaman. Nyanda mungkiiiiin.”
“Ibu nggak bohong! Bener nih kamu nggak percaya?”
Sambil melap ujung mata yang berair karena terkena panas mie instan, Adri menggeleng. “Nyanda percaya kita.”
"Ada caranya, Nak. Kamu bener nih nggak percaya sama Ibu?"
Adri menyerah. “Ya sudah. Sekarang tolong sampaikan caranya.”
Ibu Prapti duduk di seberang meja di mana Adri duduk. “Ibu sih tulis saja begini: Pada suatu hari, aku dan keluargaku...”
“Jiaaaaaah,” Adri tak terlihat puas. “Memang nyanda ada yang lain? Tiap kali memulai cerita selalu diawali dengan kata-kata: Pada suatu hari,” gerutunya dengan kalimat terakhir diucap dengan mulut mencibir.
“Katanya mau tahu triknya?”
“Ups,” Adri menyadari kelancangannya. “Silahkan melanjutpun.”
“Melanjutkan!” Ibu Prapti mengoreksi.
“Iya, silahkan melanjutkan.”
“Pada suatu hari aku dan keluargaku pergi berlibur,” Ibu Prapti memulai kembali. Saat tak terdengar nada protes dari Adri ia melanjutkan. “Kami naik minibus L300 ke kota Bandung.”
“Kong, eh… lantas?”
“Aku pergi dengan bapak, ibu, adik laki-laki, adik perempuan, paman, bibik, keponakan laki-laki, keponakan perempuan, kakek, nenek, kakak ipar, adik ipar, temannya kakek, temannya nenek, temannya bapak, temannya ibu, temannya adik perempuan, temannya adik laki-laki.”
Tak sadar Adri menghitung dengan jari-jarinya. Banyak sekali yang masuk dalam mobil itu. Atau jangan-jangan mereka semua para kurcaci?
“Lantas?”
“Kami pergi ke kebun binatang. Di sana kami melihat rusa, ular, buaya, serigala, kura-kura, monyet, orangutan, beruk, harimau, tapir, babi hutan, musang, landak, jerapah. Aneka burung seperti burung cenderawasih, burung elang, burung hantu, burung merak, burung nuri, burung beo, burung gagak. Lalu berbagai jenis ikan seperti ikan arwana, ikan piranha,...”
Sementara wanita di depannya terus bercerita, Adri mengerenyitkan kening. Sepertinya ia menangkap ke arah mana Ibu Prapti akan bercerita lebih jauh.
“Di perjalanan kami makan banyak buah-buahan. Apel, pisang, durian, ubi jalar, ubi kayu, nanas, nangka, cempedak, semangka merah, semangka kuning, semangka tanpa biji.”
‘Berani betul’ Adri membatin. 'Nyanda takut mencret?'
“Pada saat pulang kami membeli banyak sekali oleh-oleh. Kami membeli sayur-mayur seperti kangkung, bayam, kembang kol, cabe rawit, cabe merah keriting, kentang, jengkol, pete. Kami juga tak lupa membeli tahu, tempe, ikan kembung, ikan teri medan, ikan teri jengki, telor ayam, telor puyuh, bawang merah, bawang putih. Semua merasa senang yaitu kami dan orang-orang lain yaitu Raymond, Catherine, Susi, Susan, Oding, Sandy, Tessa, Sinyo, Boy, ...”