“Gue gak enak sama Pak Sofyan. Gini aja deh,” Dessy kembali turun ke kolam. “Kita berenang di tempat yang agak cetek. Gue nggak mau di sini karena agak dalem.”
“Kalau mau serius belajar berenang, justeru seharusnya belajar di tempat yang dalam.”
Terdengar suara Fitri menimpali dari jauh. “Betul betul betul.”
“Jangan takut. Santai saja.”
“Betul betul betul.”
Dessy berteriak dari dalam kolam. “Monique, tolong elo jitakin Si Upin. Dasar bawel!”
Disindir sebagai ‘Upin’ tawa Fitri malah terdengar lebih keras. Ia mulai berani menasehati. “Sy, Dessy, ayolah…. Elo kudu bisa berenang gaya bebas. Artinya bebas mau gerak-gerakin badan kayak apa. Mau goyangin pantat di dalem air juga boleh.”
Fitri dan Monique tertawa lagi secara bersamaan. Dessy yang kesal langsung menyembur mereka dengan air. Tapi jelas saja tak terjangkau karena posisi kedua sahabatnya memang agak jauh dari tempatnya berada.
“Ya udah gue ngikut, Dri. Tapi awas lu kalo elo pegang-pegang badan gue,” Dessy menyerah.
“Tak akan,” cetus Adri. “Kita janji.”
“Kalo ada pelecehan entar gue laporin ke Ibu Sissy.”
“Iya, terserah.”
“Jadi sekarang elo mau gue ngapain?” tanya Dessy dalam posisi ancang-ancang buat meluncur.
“Berenang ke seberang dengan gaya bebas. Kamu ikuti kita pe gerakan.”
“Ikutin gerakan lu? Hah, gak perlu. Gue udah ngerti.”
“Nyanda! Kamu belum mengerti. Gerakan kaki dan tangan kamu belum seimbang. Gerakan kepala yang kamu lakukan bisa bikin mudah capek kalau terlalu lama di bawah air. Kita so sering lihat cara kamu berenang!”
“Sok tau lu, Dri! Awas kalo elo nanti pegang-pegang dengan alasan mau ngajarin! Kalo ada pelecehan entar…”
“Entar gue laporin ke Ibu Sissy,” Adri memotong dengan mengucap kata-kata yang ia yakin pasti akan diulang Dessy.
Ini jelas membuat Dessy jengkel. Tapi sekaligus menyadarkannya bahwa Adri memang cukup cerdas sehingga bisa membaca pikirannya dengan sempurna.
“Nyanda, Dessy. Kita tidak akan begitu!” tukas Adri cepat. “Kita akan pegang kamu hanya kalau kamu tenggelam.”
“O, elo nyumpahin supaya gue tenggelam?” mata Dessy mendelik. “Elo pikir gue gak bisa renang? Enak aja. Nggak akan gue tenggelam! Wueeeekk… Inget itu. Nggak akaaaaan…!”
*
Sore baru berubah jadi malam ketika sebuah kendaraan taksi meluncur di jalan.
Di dalamnya, tidak seperti biasanya Dessy tidak banyak bicara sepanjang perjalanan pulang dari kegiatan renang ke rumah. Monique yang menemani di dalam taksi pun cukup tahu diri dengan membiarkan Dessy terbaring di jok belakang. Dessy beralasan bahwa kondisinya masih belum fit gara-gara kejadian di kolam renang belum lama tadi.
Kejadian ketika Dessy tenggelam.
Mengingat hal itu terasa menyakitkan bagi Dessy. Ia yang sudah dengan pongah berkata tak akan tenggelam ternyata akhirnya mengalami juga.
“Des,” kata Monique sambil menyentuh bahu Dessy yang membuatnya terbangun sesaat. Saat itu taksi sudah berada di depan rumah Monique. “Gue turun duluan ya.”
Dessy terbangun. Walau tak berucap sepatah pun, ia masih bisa mendengar Monique pamit. Masih sempat pula terdengar Monique menyerahkan secarik kertas berisi peta dan alamat rumah Dessy pada supir taksi yang akan mengantarnya pulang.
Saat taksi kembali meluncur, tak seperti biasanya, jalan protokol yang mereka lalui sore itu situasinya sedikit lancar. Dessy yang tak lagi berniat tidur hanya menatap kosong pemandangan di luar mobil. Semua pemandangan di sana tak menarik baginya. Dengan rambut yang masih sedikit basah karena berenang, ia ingin segera pulang, makan malam, dan beristirahat demi memulihkan kondisi.
Sampai sebuah pemandangan di sebuah trotoar jalan mengusik perhatiannya.
“Stop! Stop pinggir, Pak.”
Si supir taksi bingung sesaat. Tapi ia tetap cukup sigap dan waspada untuk meminggirkan kendaraannya.
“Ada apa, Neng?”
Pertanyaan itu tak segera dijawab penumpangnya. Tapi melalui kaca spion di sisi kiri mobil ia bisa melihat ada satu sosok berjalan di trotoar yang sebentar lagi melintas di sisi mobil. Dessy menekan tombol jendela. Ketika kaca membuka, ia sedikit mengeluarkan kepala dan menyapa sosok yang melintas di trotoar tadi.
“Adri!”
Pria itu menoleh. Keterkejutan menguasai wajah saat melihat sosok Dessy dari balik jendela kaca taksi yang terbuka. Ia melihat wajah Dessy dengan rambut yang masih nampak basah karena sehabis berenang. Langkahnya terhenti. Nampak ragu sejenak, ia seperti tak percaya mendapat undangan yang tadi diucapkan langsung oleh Dessy.
“Terima kasih. Biar jalan kaki saja. Maklum, sudah lama tidak berolahraga pun.”
“Elo habis berenang dan elo bilang udah lama nggak olahraga?” tanya Dessy dengan sorot tajam. “Elo tuh gitu ya. Mau ngebo’ong aja susah.”
Adri diam. Sekaligus merutuk kebodohannya dalam berbohong.
“Adri, rumah elo masih jauh kan?”
Agak sulit bagi Adri untuk menolak tawaran Dessy. Rumah yang ia tinggali masih tiga kilometer – sebuah jarak yang tergolong dekat bagi orang yang terbiasa berjalan kaki sepertinya. Namun untuk ukuran kota besar, jarak itu tergolong jauh terlebih jika ditempuh berjalan kaki. Tapi jika berkata jujur ajakan Dessy tadi sulit ia tolak padahal ia tak ingin bersama gadis itu.
“Apakah rumah kamu masih jauh?” Dessy mengulang.
Adri tersadar sesuatu. Intonasi suara gadis itu tak seperti biasa. Entah sekedar perasaannya atau bukan, menurutnya Dessy kali ini berbicara dengan ramah. Mungkin begitu gadis kota, pikirnya, saat berbicara lembut mereka tidak berbicara elo-gue.
“Tinggal sedikit lagi. Tiga atau empat kilometer.”
“Itu sih jauh. Kalau begitu masuklah ke mobil. Yuk?”
Suara Dessy yang ramah memberikan keberanian bagi Adri untuk menerima tawaran itu. Dessy tersenyum ketika bahasa tubuh Adri menunjukkan bahwa ia mengikuti sarannya. Tapi ketika ia hendak masuk melalui pintu depan supir taksi buru-buru menekan tombol kunci untuk mencegahnya masuk.
“Nggak, nggak. Mas duduk di belakang!” tegur si supir melalui kaca kiri depan yang ia buka sebagian.
Adri tersipu dan kemudian mengikuti saran itu. Ia nampak canggung ketika akhirnya duduk di samping Dessy sampai taksi kemudian beranjak pergi.
Ponsel Dessy berdering. Panggilan datang dari ibunda Dessy yang ternyata sudah ditelpon Monique yang menceritakan mengenai musibah fatal yang nyaris merenggut nyawa Dessy. Sekian menit berikutnya benar-benar dimanfaatkan Dessy untuk menenangkan sang ibunda dengan mengkonfirmasi bahwa kondisinya kini sudah jauh lebih baik.
“Ibumu?” tanya Adri sesaat setelah Dessy mengakhiri percakapan telpon
Sembari membenahi tas yang memang sejak tadi dibawanya, Dessy mengangguk. “Menanyakan keadaanku.”
Adri meng-o tanpa bersuara. Ketika suasana hening kembali tercipta, Dessy berinisiatif memulai obrolan baru.
“You are my hero, Dri.”
Adri menoleh ke arah Dessy dengan tatap jengah. Mulutnya terkunci tak mengeluarkan kata sepatahpun.
“Tadinya gue pikir elo itu orangnya belagu. Tengil. Banyak mudaratnya kalo bertemen sama elo. Tapi gue baru ngeh. Baru sadar kalo sisi baik elo ternyata kuat banget. Itu sisi yang luput dari perhatian gue selama kita sekelas. Sori banget karena itu nunjukin keegoisan gue. Gue pikir, kalo tadi elo gak nolong di kolam gue bisa mati kelelep.”