Dessy masih akan melanjutkan ucapan ketika disadari bahwa Adri bersiap membuka mulut. Ia jadi berdiam diri demi memberi kesempatan pada orang itu untuk bicara.
“Maaf. Seperti halnya kamu susah mengerti ucapanku, kita juga susah mengertikan ucapanmu. Kita, eh gue, eh aku.. agak susah mengerti kalau kamu mengomongkan dengan bahasa seperti itu.” Adri jeda sejenak. Otaknya berputar keras demi merangkai kata-kata yang mudah-mudahan bisa segera dipahami oleh Dessy. “Boleh pun, eh, bolehkah dirimu mengomongkan dengan lebih banyak bahasa Indonesia saja? Ucapan kamu ngebingungkan, sama halnya ucapan kita pun pasti ngebingungkan kamu.”
Kendati masih nampak letih, Dessy memaksa diri mengangguk sembari menebar senyum tulusnya.
‘Adri, Adri,’ katanya membatin. ‘Jenius di musik dan olahraga, tapi IQ jongkok dalam tata berbahasa.’
“Aku usahain, eh usahakan. Sekaligus juga mau minta maaf karena selama ini melecehkan kamu terus. Termasuk waktu mencela kamu saat tadi di kolam renang. Aku minta maaf karena menolak keinginanmu untuk warming up. Akibatnya aku malah jadi tenggelam.”
Adri mengangguk. “Sudah dimaafkan.”
Dessy tersenyum lega. “Serius?”
“Iya.
“Tapi pakaian kamu jadi basah. Kamu nolong dengan nyemplung ke kolam saat kamu udah mau pulang.”
“Nyanda apa-apa.”
Dessy mendadak teringat sesuatu. “Ponsel kamu bagaimana?”
“Terendam. Tapi ponsel itu kuat. Setelah dijemur pasti berfungsi lagi.”
“J-jemur?”
“Cuma seharian, asal panas mataharinya bagus.”
Dessy tidak tahu apakah perlu tertawa atau tidak mendengar jawaban tadi. Koq jadi seperti tak ada bedanya antara menjemur ponsel dengan menjemur ikan asin!
Tak lama kemudian, rasa bersalah tiba-tiba menyergap sanubari. Belum lama ini, di Senayan, ia menjatuhkan ponsel Adri hingga pecah berkeping-keping. Dan barusan saja, perangkat gawai yang seperti sudah stadium IV itu kembali mengalami musibah ketika harus terendam di dalam air kolam renang ber-chlorine.
Tangan Dessy bergerak dan menyentuh telapak tangan Adri. Sentuhannya pelan. Tapi mungkin karena suasana sepi dan gelap di dalam kabin, mendapat sentuhan itu membuat Adri terpekik kaget. Saat mendengarnya Dessy juga jadi ikut terkaget.
“Kamu bikin aku kaget dengan sentuhanmu!”
“Lu yang bikin gue kaget dengan teriakan lu.”
Adri menenangkan diri setelah sempat terkaget.
“Aku hanya mau bilang. Ponselmu nanti kuganti ya?”
Adri menolak keras dengan menggeleng kepala sembari tangannya menampik.
“Aku mau tanggung jawab koq. Serius.”
“Ini bukan soal uang. Dan nyanda perlu dengan cara itu. Sudahlah, nyanda apa-apa. Jangan permasalahkan lagi. Bisa pusing kepala kalau memikirkan seperti itu. Yang jelas pertolongan tadi itu tulus. Tanpa pamrih.”
Dessy menghargai pandangan Adri dan tidak mau mengejar lebih jauh. Pembicaraan keduanya makin berlangsung cair. Dessy semakin ceriwis dengan makin banyak bertanya sedangkan Adri sudah mulai leluasa tersenyum dan tertawa. Sampai tanpa terasa taksi sudah tiba di tempat Dessy.
Di pintu pagar ia melihat bayangan ibunya yang dengan cemas dan sekaligus gembira menyongsongnya. Tak terperi bahagia wanita itu ketika melihat puteri yang sebelumnya dikabarnya nyaris tenggelam kini kembali berada di pelukannya. Pelukan itu erat disertai derai air mata dan ciuman ke kening, pipi, dan ubun-ubun Dessy. Adri yang melihat kejadian itu jadi ikut terharu. Tak lama, Dessy kemudian menghambur ke dalam rumah. Kali ini untuk menyambut uluran tangan bapaknya yang sengaja pulang kantor lebih cepat demi untuk melepas rindu pada puterinya yang nyaris terkena musibah.
“Mampirlah dulu,” wanita separuh baya itu menawarkan pada Adri.
Adri buru-buru menggeleng. “Lain kali saja, Tante.”
“Tante tak tahu harus berterimakasih bagaimana. Dessy memang begitu. Suka bertingkahlaku seenaknya sendiri, bebal, keras kepala. Suka tak menyadari bahaya yang bisa sewaktu-waktu terjadi.”
Adri menghela nafas. “Dessy tipe pembelajar yang kuat, Tante. Pengalaman hari ini juga pasti akan membuat Dessy lebih mawas diri.”
“Iya ya.”
“Dessy tidak lemah. Masih banyak hal baik dalam dirinya yang akan membuatnya berubah seperti yang Tante inginkan.”
Ucapan Adri menenteramkan wanita itu.
“Selama Tante memberikan lebih banyak waktu buat dia, Dessy bisa menjadi seperti yang Tante mau. Percayakan segalanya pada Tuhan dan Tante akan melihat bagaimana karakternya bertumbuh makin matang.”
Ibu Dessy tersenyum riang. “Kamu teman ngobrol yang menyenangkan. Bagaimana kalau kita makan malam di rumah. Tak usah pusing dengan taksinya, biar tante yang urus.”
“Tapi…”
“Ayolah, jangan nolak.”
“Iya, denger tuh.” Dessy kini muncul di antara mereka. “Yuk, singgah dulu. Papa juga udah siapin menu spesial buat kita dinner.”
Adri masih terlihat ragu.
“Ayolah, Papa seneng denger aku baik-baik dan langsung pesan makanan untuk kita nikmatin sama-sama pas aku pulang.”
Adri menggaruk belakang kepala tanpa gatal. “Bagaimana ya?”
“Adri, gue musti ngakuin selama ini banyak salah sama elo. Tapi kalo emang elo gak mau lakuin buat gue, tolong lakuin buat orangtua gue.”
“Mmm….”
“Elo masih marah atas kenakalan-kenakalan gue selama ini, Dri? Kan gue udah minta maaf.”
Mendengar celoteh puterinya, Ibu Dessy tak tahan untuk langsung melontar tuduhan. “Hayooo, kamu suka nyakitin dia?”
“Nggak!” Dessy menjawab pasti.
“Nggak apa?”
“Nggak salah lagi.”
Dessy menjerit kecil ketika ibunya mencubit pinggangnya. Adri yang melihat itu jadi tertawa dan itu membuka jalan untuk ia akhirnya mengalah serta ikut bergabung dengan Dessy dan keluarganya untuk makan malam bersama.
*
Tiga jam kemudian tatkala acara makan malam sudah berakhir, di teras, Dessy masih menemani Adri sebelum taksi yang mereka order tiba di depan rumah.
“Tadi itu makan malam yang luar biasa. Terima kasih.”
“Yang luar biasa apanya?”
“Makanannya, orangtuamu. Itu luar biasa.”
“Cuma makanan dan orangtua? Akunya nggak?”
Adri tersenyum malu. “Kamu ingin dapat jawaban jujur atau tidak?”
“Ingin jawaban yang jujurlah.”
“Berarti, aku nggak perlu bicara.”
Dessy sebal betul mendengar jawaban itu. Ia mencubit pria itu yang kini jadi nampak menggemaskan. Dan Adri yang sudah kenyang dengan cubitan dari Dessy hanya menyambut dengan pasrah.
“Sakit nggak cubitanku?”
“Sakit.”
“Jadi, berarti menurut elo aku ini nggak luar biasa?”
“Nyanda, eh… nggak.”
“Nggak apanya?”
“Nggak luar biasa.”
Dessy makin sebal dan sudah cenderung murka. Tanpa ampun ia melancarkan sekian cubitan sekaligus yang semua diterima Adri dengan ringisan kesakitan.
“Sakit?”
“Sakit sekali.”
“Jadi, kembali ke pertanyaan awal. Menurut kamu, aku ini nggak luar biasa?”
“Kamu itu luar biasa.”
Dessy tersenyum penuh kemenangan. “Akhirnya, ngaku juga ya kalo aku luar biasa.”
“Iya, kamu itu luar biasa judesnya. Luar biasa juteknya.”
Arrggghhh!!!
“Enak aja lu!”
Dessy sekarang kejengkelannya sudah mentok di ubun-ubun. Ia melancarkan lagi cubitan-cubitan yang mengarah ke lengan kiri dan kanan Adri.
“Ampun, ampun, ampun…”
Desy tak peduli. Cubitan demi cubitan makin gencar dilancarkan sampai akhirnya, karena tak tahan dengan sakitnya, Adri pada suatu kesempatan berhasil menangkap lengan gadis itu. Upaya Dessy melepaskan diri membuat tubuhnya tersentak dan kemudian malah terhuyung ke depan.
Secara tak diduga ini menimbulkan dampak lanjutan ketika dalam sepersekian detik hidung mancung bangirnya jadi bersentuhan dengan pipi Adrianus. Dalam sekejap berikut keduanya saling berpandangan. Melotot, tak percaya dengan apa yang baru terjadi sedetik lalu.