Gladys sibuk menyirami bunga di pekarangan rumah. Ia melakukan dengan serius sampai kemudian suaminya, Zulkarnain, alias Zul, melintas sekilas. Pria itu membereskan ember dan selang sambil berbicara pelan sehingga orang takkan tahu bahwa keduanya mengobrol beberapa saat.
“Rok kamu kebuka tuh. Tersingkap terus ketiup-tiup angin. Ada orang-orang di balik pagar ada yang ngintip.”
Sambil tetap bekerja, Gladys santai berucap. “Biar aja ngintip. Mereka punya mata sejak lahir koq. Kenapa harus aku larang mereka ngintip?”
“Jadi kamu gak keberatan?” tanya Zul sambil sekarang membereskan selang dan kemudian melangkah pergi.
“Gak! Makin banyak yang nonton aku malah makin suka.”
Zul tak marah. Ia tersenyum. Sudah lama ia tahu isterinya memang memiliki tabiat exhibis. Dan ia juga tak ingin menghentikan pengalaman yang dirasanya lucu ini.
*
Walau rumah tempat ia tinggal berdekatan dengan Griya Alamanda – karena berada di satu hamparan - Clara paling malas bermain-main ke tempat itu. Ia kurang suka bergaul kepada mereka karena kalau ia kesana ia sering bertemu pak Kumis, tukang sate yang mangkal di depan rumah kost dengan gerobak jualannya.
Entah kenapa ia suka bergidik ketika melihat orang itu. Orang itu hitam, kurus, monyong, serta memiliki satu mata yang lebih besar dari yang lain. Selain itu bentuk kepalanya asimetris sehingga baginya terasa buruk rupa. Ia juga sangat bungkuk karena faktor cacat tubuh. Sepertinya kalau saja Indonesia membutuhkan figur Hunchback of Notre Damme di film, mereka pasti akan dengan mudah menemukan calonnya.
Sebetulnya orang itu berusaha bersikap sopan. Tapi Clara tak pernah suka. Ia malah suka memandang jijik. Bukan karena dekil atau apa tapi karena ia memang tak suka. Ia pernah disapa orang itu dan malah menanggapi dengan pengusiran. Di kesempatan berikut, ia malah menghina.
Untunglah si bungkuk itu tak pernah marah. Tapi apapun itu, Clara memang tetap saja tak suka pada orang itu. Sikap tak melawan itu membuat ia jadi makin keranjingan mencibir dan bahkan meludahinya.
*
“Mami Raras harap kamu bisa datang malam ini.”
“Cathy, ini udah jam 9 malam. Hotel Royal itu sejam jauhnya dari sini.”
“Tau. Tapi tamu yang satu ini hanya bisa jam segitu. Kamu siap dengan resiko Mami marah? Tau sendiri kan tabiat Mami kayak apa. Mendadak nongol tukang-tukang pukulnya di depan rumah kita, udah deh. Sebulan kita bisa dirawat di rumah sakit. Jangan sampe ada yang dialami Ressa nanti lu juga ngalamin. Sebagai temen gue sih ingetin aja.”
“Tapi kalo gue dikasih waktu lebih sore kan gua bis…”
“Salah sendiri lu gak ngisi pulsa. Gue telpon lu dari sore tau gak? Udah deh, Lan, lu pergi sekarang ya.”
Wanita yang dipanggil “Lan” itu tak lain adalah Lanny. Gadis Tionghoa yang selama ini secara resmi bekerja sebagai karyawati dan kasir di sebuah gerai minimarket modern, rupanya secara diam-diam berprofesi sebagai wanita panggilan. Panggilan telpon dari Cathy yang adalah rekan sejawatnya, meminta Lanny untuk melayani seorang tamu di sebuah hotel.
“Halo? Lu masih di sana, Lan?”
“Iya, gue masih di sini,” cetusnya malas-malasan. “Gue perlu bawa kondom?”
“Mami bilang dia punya sendiri. Tapi untuk jaga-jaga lu juga bawa.”
“Ukurannya?”
“XXL.”
“Gileee.”
“Lho, koq ngeluh? Bukannya seneng lu ah.”
Lanny mulai bergerak untuk bersiap berkemas ketika kemudian menanyakan sebuah pertanyaan lagi. “Eh, tamunya kayak apa sih?”
“Lu pokoknya musti layanin baik-baik sampe puas secara tamu ini katanya sih dukun tapi tajir.”
“Idih amit-amit.
“Elo musti layani dia baik-baik. Takutnya gak puas, lu entar disantet lagi. Hadeuh. Jangan ambil resiko itu.”
“Iya, iya. Tapi sebetulnya gue gak suka. Gue pengen dengan orang yang tipikalnya gue suka.”
“Gak suka? Mana boleh lu bilang gak suka. Lu tau kan aturan dari Mami. Gue, lu, sesame PSK diwajibkan layanin semua orang. Puasin semua orang. Kita sih gak bisa milih. Disodorin orang utan juga kita musti ladenin.”
Lanny terkekeh mengikuti Cathy yang tertawa lebih dulu. Humor itu satir. Pahit. Tapi memang ada benarnya.
Dari tempatnya berdiri, ia melihat ada Clara, puteri pemilik kost. Mahasiswi itu makin cantik saja, pikirnya. Tapi entah kenapa intuisinya menyatakan sesuatu. Sebuah perasaan dan dugaan bahwa Clara memiliki kesamaan dengan dirinya yakni… lesbian. Sayang bahwa keduanya tak cukup dekat padahal Lanny ingin juga berkencan dengan orang itu.
“Halo Lan, jadi gimana?”
“Ya udah, gue ke sana deh. Mau gak mau deh. Abis, gimana lagi?”
“Bagus. Mami Raras udah siapin mobil sama sopirnya. Seperti biasa, kostum buat elo ngablak udah ada di kabin mobil. Tamu lu kepingin lu pake kostum perawat. Begitu lu turun di hotel, lu udah langsung naik aja ke kamarnya. Paham?”
*