“Gerobaknya tolong minggirin dikit. Jangan ngalangin pintu gerbang!”
Permintaan bernada bentakan itu membuat Pak Kumis spontan memindahkan gerobak untuk lebih ke pinggir sambil menyampaikan maaf.
“Aku dah omong berkali-kali. Lain kali jangan terlalu dekat pagar! Kalo gak mau aturan, cabut dari sini. Inget itu!”
“Iya, Neng cantik, iyaaaa.”
“Cih, udah jelek masih ngerayu. Dasar!!! Udah, udah, jangan sering-sering di sini.”
Pak Kumis raut mukanya berubah. Jelas bahwa ia tak suka hinaan itu. “Neng, jangan sombong. Nanti kalo…”
Ucapan itu tak sempat diselesaikan karena Clara dengan gemas telah menekan pedal gas dan mobil pun masuk melewati gerbang. Sisi belakang mobil masih sempat menyenggol gerobak sehingga beberapa barang termasuk piring di dalamnya ada yang terjatuh ke tanah.
Prang!! Brakk!!
Pak Kumis hendak menyampaikan protes tapi ia membatalkan karena melihat bahwa Clara keluar dari mobil dan menghadapinya sambil berkacak pinggang. Siap untuk konfrontasi jika diperlukan. Pak Kumis akhirnya mengambil sikap mengalah dan pergi walau dengan hati sedih.
"Jangan ngomelin gue. Itu salah lu sendiri, ngerti?"
Melihat itu Nova tak tahan dan menegur Clara. Tapi dasar keras kepala, Clara tak peduli.
“Gue negur lu dengan maksud baik. Gue takut lu diapa-apain orang itu.”
“Lah, emang apa yang bisa dilakuin Pak Kumis.”
“Ohh orang itu namanya pak Kumis? Ya hati-hati aja sih. Gue tadi liat dia pake gelang akar bahar, sama kalung buntut bajing. Gue tau itu buntut dari bajing hutan yang langka yang hanya ada di hutan Sumatera. Tau gak. Itu biasa dipake untuk jimat.” Nova berhenti sejenak ketika suaranya memelan. “Orang itu jangan-jangan adalah dukun. Kalo pun bukan dukun tapi dia ngerti soal ilmu klenik.”
"Uhhh serem, aku tatuuut...." Clara mengejek. Ia tetap saja keras kepala. Ia tak percaya ucapan Nova. Ia merasa Nova terlalu terpengaruh film horror.
“Terserah lu percaya apa nggak, Clara. Gue takut lu bentar lagi bunting gara-gara orang itu. Dia bisa bikin gitu, mangkanya lo jangan main-main.”
*
“Dewi!”
Di antara keramaian stasiun kereta api Tanah Abang, seorang wanita berkerudung, hampir 30 tahun serta berwajah manis, menoleh ke sumber suara. Sempat mencari-cari sesaat ia kemudian bertemu pandang dengan orang yang tadi memanggil namanya. Senyumnya seketika terbentuk ketika menatap tak percaya pada orang itu.
“Mas Jihad?”
Kedua orang itu mendekat. Mata keduanya menatap lekat antara rasa kaget, kagum, dan juga… rindu. Seketika kenangan sekitar sepuluh tahun lalu mengisi benak mereka. Kenangan ketika mereka sama-sama bersekolah, belajar, beraktifitas, dan… memadu kasih.
“Kamu ke mana aja sih?”
Di tengah suasana yang masih menyisakan terik, keduanya menanyakan kabar masing-masing. Dimana tinggal sekarang, pekerjaan, kesibukan. Dewi masih di Jakarta sedangkan Jihad tinggal di Bandung dan hanya sesekali ke Jakarta. Mereka menanyakan dengan riang tentang segala hal namun tak lama kemudian berubah agak murung begitu menyadari bahwa mereka yang dulu pernah memadu kasih ternyata sekarang suasana berbeda. Dewi sudah memiliki pendamping hidup sedangkan Jihad masih sendiri.
Bagi Jihad sendiri, tatap mata Dewi sebetulnya sudah memberikan jawaban yang pasti. Masih ada rindu di sana. Rindu berbalut kangen dan cinta. Dan ia yang pernah merangkai masa-masa indah, sepertinya tidak segan kalau memang harus merajut kembali.
Dewi sudah menikah? Terus? Emang gue pikirin, itu yang ada di otaknya.
*
Di dalam kabin taksi online, gadis berseragam supermarket mengeluarkan salep dari dalam tas. Salep itu bentuknya aneh. Warnanya krem pekat agak gelap dan sedikit kental. Salep itu tidak dijual di mana-mana, bahkan di toko minimarket tempatnya bekerja pun tidak. Walau begitu, ia sudah beberapa kali mencoba dan mengalami khasiatnya.
Karena bagian perutnya terasa pegal setelah apa yang ia alami tadi di hotel. Jadi ia merasa perlu mengoles dengan obat itu. Ia mencolek, sedikit membuka t-shirt bagian bawah, dan mengolesnya.
Walau bentuknya tidak menarik obat itu ia nilai manjur. Obat itu sebetulnya adalah ramuan herbal dan ada bintik-bintik hitam seperti jinten di dalamnya. Ia sudah sering menggunakan kalau ia pegal, terkena luka, dan sebagainya. Bintik-bintik itu nanti akan hilang sendiri setelah beberapa saat.
Tapi ada hal yang membuat bulu kuduknya meremang. Kalau sebelumnya ia merasa bahwa bitnik-bintik itu akan menguap, ternyata kenyataannya tidak seperti itu. Ia kini secara tidak sengaja melihat bahwa bitnik-bintik itu ternyata tidak hilang. Menguap pun tidak. Bintik-bintik itu ternyata adalah cacing! Makhluk hidup itu bergerak-gerak dan kemudian menyelusup masuk ke dalam pori-pori kulit. Si gadis berusaha mencegah dan hanya bisa mencabut 2-3 cacing yang kemudian dengan gemas ia pencet sampai mati.
Ia terengah. Salep apa itu tadi? Dalam gemasnya, ia lalu membuka jendela kaca dan kemudian membuang salep ke luar jalan.
“Apaan itu, mbak?”
“Nggak apa-apa.”
“Yakin mbak nggak apa-apa?”
“Iya. Udah terus aja.”
*