Yunna menatap dengan ekspresi aneh. Itu adalah pertanyaan yang janggal. “Aku tunggu dong sampai pulang dan ketemu suami.”
“Langsung ML?”
“Tergantung. Kalo itu hari sabtu, iya.”
“Kalian ML hanya hari Sabtu?”
“Iya.”
Yunna tak tahu apakah jawabannya betul atau tidak. Tapi ucapannya membuat Ellen terkikik geli. Selama ini memang tak ada orang yang mengajaknya berbicara mengenai soal keintiman, bahkan Benyamin pun tidak.
“Kesian banget sih kamu. C’mon hidup ini indah. Lu hanya puas dengan kehidupan di sekitar itu-itu aja dan gak mau ada petualangan dikit?”
Yunna yang mulai tahu arah pembicaraan akan kemana masih menyimak apa yang akan Ellen ucapkan berikutnya.
“Di kantor dan rekan-rekan mitra bisnis di luar negeri, banyak cowok keren. Kamu gak mau kenal mereka?”
“Kan udah kenalan?”
Ellen membulatkan mata. “Maksudku kenalan dalam arti tidur bareng.”
Mulut Yunna melongo. “W-what?”
“Gue juga lakuin gitu dan gak masalah. Having fun aja. Toh aku anggap ini penyegaran dalam pernikahan.” Ia lalu berbisik ke telinga Yunna. “Ada banya cowok di ruangan ini yang kamu terlalu pandang serius padahal sebetulnya kamu bisa ajak senang-senang.”
“Bersenang-senang?”
“Tau kan maksudku: F-u-c-k.”
*
Pernikahan indah dan sempurna mungkin hanya ada di drama Korea. Dalam kehidupan nyata, entah.
Regina yang menjalani kehidupan pernikahan dengan Hidayat hanya merasakan kata bahagia itu dalam hitungan bulan. Entah mereka yang tidak siap – karena menikah setelah dirinya hamil duluan – atau karena faktor lain, tapi itulah kenyataan yang harus ia jalani. Dan semakin berjalannya waktu, konflik dengan Hidayat makin menjadi-jadi.
Mereka sudah dikarunia seorang anak perempuan yang cantik. Mendadak terjadi bencana kebakaran yang melanda rumah dan membuat mereka kehilangan hampir seluruh asset. Akhirnya terpaksa mereka pindah ke sebuah paviliun di tempat kost sambil menunggu rumah mereka dibangun kembali. Situasi ini seharusnya membuat mereka bersatu. Tapi nyatanya tak demikian dan kerenggangan makin menjadi-jadi di antara dirinya dan suaminya.
Ia baru saja selesai mencuci dan mengeringkan baju. Saat akan mengeringkan, ia melihat ponselnya menyala, menandakan ada sebuah pesan masuk. Didorong rasa penasaran, ia mengambil ponsel dan memeriksa pesan.
Pesan itu dari Hidayat, suaminya. Tak ada kata apa-apa selain bahwa ia mengirimkan sebuah link yang telah dipersingkat. Ketika ia membuka link, ia terkejut. Mulutnya terbuka dan secara spontan ia menutup mulut dengan satu tangan. Ekspresi keterkejutannya berubah menjadi rasa jijik karena melihat adegan persetubuhan oral sex. Ia kesal bagaimana mungkin suaminya mengirimkan pesan berisi video menjijikan seperti ini.
Ia membalas chat dengan kata-kata tegoran keras. Ia meminta Hidayat untuk tidak mengirimkan video begitu lagi. Ia juga takkan mau mempraktekkan apa yang tadi ditontonnya. Menghisap penis pria adalah hal tabu dan ia tidak mau lakukan sampai kapanpun.
*
Menjadi pegawai klerikal di perusahaan dan seringkali dianggap remeh oleh pegawai-pegawai lain yang lebih senior dan kedudukan lebih tinggi, bukan hal mudah. Itu dialami Nabila yang sudah setahun lebih bekerja di perusahaan. Terletak di kawasan segitiga emas Jakarta, pada sebuah Gedung pencakar langit, tidak membuat dirinya bangga. Nabila malah seringkali merasa sebal pada mereka karena tidak banyak yang mengakrabi dirinya. Saat para staf keluar untuk makan siang – dan menolak makan siang rantangan yang disediakan perusahaan – ia selalu jadi penunggu kantor. Ia tidak mengerti apakah mereka tidak bisa dekat dengannya karena faktor status sosial atau karena hal lain. Yang jelas, Nabila acapkali merasa iri. Terlebih karena melihat bahwa wanita yang diajak oleh para staf dan manajer itu biasanya kalo tidak punya kedudukan tinggi, mereka itu cantik.
Nabila iri pada Ria atau Desy atau Venty yang walau mereka satu level dengan dirinya, hanya staf klerikal juga, mereka sering didengar pendapatnya. Sering diajak makan siang, atau sepulang kantor diajak makan malam atau karaoke. Cerita-cerita mereka ketika berkumpul bersama sudah akrab di telinganya dan itu semakin membuat dirinya minder. Rasa minder itu makin sering menguasai diri dan ia hanya bisa berkhayal seandainya ia berpenampilan lebih menarik daripada sekedar seadanya seperti saat ini.
*
Tante Sheila mengeluh tanpa henti karena omzet salon yang menurun. Ia sudah telpon beberapa pelanggan yang dulu setia dan belakangan tidak lagi ke salonnya. Penasaran dan tidak tahan dengan kerugian yang ditanggung, ia lalu menelpon banyak pelanggan yang umumnya pria.
Ia kaget karena semua pelanggan pria memiliki keluhan yang sama. Menurut mereka, dua kapster yang ada memiliki sifat galak alias tidak ramah. Saat ditelisik lebih jauh, ia mengerti bahwa rupanya yang dimaksud mereka ingin kapster yang permisif. Yang mengijinkan ketika tangan mereka bertingkah jahil.
“Masa’ sih cuma sentuh pantat doang si Dewi marah.”
“Si Yuli marah besar sama inyong waktu dipelototin dadanya. Salahnya sendiri ndak pake beha.”
“Bah, aku senggol sedikiiiit saza dada si Bella, marah kali dia. Padahal aku tidak sengaza.”
“Aku diomelin Dewi gara-gara ngintip CDnya dia.”
“Aku rangkul bahu si Yuli, eh dia tampar aku.”
“Bella itu harus sadar toketnya besar. Jadi kalau aku remas jangan marah. Aku siap kasih tip.”
Selain pada tiga anak buahnya, mereka juga ternyata ada juga yang mengeluhkan Tante Sheila.
“Lain kali tante Sheila jangan marah kalo aku intip belahan dadanya ya. Seharusnya Tante bangga karena masih ada yang suka.”
Setelah mendapat masukan, ia pusing. Apa yang harus dilakukan kalau begitu? Dirinya bersama seluruh jajaran kapster harus mengambil langkah drastis dan ia masih belum tahu caranya seperti apa.
*