Awal Agustus tahun ini juga menjadi hari bersejarah yang mengubah seluruh kehidupan Nadila, seorang gadis yang tengah ranum-ranum di masa remajanya. Hari itu mengubah sifatnya yang luwes, riang, dan sedikit pecicilan. Sifat itu baik sebetulnya karena terbukti membuat ia mudah bergaul pada siapapun. Bak dua sisi mata uang, tabiat itu juga bisa berdampak negatif ketika ia – dengan keluwesannya bergaul – bisa akrab pada siapapun. Termasuk pada Beni, pamannya, yang sehari-hari membuka bengkel di rumahnya.
Seorang pria, yang sebetulnya adalah seorang predator seks.
Nadila dekat sekali dengan Om Beny – begitu ia biasa dipanggil. Untuk melewatkan waktu, sering juga ia dan Beny bermain bermacam permainan seperti halma atau monopoli, karena memang Beny orangnya juga sangat pintar bergaul dengan siapa saja. Akibatnya ia tidak pernah jengah untuk berpakaian sedikit ketat atau terbuka atau kadang menggelendot padanya karena pikirnya sesexy apapun toh tak berpengaruh padanya. Pernah sekali Om menyikut yang sepertinya tak sengaja ke buah dada. Ia buru-buru minta maaf tapi Nadila hanya tersenyum demi menunjukkan bahwa itu bukan masalah besar. Pernah pula ia mengintip buah dada Nadila melalui kaos tanpa lengan yg dipakai saat bermain kesana. Om pura-pura tak melihat saat terpergok.
Dan hari itu, saat hanya berdua, setelah makan siang, ketika Nadila merasa tubuhnya kurang fit, Beny spontan memeriksa kening.
“Keningmu hangat. Wah, kamu musti diperiksa nih. Om periksa sekarang ya? Om takut ada apa-apa.”
Memang kata ibu dahulu adiknya itu pernah kuliah di fakultas kedokteran, namun putus di tengah jalan karena menikah dan kesulitan biaya kuliah. Ajakan itu disambut polos tanpa kecurigaan. Orang itu lantas mengajak Nadila ke kamarnya lalu mengambil sesuatu dari lemarinya yang rupanya ia mengambil stetoskop bekas yang dipakainya ketika kuliah dulu.
“Nah Dila, sekarang kamu buka baju dan tiduran di ranjang.”
Perintah Beny membuat Nadila ragu. Tapi setelah melihat wajahnya yang bersungguh-sungguh, dingin, dan serius, akhirnya ia menurutinya.
“Iya Om”, katanya lalu ia membuka kaos dan hendak berbaring.
Namun Beny buru-buru menegur, “Lho, bra-nya sekalian dibuka, biar Om gampang periksanya.”
Kepolosan Nadila yang luar bisa membuat ia dengan lugunya membuka bra. Angin dingin terasa menyentuh kulit ketika buah dada mengkalnya kini terbuka bebas.
“Wah, benar-benar cantik kamu,” kata Beny.
Nadila melihat mata pamannya yang tak berkedip memandang buah dadanya. Saat bertemu mata, ia hanya tertunduk malu.
Setelah telentang di atas ranjang, Beny mulai memeriksa. Mula-mula ditempelkannya stetoskop itu di dada. Nadila merasa dingin. Beny kini menyuruh bernafas sampai beberapa kali setelah itu Beny mencopot stetoskopnya. Kemudian sambil tersenyum tangannya menyentuh lengan gadis itu lalu mengusap-usapnya dengan lembut.
Nadila diam saja,ia hanya merasakan sentuhan dan usapan lembut Beny. kemudian usapan itu bergerak naik ke pundak. Tak berhenti di situ, tangan Beny merayap mengusap perut dan Nadila hanya diam saja merasakan perutnya diusap-usap begitu karena sentuhan Beny benar-benar terasa lembut. Namun lama-kelamaan terus terang ia mulai jadi agak terangsang oleh sentuhannya, sampai-sampai bulu tangannya merinding dibuatnya. Beny menaikkan usapannya ke pangkal bawah buah dada yang masih mengkal itu, mengusap mengitarinya, lalu mengusap buah dada.
Ah, pentil Nadila sontak berdiri. Baru kali ini ia merasakan yang seperti itu, rasanya halus, lembut, dan geli, bercampur menjadi satu. Namun tidak lama kemudian, Beny menghentikan usapannya. Dan Nadila menduga bahwa itu adalah akhir. Tapi ternyata belum karena kemudian Beny bergerak ke arah kaki.
“Suhu tubuh yang naik juga ditentukan karena kaki. Om periksa bagian bawah ya.”
Kembali, Nadila hanya diam dan membiarkan usapan-usapan di betis. Saat usapan merambat ke paha, rintihan pertama yang sangat halus keluar dari mulut gadis itu. Ada bermenit-menit ‘dokter’ itu mengusap-usap. Saat itu Nadila masih mengenakan rok. Mendadak, dengan cepat dan tanpa terduga, tiba-tiba Beny mengangkat sedikit pantat Nadila dan menarik serta meloloskan celana dalam. Tentu saja Nadila tak menyangka dan sangat terkaget setengah mati.
“Om, oom, kenapa…. Dibuka?”
Benny ternyata masih bisa bersikap dingin dan tenang. “Lho, kan mau diperiksa. Pokoknya tenang aja,” katanya dengan suara selembut mungkin demi menenangkan ketakutan Nadila.
Setelah celana dalamnya diloloskan oleh Beny, ia duduk bersimpuh di hadapan kaki Nadila. Ada rasa jengah dalam diri Nadila karena tahu bahwa organ terintimnya kini tengah ditatap oleh orang lain yang selama ini hanya ia yang bisa lihat. Mata Om tak berkedip menatap vaginanya yang masih mungil, dengan bulu-bulunya yang masih sangat halus dan tipis.
Beny kini mengelus-elus selangkangan Nadila. Sensasi dahsyat langsung Nadila alami. Perasaannya jadi makin tidak karuan. Kemudian dengan jari tengahnya yang besar, Beny menyentuh bibir atau labia vagina.
“Aahh,” Nadila menjerit lirih.
“Ssshhhh…. Jangan berisik, Om lagi kasih terapi. Dibeginiin enak kan?”