Nagih

Menjelang tiba di halte tujuan, Erick bersiap turun. Sayang, ia turun dari sebuah bis kota dengan kurang hati-hati. Akibatnya ia terjatuh dan terluka pada lutut dan tangan. Dari sebuah halte, seorang pemulung datang. Erick membiarkan diri ditolong orang itu.

“Gubuk bapak ada di dekat sini. Hanya lima puluhan meter. Dia ada di kebun belakang halte. Kalo adik mau, biar bapak antar dan obati di sana. Di gubuk ada obat yodium sama o bat gogok. Perban juga ada.”

Erick tak menyangka bahwa pemulung itu begitu ramah. Ia menyetujui usulan itu dan dengan tertatih melangkah ke arah gubuk dengan dibantu orang itu. Walau berpenampilan kumal, kulit hitam terbakar matahari, dan sangat timpang, orang itu baik hati dan tentu saja Erick bersyukur padanya.

*

Hanya istirahat dua minggu, tak lama kemudian bersama dengan rombongan eksektuf, lagi-lagi Yunna harus terbang lagi. Kali ini mereka pergi ke Penang, Malaysia. Sama seperti pada kunjungan kerja sebelumnya, dengan dukungan logistic yang kuat, mereka makan malam sampai puas dan setelah itu barulah minuman keras mulai dibagikan.

Seusai dari situ mereka kembali ke hotel. Yunna merasa lega karena dipikirnya setelah itu ia bisa beristirahat. Namun ternyata tidak. Mereka masuk lagi ke sebuah bar dan minum-minum, kali ini dengan bourbon. Seperti biasa Yunna hanya bisa mengikut. Ia sadar, ia masih orang baru di lingkup elit manajemen dan harus membiasakan diri dengan pengalaman baru ini.

Saat mereka duduk di sana, Yunna merasa mabuk. Tapi ia masih sadar bahwa ada Ramli yang duduk di sebelahnya yang malam itu usil dan banyak menggoda Yunna. Ramli memang suka begitu tapi malam itu kondisinya lebih parah. Bukan hanya secara verbal tapi malam itu ia menaruh tangannya ke lutut Yunna. Yunna melompat saat disentuh dan berkata dengan lembut untuk tidak melakukan begitu. Untung tidak ada orang yang memperhatikan karena mereka duduk sedikit terpisah.

“Gila kamu.”

“Ssssh… jangan menarik perhatian orang,” Ramli mengedip mata. “Entar malu lho.”

Yunna merasa bahwa mabuknya Ramli mungkin bisa membuat perbuatannya dimaafkan. Lagipula memang tidak enak kalau ada orang yang melihat sikap Yunna. Ramli adalah manajer senior dan kalau ada apa-apa pasti perusahaan lebih mementingkan orang itu daripada Yunna. Kesadaran ini membuat Yunna kembali duduk walau hatinya berdebar keras.

Ramli hanya menatap dan berkata bahwa dia hanya ingin sekedar iseng.

“Tapi nggak segitunya kaliii.”

“Kalo kamu berdiri terus di situ, orang-orang akan curiga. Kamu mau dianggap sombong dan gak mau berbaur?”

Benar juga. Yunna mengalah dan duduk lagi di tempatnya. Eh, orang itu malah mengedip mata nakal. Dan menit berikutnya, dalam mabuknya, lagi-lagi dia menaruh tangannya di lutut wanita itu. Yunna kembali berdebar tapi kali ini ia diam saja karena takut diketahui banyak orang. Dan… perlahan-lahan tangan itu naik ke paha Yunna.

Wanita itu duduk di sana dalam keadaan galau. Yunna merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Dalam pengaruh alkohol, Yunna menyadari sekarang betapa ia mulai basah. Vaginnanya membasah! Sialan. Tak tahan, Yunna akhirnya minta diri dan bangun untuk pergi ke kamar mandi demi menenangkan diri dan mendapatkan kembali ketenangan. Saat sudah selesai dan tenang kembali ia keluar dari toilet dimana ia bertemu Ellen.

“Aku tau ulah Romli tadi,” katanya sambil tersenyum-senyum. “Jangan simpan di hati ya. Romli memang gitu. Dan sebetulnya kalo ada kesempatan ya udah, kalian ML aja di kamar.”

Deg. Yunna mematung. Jantungnya seperti terhenti. Kalau ada yang melihat Yunna, mereka akan melihat ia membeku dengan ekspresi paling aneh di wajah. Yunna tediam seperti itu selama satu menit dan setelahnya tidak berkata apa-apa sampai kemudian acara makan-makan benar-benar berakhir dan ia telah kembali ke kamar.

Malam itu tidak bisa tidur sama sekali. Yunna merasa aneh dan tubuhnya jadi terasa luar biasa panas ditelah kegairahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dimana panty-miliknya kuyup oleh cairannya sendiri.

*

Setelah beberapa hari kemudian kegilaan dengan om-nya itu, Nadila diserang gelombang syahwat.

‘Koq rasanya aku jadi kepengin lagi?’

Memang kalau diingat-ingat selain sakit sebenarnya nikmat juga sih. Perasaan itu makin menguat dan walau coba ditahan malah semakin menjadi-jadi. Gadis itu mencoba mengalihkan dengan belajar dan beraktifitas lain. Tak ada gunanya. Vaginanya terasa berkedut dan semakin diabaikan kedutannya makin intens sampai malah berair.

‘Duh sialan.’

Nadila menyerah. Ia sadar bahwa penyelesaiannya hanya dengan satu cara yaitu bertemu lagi dengan om Beny. Jadi sepulang sekolah dengan mengabaikan rasa malu ia akan mampir ke rumahnya. Tapi saat di toilet sekolah ketika menyiapkan diri dan penampilan untuk tampak lebih menarik buat Beny, rasa ragu kembali meliputi. Ya, ia sangat sangat ragu sebetulnya dan berniat membatalkan. Saat akal sehat melarang, itu menghentikan aksi mengoles lipstik tipis di bibir Nadila. Ia tak jadi melakukannya.

‘Malu-maluin. Koq aku jadi gatel gini sih?’

Nadila coba bertahan. Tapi di beberapa hari berikut, Nadila tak tahan lagi. Kedutan-kedutan di vaginanya terjadi makin sering. Kedutan kuat yang membuat ia tanpa sadar menyentuh dada saat sendiri di toilet. Uh, ia mendesis ketika sengatan birahi menerpa. Ia ingin ke tempat itu. Rumah itu. Rumah dimana ia mereguk pengbalaman sex pertamanya.

Jadikah ia ke rumah Beny?

Jadi, tidak, jadi, tidak? Dan Nadila akhirnya kembali ke rencana semula yaitu mengunjungi Beny. Sialan, pikirnya. Kenikmatan syahwatnya benar-benar telah menyihir dan membuat dirinya sanggup meninggalkan akal sehat dan logika.

Dengan menutup rasa malu ia lantas pergi ke rumah Beny. Dan saat jam segitu tentu hanya ada dia disana. Saat ia bertanya maksud kedatangannya wajah Nnadila memerah karena tentu saja ia terlalu malu mengatakannya. Jadi, Nadila hanya pura-pura mengobrol kesana kemari, sampai akhirnya Beny memintanya merapikan ranjang di kamar tidurnya.

"Kusut amat kasurnya om," katanya lugu ketika tiba di kamar.

"Maklum semalam ada perang."

"Perang?" tanya Nadila tidak mengerti sambil menoleh pria itu yang ada tepat di belakangnya. "Om sama tante berantem?"

Beny tertawa mendengar keluguan itu. "Om ngesex. Ngent*t sama dia.”

Ucapan kasar itu sedikit membangkitkan libido Nadila. Maka ketika ia menungging, ia melakukan dengan sengaja agar pria itu melihat pemandangan pahanya.

"Hari ini kamu cantik sekali, Dila. Dan juga menggairahkan."

"Makasih Om," katanya sambil tetap menungging. Oh, betapa Nadila ingin Beny mengintip sampai selangkangan dan pangkal paha.

‘Lakukanlah om,’ katanya dlm hati. ‘Aku akan dengan senang hati membiarkanmu.’

"Hari ini kamu dandan agak medok. Mau kemana sih? " Godanya. "Lipstiknya juga bagus. Merah dan merekah. Bikin Om ingin nyiummm aja."

Nadila menoleh lagi ke Beny dan memberikan anggukan sembari senyum semanis mungkin.

"Emang berani? " godanya sembari mengedip mata.

Nadila yakin Beny sudah tahu betapa dirinya horny saat itu.

"Dan... Eh kamu juga pendekin rok kamu kan?"

Aih, tahu juga dia dirinya memendekkan rok. Ia memang memotong 5cm dan itu rupanya cukup mencolok. Pantas saja di mikrolet ke rumahnya tadi Nadila yang duduk diapit sopir dan seorang penumpang lain, digodai. Tak terhitung si sopir gonta-ganti kopling sambil tangan kirinya disentuh-sentuh ke paha. Koplingnya hanya dimainkan di gigi 1 dan 2 saja. Kalau gigi 1 digunakan utk menyentuh, gigi 2 malah bukan cuma menyentuh tapi juga mengangkat ujung rok. Berkali-kali ia berbuat demikian membuat pantynya sempat terlihat oleh si sopir nakal.