"Miss Alisca, aku rasa kau perlu melihat jam tanganmu." Bisiknya membuatku segera menengok jam tangan kecilku yang melingkar di lengan kananku. Pukul 19:00 tepat.
Oh, Aku hampir saja melupakannya.
"Apa kau akan mengikatku dengan itu?" Tanyaku pelan. Aku seperti seekor tikus yang berada di ujung tanduk saat ini. Dan saat Jason menganggukkan kepalanya, aku ingin menjerit rasanya. Ia mengulurkan tangannya padaku.
"Kita akan melakukannya di ruangan lain, Miss Alisca" Bisiknya.
Oke Liv, kau harus berani. Ini adalah keputusanmu sendiri.
Akhirnya, aku menyambut tangan Jason dan ia mulai menggenggam tanganku. Menggandengku menyusuri lorong rumah ini, hingga kami sampai di depan sebuah pintu.
Perlahan, Jason membuka pintu itu dan menuntunku masuk. Ia mengunci pintu ini sementara aku memerhatikan ruangan kosong ini.
Maksudku, benar-benar kosong. Tidak ada furnitur apapun, hanya ada sebuah kursi yang berada di tengah-tengah ruangan. Ruangan ini di tutupi gorden besar berwarna merah hingga menimbulkan efek cahaya berwarna merah.
"Duduklah, Miss Alisca." Bisik Jason masih memegang tali berwarna hitam itu. Dengan ketakutan yang tertahan, akhirnya aku duduk di sebuah kursi metal yang cukup besar.
"Kapan kau menyiapkan semua ini?" Tanyaku untuk mencairkan suasana.
"Sejak aku membawamu ke rumah sakit." Bisik Jason mulai membuka tali-tali di tangannya.
Dan aku cukup terkejut, dia sudah mengincarku sejak pertama kali pertemuan kita. Ini parah.
Dia meraih tangan kananku untuk di taruh di pegangan kursi sebelah kanan, kemudian mengikatnya dengan tali cukup kuat. Ia menggerakkan tanganku dan aku meringis pelan.
"Aku hanya memastikan kau tidak bisa bergerak, Miss Alisca." Bisik Jason lagi. Sementara aku masih berusaha mengatasi ketakutan ku.
Ia melakukan hal yang sama pada tangan kiriku. Setelah semuanya terikat, ia memerhatikanku sebentar.
"Aku mengatur stopwatch 5 menit dan alarm nya akan berbunyi." Ucap Jason sambil menunjukkan layar ponselnya padaku.
Ia mengambil sebuah kain satin berwarna hitam dari saku belakang jeans-nya kemudian menutupi kedua mataku.
Mengikat kain itu cukup keras di kepalaku.
Kemudian aku mendengar pegerakannya yang melangkah sepertinya ke belakang tubuhku.
Ia menekan sesuatu dan aku rasa kursi ini mulai naik. Hal ini membuatku sangat kaget hingga jantungku berdetak lebih kencang.
"Miss Alisca, jika kau tidak kuat menahan sakit, tolong beritahu aku untuk berhenti. Dan aku akan berhenti, mengerti?" Bisik Jason tepat ditelingaku! Ya ampun, aku rasa bibirnya sempat menyentuh telinga kananku.
"Ya." Jawabku singkat setelah susah payah menelan salivaku. Kemudian ia memindahkan rambutku yang di kuncir ekor kuda itu ke sebelah kiri bahuku.
Kedua tanganku mengepal keras saat aku rasa Jason menghirup daerah leher dan bahuku.
Tubuhku mulai menegang saat aku merasakan benda lunak yang basah menepel di bawah leherku. Apa itu bibir Jason? Bibir Jason menempel di leherku. Oh Tuhan, rasanya sulit bernafas.
Oke, Livia, fokus. Kau harus kembali fokus.
Tanganku bergerak untuk lepas. Namun Jason menggenggamnya, menahan tanganku untuk tetap diam sementara bibirnya masih menempel di leherku.
Aku menjerit keras. Keras sekali dengan reaksi tubuhku yang hampir meloncat jika saja Jason tidak mencengkram kedua bahuku saat aku merasakan sakit luar biasa yang menusuk leherku.
Aku rasa aku menangis. Aku merasakan sedikit air mataku keluar ketika sesuatu yang sangat tajam itu semakin menusuk leherku dalam.
Aku mencoba bernafas normal, dengan kedua tanganku yang masih mengepal. Dan tangan besar Jason masih merengkuh kedua bahuku kuat.
Jantungku terasa berpacu lebih cepat. Dan aku merasakan aliran darahku pun semakin cepat. Aku rasa setelah ini akan ada dua lubang besar di leherku. Sungguh.
Tubuhku terasa memanas dan nafasku mulai tersenggal-senggal.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai membiasakan rasa sakit itu yang perlahan berkurang. Namun rasanya tubuhku semakin lemas.
Aku seperti tak memiliki tenaga untuk merasakan rasa sakit itu lagi. Kepalaku mulai terasa sedikit pusing. Apa aku akan mati? Mungkin ini gejala kematianku. Kemudian, aku mendengar suara alarm berbunyi.
Dan aku tak percaya aku kembali menjerit ketika benda tajam yang ku rasa taring itu perlahan keluar dari leherku. Oh Tuhan, rasanya seluruh jiwaku telah pergi. Tubuhku menyender lemas di kursi ketika Jason melepaskan cengkramannya di bahuku.
Kursi ini kembali bergerak turun dengan tubuhku yang sangat lemah.
Perlahan Jason melepaskan penutup mataku. Ia terdengar cepat-cepat membuka ikatan tali di tanganku.
"Olivia.." Bisiknya sambil menangkupkan wajahku ditangannya. "Olivia, tolong katakan sesuatu"
Aku tidak mampu mengatakan apa-apa Jason! Tubuhku benar-benar lemas. Aku hanya mampu membuka sedikit mataku dan tersenyum kecil. Ku rasa dia mengerti kalau aku masih hidup.
Ia bergerak hendak menggendongku.
Tapi aku menahannya, aku menahan tangannya yang hampir mengangkat tubuhku.
Kemudian aku berusaha untuk menegapkan posisiku dan beranjak dari kursi.
"Kau tidak kuat, Miss Alisca." Bisik Jason dengan cepat mengangkat tubuhku.
"Aku bisa berjalan sendiri, Jason." Bisikku pelan. Walaupun aku sendiri merasa nyaman dengan tubuhku yang diangkat oleh Jason.
"Ya, aku tahu, Miss Alisca." Bisik Jason kemudian mengecup keningku. Ya Tuhan!
Ku rasa kesadaranku sudah terkumpul sepenuhnya karena ciuman Jason di keningku. Oh aku ingin melompat dari gendongan Jason dan menari-nari di sekitar apartemen ini.
***
Akhirnya Jason membawaku ke kamar baruku, kemudian membaringkan di atas tempat tidur luas yang sangat empuk ini.
"Istirahatlah, Miss Alisca." Bisiknya sambil menyelimuti tubuhku.
"Bagaimana dengan informasi yang akan kau berikan?" Tanyaku pelan dengan nada menagih. Aku tidak akan lupa akan hal itu, walaupun Mr. Mempesonakan ini terus-terus membuatku melupakan semua hal di dunia ini.
"Kau butuh tidur, Miss Alisca. Aku akan membangunkanmu 1 jam lagi." Bisik Jason sambil mengelus rambutku pelan kemudian berjalan mematikan lampu kamar dan keluar.
Baiklah, dia benar. Aku merasa sangat lemah. Aku tak menyangka efeknya seperti ini. Awalnya tanganku akan merasa kebas, lalu aku merasa sangat lemas hingga rasanya tubuhku tak memiliki tulang dan otot-otot yang dapat menumpu tubuhku.
Aku harus beristirahat sebentar dan memulihkan diriku agar aku bisa menyimak informasi penting dari Jason setelah ini.
***
"Dia anak yang cantik," suara wanita itu terdengar begitu lembut dan hangat.
"Dia berdarah campuran, sembunyikan dia sekarang" bisik seorang pria dengan sangat pelan. Suaranya terdengar penuh penekanan.
Kemudian samar-samar terdengar suara tangisan perempuan.
"Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya, sayang."
"Aku tidak bisa,"
"Hanya kau yang bisa menyelamatkannya,"
"Tidak!!"
Kedua mataku masih menatap dinding polos di atas kepalaku yang gelap. Nafasku tercekat, dan aku berusaha menenangkan diri dengan mengedarkan pandanganku di sekitar kamar.
Ini masih kamar di apartemen Jason. Dan tidak ada siapa-siapa disini. Kepalaku rasanya berputar. Aku berusaha untuk bangkit lalu meraih gelas bening berisi air mineral.
Setelah air masuk ke tenggorokkanku, aku mulai bisa lebih tenang dan berpikir kembali mengenai mimpi aneh yang ku alami barusan.
Mimpi itu gelap, sangat gelap. Dan aku hanya bisa mendengar suara. Dan kamar yang gelap ini membuatku semakin terganggu sehingga aku buru-buru menyalakan lampu.
Aku terlalu banyak memikirkan kemungkinan mengenai kisahku sendiri sampai membawanya ke dalam mimpi. Aku bahkan berpikiran kalau aku telah di buang. Tapi kemudian aku berpikir mungkin orang tua ku terpaksa melakukannya.
Lalu hal apa yang membuat mereka harus melakukannya? Semua itu terus berputar-putar di otakku belakangan ini hingga membuatku mengalami mimpi aneh tak menyenangkan seperti tadi.
Kemudian, pintu kamarku diketuk pelan. Aku segera membukakan pintu itu, dan ternyata Elise yang berdiri di sana.
"Miss Alisca, Mr. William sudah menunggu di ruang makan." Ucapnya mengingatkanku sesuatu. Aku tersenyum lemah kemudian mengangguk.
"Aku akan ke sana sebentar lagi, terimakasih, Elise" Jawabku. Elise kembali tersenyum kemudian berjalan pergi. Aku segera mencuci wajahku dan merapikan rambutku. Jam di ponselku menunjukkan pukul 20:10 malam.
Aku menggeser rambutku sedikit dan mencari-cari luka bekas gigi taring Jason di sekitar leherku. Hanya ada dua titik tipis yang mulai samar.
Apa ini akan menghilang? Syukurlah aku tidak perlu melihat leherku berlubang. Dan itu pasti sangat mengerikan.
Aku berjalan keluar dari kamarku dengan tas kecil dan jaketku. Lalu turun ke bawah. Tepat di ruang makan dengan meja panjang ini, Jason sudah duduk dengan makanannya.
Sementara di ujung meja, ku lihat sebuah piring, gelas, semuanya sudah tertata rapi. Ku rasa itu untukku.
"Bagaimana kondisimu, Miss Alisca?" Tanya Jason begitu aku menduduki kursiku di ujung meja.
Kami duduk saling berhadapan dengan jarak yang cukup jauh karena panjang meja ini.
"Hanya sedikit pusing," Jawabku yang masih merasa belum stabil.
Aku melirik piringku yang berisi satu potong besar steak, massed potatoes, beberapa sayuran dengan potongan julienne, dan satu gelas berisi cairan kental yang lebih menarik perhatianku.
"Ku rasa kau harus segera meminumnya, Olivia."
Aku terdiam sejenak. Sebelumnya aku tak pernah suka orang lain memanggilku Olivia.
Aku benci nama itu karena Olivia adalah nama yang diberikan orang tuaku, sebelum meninggal. Aku tidak yakin apakah mereka meninggal atau sengaja meninggalkanku. Tapi aku benci nama itu, untuk alasan yang belum pasti.
"Olivia, kau baik-baik saja?"
"Panggil aku Livia saja, atau Alisca, atau Jasmine." Sergahku dengan cepat. Kemudian aku melanjutkan, "Ya, aku baik-baik saja, Jason."
Aku meminum cairan kental berwarna merah itu sambil melirik ke arah Jason yang mengerutkan keningnya ke arahku.
Ia memerhatikanku seolah ingin menanyakan sesuatu, tapi ia menahannya.
"Bagaimana rasanya? Ku rasa tidak begitu terlihat pengaruhnya setelah kau.. menghisap darah manusia" Tanya ku kemudian melirik ke sekeliling mencari Elise.
Agak aneh juga mengatakan kalau Jason baru saja menghisap darahku, walaupun Elise juga seorang vampir. Dan ku rasa tenaga ku sudah kembali pulih setelah aku menghabiskan darah ayam ini.
"Kau tidak akan melihatnya, Livia. Tapi intinya, aku sangat menyukai darahmu." Bisik Jason dengan tatapan yang tak lepas dariku.
Potongan daging steak yang hampir saja masuk ke dalam kerongkonganku rasanya tertahan begitu saja. Aku berdehem satu kali kemudian kembali menegakkan posisi dudukku.
"Apa kita bisa mulai sekarang, Mr. William?" Tanyaku dengan tak sabar.
Jason menaruh pisau dan garpunya di atas piring kemudian meminum wine putihnya. Ia seolah menyiapkan diri untuk segala pertanyaanku.
"Jadi, bisakah kau jelaskan, kau itu vampir seperti apa, Mr. William?"
Jason tertawa pelan kemudian kembali menatapku dengan mata indah berwarna biru yang dimilikinya.
Dan kedua mataku akhirnya menangkap hal lain yang menjadi perhatianku. Bibir Jason, yang menempel di leherku tadi. Oh tidak, Liv kembali fokus!
"Ku rasa kita akan mulai dengan bangsamu dulu, Livia. Itu akan sangat berguna untukmu."
Dia benar. Dan aku sudah memikirkan itu sebelumnya, sungguh. Tapi saat ini kenapa aku lebih penasaran dengan dirimu, Jason!
"Oke, kau benar. Vampir berdarah campuran. Apa itu vampir berdarah campuran secara jelasnya? Dan mengapa jenis mereka ada?"
"Aku menjawab sesuai pengetahuanku, Miss Alisca." Ucap Jason. Ya, tentu itu yang aku harapkan. Aku tidak ingin mengambil informasi dari internet atau buku yang belum tentu bersumber dari vampir itu sendiri.
"Aku sangat yakin atas wawasan pengetahuanmu, Mr. William." Jawabku tersenyum.
"Awalnya vampir berdarah campuran tercipta dari pernikahan seorang vampir keturunan darah murni dengan seorang penyihir, kemudian mereka memiliki anak, itulah vampir berdarah campuran." Jawab Jason kemudian bangkit dari kursinya.
Ia mengambil kembali botol wine lalu menuangkannya di gelas miliknya.
"Semakin ke sini, peradaban vampir pun mulai berevolusi. Vampir berdarah campuran mulai tercipta dari pernikahan manusia dan vampir keturunan pureblood. Mereka hidup berkelompok. Tapi pada pertengahan abad 20, kebanyakan dari mereka mulai beradaptasi dengan manusia. Walaupun tak mengungkap identitas mereka." Jelas Jason dengan tenang.
Aku suka caranya menjelaskan semua ini. Terlihat tenang, santai, tapi serius. Dan berkali-kali lipat mempesona karena pengetahuannya yang memadai.
Pantas saja ia menjadi pengusaha yang kaya raya. Kalau ku perhatikan, Jason adalah orang yang sangat disiplin, teliti, dan rapi.
"Sepertimu, Miss Alisca. Mereka tidak akan terlihat aneh di dunia manusia. Tapi vampir pureblood cepat mengenali mereka." Ucap Jason kemudian kembali duduk di kursinya.
Pantas saja Jason langsung mengetahui ku saat itu. Aku pikir dia menguntitku. Tapi sekali lagi, insting seorang pureblood memang harus ku akui.
"Jadi, bagaimana caranya aku bisa mengetahui bangsaku? Aku bahkan tak menyadari kalau.." Ucapku terputus kemudian aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Aku masih belum melihat Elise. Kemudian aku melanjutkan kalimatku tadi, "Aku bahkan tidak menyadari kalau Elise sama denganku."
"Seorang pureblood akan menggunakan insting mereka yang kuat juga bau darah dari setiap jenis vampir. Tapi vampir berdarah campuran, mereka memiliki sebuah tanda, Miss Alisca." Jawab Jason kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja.
Baru saja aku akan membuka mulut lagi untuk bertanya, Jason sudah menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan stopwatch telah mati tepat di menit 15, 20 detik.