BAB 24 : Permintaan tentang piagam

Siang hari ini terlihat dari langit sepertinya, akan turun hujan. Gumpalan awan hitam mulai menggelap.

Jam pelajaran masih berlanjut, setelah istirahat dan sudah masuk ke pelajaran ke lima.

Dalam kelas terlihat sosok saka yang sedang memainkan Handphonenya, tanpa peduli dengan materi yang disampaikan oleh guru di depan, ia duduk paling belakang dan lumayanlah dirinya tidak terlalu di perhatikan oleh guru.

Saka memang sudah biasa memainkan Handphonenya di dalam kelas walaupun ada guru, dirinya sering menyibukkan diri dengan tontonan horor, tapi volumenya ia kecilkan agar tidak terdengar.

Guru yang sedang menjelaskan materi di depan, mengalihkan pandangannya pada saka yang sedang duduk santai, dengan arah mata yang tertuju kepada sesuatu.

Lalu berjalan kearah bangku saka, ada beberapa murid yang juga mengalihkan pandangannya kepada guru mereka yang sedang berjalan menghampiri saka.

"Ekhem ekhemm." Guru itu berdehem, sambil mengambil handphone saka yang berada di atas meja.

Saka mengalihkan arah matanya, yang langsung di pertemuan oleh wajah sangar sang guru.

"Kamu sekolah tapi tidak memperhatikan penjelasan guru di depan, lalu kamu ingin mendapatkan nilai seenak jidat!." Lanjut sang guru memberi teguran pada saka.

"Aduh pak, saka gak ngerti sama penjelasan bapak yang berbelit-belit itu." Sahut saka, sambil bangkit dari duduknya untuk meraih handphonenya yang berada di tangan gurunya itu.

"Saya sudah menjelaskan dengan rinci, kamunya saja yang tidak mau mempelajari." Gurunya mencoba mencegah saka untuk mengambil handphone yang sedang ada di tangannya.

Saka menatap gurunya dengan datar, sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.

"Saya tahu ini salah, tapi otak saya juga butuh istirahat pak."

"Apa istirahat satu jam itu kurang?." Tanya sang guru, dengan menarik baju sekolah saka.

Baju sekolah yang di kenakan saka di keluarkan dan dia tidak memasukkan bajunya ke dalam celana padahal agar terlihat rapi.

Sedangkan para anggota kelasnya yang melihat adegan itu, menahan tawa melihat saka yang sedang di tegur oleh sang guru.

"Pak, si saka emang kayak gitu mau gimana, memang itu udah jadi rutinitasnya." Ujar seorang siswi, dengan ekspresi mengejek ke saka.

"Biasalah pak, saka emang gak paham ama omongan bapak." Sambung seorang siswa juga yang sebenarnya tidak suka dengan kehadiran saka di kelas XI IPS II.

Padahal kelas XI IPS II ini adalah kelas yang terbilang memiliki murid-murid pintar setelah IPS I, entah beberapa anggota sekelas merasa bingung dengan saka yang bisa berada di kelas IPS II itu.

Yang sebenarnya semua murid di acak, bukan di pilih dari dia pintar dan bodohnya agar mendapatkan kelas IPS I, II dan seterusnya, sedangkan beberapa orang yang menganggap diri mereka pintar, saja berbangga.

"Sudah, kalian ini sama saja bersikapnya." Bela sang guru, lalu mengembalikan handphone saka.

"Baiklah, karena ini adalah mata pelajaran seni maka saya sebagai guru, meminta kalian untuk berpresentasi."

"Presentasi apa pak!." Tanya gara, berharap tidak yang sulit-sulit.

"Kalian cari lagu apapun, lalu hapalkan dan bernyanyi di tengah lapangan sekolah."

"APA!." Para murid melototkan matanya, bernyanyi?

"DI TENGAH LAPANGAN?"

"Yang bener aja pak."

"Malu lah pak."

"Bener pak, di tengah lapangan lagi. Nanti bisa di liatin ama adek kelas terus kakak kelas pak."

Mereka semua langsung frustasi dengan tugas yang diberikan oleh guru seni, bernyanyi di tengah lapangan itu terdengar tidak bagus pikir mereka.

"Saya tidak peduli, presentasinya akan di lakukan minggu depan. Jadi waktu itu kalian harus hapal, jika ada yang bolos dan pura-pura sakit saya tidak akan segan memberi nilai F pada pelajaran Seni kalian!." Jelas sang guru, dengan santainya lalu duduk di bangkunya.

"Mendingan mati aja gua!." Pasrah seorang murid laki-laki.

"Pindah planet aja lah."

"Gak seru lah pak."

"Malu anjir!."

"Lagu jenis apa pak?." Tanya seorang siswa yang berkacamata.

"Seterah kalian, ingin tentang cinta, patah hati, tentang orang tua, kesepian, dan itu pilihan kalian. Mau pop, rock, dangdut dan lainnya boleh."

"Ini sekolah atau apa, masa iya di suruh nyanyi lagu tentang cinta, aneh bener ini sekolah!." Batin gara yang juga ikut tidak terima.

Sedangkan dari tadi Ronal hanya menyimak, dia berpikir apa dengan bernyanyi dia bisa mengungkapkan isi hatinya yang sedang kacau ini.

"Pak apa boleh nada lirik lagunya, mencari di hp?." Tanya saka, langsung di beri tatapan bingung anggota kelasnya.

Sedangkan sang guru seni itu, juga sama bingungnya berpikir tumbenan sekali saka ingin bertanya.

"Hmm tidak seperti itu, tapi menggunakan alat musik." Jawab sang guru

"HAH?"

"Alat musik pak?."

"Berarti harus hapalin not musiknya dong."

"Masa gitu pak."

"Ini tugas dari guru seni, dan untuk alat musiknya kalian bisa meminjam milik sekolah yang berada di ruang musik, seterah kalian ingin menggunakan piano, gitar atau juga biola."

"Hiks nasibnya."

"Pilihan yang benar, mendingan sakit beneran aja lah."

"Gua gak pinter main musik."

"Sumpah, suara kayak kapal pecah gini di suruh nyanyi, bisa langsung hujan nanti."

Saka mencoba mempertimbangkan tentang bernyanyi itu, dengan senyum miringnya saka mengajukan syarat pada sang guru.

"Pak kalo saka, nyanyi dan lumayanlah. Dapet apa?." Ujar saka

"Dapet nilai lah sak." Timpal gara

"Emang dapet nilai, selain itu ada gak pak?."

"Emang lu bisa nyanyi?." Ucap salah satu murid laki-laki

"Orang kayak lu bisa apa?."

"Ekhem memang kamu ingin apa?." Tanya sang guru mengalihkan pembicaraan.

"Piagam pak." Sahut saka dengan lantang, dengan posisi langsung berdiri.

"Kamu yakin?." Ragu sang guru sambil mengerutkan dahinya.

"Yakinlah, kalo ada imbalan saka mau."

"Baiklah, saya akan coba berbicara pada kepala sekolah dulu tapi jika cara bernyanyi kamu bagus."

"Ok, jangan ngeremehin."

"Saya permisi dulu, sepertinya jam saya sudah selesai."

Setelah berbicara itu, sang guru keluar dari kelas XI IPS II itu, dan kelas kembali ricuh lagi.

"Sak lu emang bisa nyanyi?."

"Gak tahu."

"Goblok, tadi pengen piagam sekarang di tanya bisa nyanyi di jawab gak tahu." Ujar gara, sambil menghampiri meja saka.

"Cuma iseng."

"Dahlah sak, Ron lu kenapa dari tadi diem aja?." Tanya gara, menatap kearah Ronal yang sedang menutup wajahnya dengan buku.

Ronal tidak menjawab pertanyaan dari gara, dia memilih untuk tidur sebentar menunggu guru selanjutnya datang.

"Woy RON!." Teriak gara, tapi tidak di hiraukan oleh Ronal.

"Berisik." Celoteh saka menatap datar gara, sambil memasang earphone di telinganya.

"Lu berdua sama aja, heran gua." Dari pada tidak ada yang menghiraukan ucapanya, gara memilih kembali ke bangkunya.

***

Di ruangan kepala sekolah saat ini!

Terlihat Reagan sedang menunggu ucapan keluar dari salah satu guru seni, bernama Sanjaya.

"Jadi ingin berbicara apa pak?." Tanya Reagan, dengan tangan kirinya bermain trik menggunakan penanya itu.

"Begini tuan Reagan, saya minta izin untuk praktek nyanyi di lapangan. Apa di izinkan?." Jawab Sanjaya

"Tidak masalah."

"Dan salah satu murid yang bernama saka, mengajukan persyaratan pada saya jika dia bernyanyi bagus, maka dia harus mendapatkan sebuah piagam apa boleh tuan Reagan?."

"Piagam penghargaan begitu?." Sambil mengernyitkan alisnya.

"Iya tuan, saya juga ragu."

Tiba-tiba pembicaraan mereka di sambung oleh seseorang, yang masuk ke ruangan Reagan juga.

"Tentu saja."

Sang guru dan kepala sekolah, mengalihkan tatapannya pada kedatangan orang itu yang ternyata adalah Evans.

"Ada apa Evans?." Tanya Reagan, dengan mengangkat alisnya sebelah.

"Saya dengar, saka ingin bernyanyi dan meminta sebuah penghargaan." Ucap Evans

"Iya itu benar Evans, memang kenapa?." Sanjaya menatap Evans.

"Sudah di izinkan, maka silahkan anda keluar dulu." Evans langsung duduk di sofa ruangan kepala sekolah, bermaksud memberi ucapan itu pada Sanjaya.

"Oh kalau begitu saya permisi dulu, terimakasih tuan Reagan." Sanjaya berdiri dari duduknya, lalu membungkukkan badan hormat pada kepala sekolah, dan berlalu pergi dari ruangan itu.

Reagan menatap Evans yang duduk dengan santai, apa lagi tatapannya dari tadi seperti ingin memakan seseorang saja, Reagan mengerutkan dahinya, berpikir untuk apa Evans datang ke ruangannya?.

"What's wrong Rhys?" Tanya Reagan

"Let saka get the charter." Sambil menatap Reagan dengan mata tajamnya itu.

"Why did you Arrange?." Membalas dengan tatapan mata elangnya.

"He is mine, whatever he wants he must get!"

"Do you really like him?."

"Hmm."

"Ok, i understand."

"If you don't understand, I will make you understand with my request!." Setelah selesai berbicara itu, Evans keluar dari ruangan Reagan.

Sedangkan Reagan hanya menatap kepergian, Evans dari ambang pintu. Lalu menghembuskan nafas beratnya, adiknya akan mulai gila karena cinta.

"Merepotkan ku lagi!."