Di malam hari ini, teriakan yang menyakitkan itu datang kembali, tanpa ada sebuah undangan.
Sayatan demi sayatan menggores tubuh yang terdiam kaku, dalam malam yang dingin.
Coba berteriak dalam hening, tiada ketenangan hanya sebuah kericuhan yang terjadi pada malam yang sunyi ini.
Terkadang keheningan adalah pengungkapan yang histeris.
"Dasar kau anak tidak berguna, aku menyesal sudah melahirkan mu!."
Plak...
"Hiks hiks mama jangan."
"Ini akibatnya jika kau menjadi nakal!."
Plak...
"Akhh hiks sakit."
"Jangan cengeng, apa kau tidak bisa memberi mama mu ini ketenangan sebentar. Benar-benar merepotkan!."
"Mam!, Hiks jangan pergi."
"Mama marah, jangan pergi, jangan pukul lagi, takut, dingin, mama tidak suka, mama!.''
"Haaaa!."
Teriakan yang ketakutan itu menggema dalam sudut kamar, desiran angin menerpa kulit rasa dingin mulai menusuk hingga ke tulang rusuk.
Jendelanya terbuka memperlihatkan keindahan sang bulan yang sedang bertugas di malam ini.
Sosok yang tadi tertidur pulas, sekarang terbangun karena mimpi buruk yang terulang kembali yang terus berkelanjutan, dia mulai mengatur nafasnya.
Terlihat sebutir air mata jatuh, dia mulai memukul kepalanya sendiri, dan dadanya yang terasa sesak. Kenangan yang kelam datang lagi melalui mimpinya.
Hal yang buruk terjadi waktu dulu kembali, membuat sayatan dalam raga terbuka lagi rasa sakit, kecewa, sedih, dan hancur jika sudah mengingat kejadian masa lalu.
Kenapa saat malam yang sunyi dan tenang ini, terganggu dengan mimpi buruk yang selama ini dia coba hindari.
Kenapa dia selalu terbangun dalam keadaaan yang histeris, berteriak dan menangis.
Kenapa waktu tidurnya selalu sirna, sebab mimpi yang selalu berulang kali datang dengan kata yang menyakitkan.
Apakah dia tidak bisa mendapatkan ketenangan dalam malam?, tamparan keras mulai mengenai pipinya keadaan seperti ini selalu menyita kewarasannya.
"Kenapa?."
Kata itulah yang selalu ia ucapkan setelah mengalami hal yang buruk, tidak ada selain kata kenapa? Yang bisa mendeskripsikan keadaanya ini.
"Kenapa selalu seperti ini, siapa aku kenapa kegilaan ini membuat kewarasan ku semakin menipis!.''
Benar, kapan kegilaannya hilang? Apa selama ini dia sering kali melakukan kesalahan-kesalahan yang harus mendapatkan karma.
"Bisakah kau pergi, biarkan aku sendiri dalam sunyinya jiwa ini?."
Dia melanjutkan ucapannya, beginilah saat dia bangun mengutuk dirinya sendiri yang berpikir sebagai kesialan.
"Hahahaha, memang kewarasan ku akan mulai hilang mungkin setelah ini akan ada kesenangan tiada tara.''
"Kenapa aku bisa melewati hari-hari yang buruk selama ini, bahkan sampai sekarang?.''
"Apakah karena orang lain, teman, sahabat, keluarga, atau diri sendiri yang mencoba mencari kebebasan?."
Kata demi kata yang dia ucapkan, tapi pertanyaannya tidak ada yang menjawab? Kenapa ini terlalu sulit untuk dirinya sendiri.
"Semuanya pergi, tinggal papa yang ada dengan pertahanan yang masih tersisa, kenapa kau menyiksa diri ku?. Kau buat dunia ku berada dalam ombak besar, begitu bencikah sang semesta pada ku."
Dobrakan pintu membuat ia langsung membenarkan diri seperti sedia kala, seakan tidak ada yang terjadi.
Brak!
"Saka lu kenapa teriak?."
"Lu kenapa sak?."
Oh astaga, ia lupa jika ada dua orang yang menginap dirumahnya saat ini.
"Gua gak apa-apa, cuma kaget karena mimpi." Jawab saka
"Mimpi aja, kirain kenapa gua langsung kaget anjir dan langsung bangun buat nyari asal suaranya." Tutur Dralen, duduk di tepi ranjang saka.
"Gua baru aja tidur, terus malah bangun lagi karena teriakan kirain apa." Ucap Raditya, dengan ekspresi takut dan khawatir.
"Sorry bangunin lu berdua, coba Len lu hidupin lampunya."
"Mati lampu sak, liat ini gua aja pake senter hp."
Apa lagi ini, saka mengusap wajahnya yang terasa lelah dengan keadaan yang tidak berubah ini.
"Emang lu gak bayar tagihan listrik sak?." Tanya Raditya
"Setiap bulan gua bayar, ini PLN-nya aja lagi konslet.''
Raditya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, dan mulai merasa bersalah karena hal yang terjadi beberapa jam lalu.
"Sak gua minta maaf buat soal tadi."
"Santai aja, gak usah di pikiran gua dah biasa."
"Makasih sak." Raditya ingin menghampiri saka dan memeluknya tapi di cegah oleh tangan Dralen.
"Mau apa lu?." Dralen mendelik tajam pada Raditya.
"Peluk saka lah."
"Gua buat badan lu hancur, kalo berani nyentuh saka!." Peringat Dralen, lalu menarik kembali tangannya.
"Iya deh, sak ini jendela lu kebuka?." Raditya beralih dan berjalan kearah jendela kamar saka yang terbuka.
Raditya ingin menutup jendelanya, tapi di cegah oleh Saka.
"Biarin, angin pengen masuk."
"Ok lah, kayaknya di luar pemandangannya bagus deh. Ayo keluar, jarang-jarang loh liat bintang yang seterang ini." Ajak Raditya, sambil menyoroti kedua temannya itu dengan lampu handphonenya.
"Bener juga, kita bawa makanan jugalah biar lebih enak gimana?."
"Hmm, ayo keluar." Saka bangkit dari ranjangnya, rasa takut mulai hilang seperti biasanya.
Saat ini menunjukkan pukul 02:38 pagi!
Mereka keluar dari rumah, dan duduk di teras rumah dengan makanan yang mereka sudah bawa.
Tiga orang itu tenggelam dalam keindahan semesta, malam ini terlihat sunyi lampu-lampu di jalan dan rumah orang-orang mati, membuat sang bintang dan juga bulan terlihat jelas akan keindahan yang dimiliki.
Sampai Raditya membuka obrolannya.
"Andai emak ama bapak gua kayak bulan dan bintang, yang selalu menemani. Tapi kenyataannya itu cuma ekspetasi gua.'' Ucap Raditya, dengan tatapan matanya yang tidak luput dari langit di atas.
Dralen terkekeh kecil dengan ucapan Raditya barusan, sungguh itu menggelitik hatinya.
"Ehh lu kurang bersyukur jing!."
"Bukan gak bersyukur, emang kenyataan."
"Mau lu aja dah, gua cuma berharap semoga masa depan gua gak kayak bintang yang susah buat di dapetin dan di gapai." Balas Dralen, sambil memakan jajanan.
"Pinter juga lu buat kata-katanya, emang masa depan lu apa?."
"Gak mimpi dan pendamping hidup gua, itulah.''
"Soal mimpi mah lu bisa gapai asal mau berusaha, kalo jodoh emang dah di atur." Ujar Raditya, menikmati desiran angin yang berhembus.
"Emang sih."
"Nah kan, heh sak kenapa lu diem?." Raditya menatap kearah saka.
Saka tidak bergeming, tatapannya terus tertuju pada sang langit malam, wajahnya terlihat jelas terkena oleh sinar bulan, seakan bola matanya juga ikut memancarkan sinar.
"Saka entar lu kesambet gara-gara kebanyakan bengong." Sambung Dralen
"Gua cuma pengen menikmati malam yang jarang gua liat." Ucap saka
Dralen menepuk punggung saka, sambil tersenyum. Dan tatapannya langsung beralih ke atas langit.
"Gua harap lu bisa terus bertahan, dan jangan nyerah ama keadaan."
Saka tahu ucapan Dralen untuk memotivasi dirinya, tapi jika sudah lelah tidak apa juga kan ini terlalu menyakitkan?.
"Dan untuk lu Raditya, jangan lagi lu nanya hal pribadi orang lain walaupun buat rasa penasaran lu terjawab, semua orang butuh privasi juga."
Raditya terdiam sesaat, menghela nafas dan menjawab ucapan Dralen.
"Gua paham, gua minta maaf mulut ama pikiran gua selalu keceplosan."
"Ya tapi itu peringatan buat lu!."
"Bakal gua inget kok."
Saka hanya menyimak pembicaraan dua orang itu tanpa ikut menyambungnya, saat ini dia hanya diam dan menikmati keindahan malam hari ini.
"Kayaknya bentar lagi pagi, Raditya lu emang bawa seragam sekolah?."
"Bawa itu di mobil."
"Oh, gua harus pulang kayaknya jam lima nanti, kita nikmati waktu ini dulu bener gak?."
"Gua juga setuju, bener kan sak?."
"Hmm."
"Mungkin bentar lagi hidup juga ini lampu, jadi jangan hilangkan kesempatan ini. Ini sangat jarang buat gua."
"Hahahaha benar sekali."
Mereka terus menikmati indahnya malam dengan canda dan gurauan, sampai sang fajar hadir dengan sang matahari yang belum nampak sempurna di penghujung timur.
Selamat pagi semua, jangan lupa jalani pagi dengan semangat!.