Bab 10 - Dekor Tempat

Tubuh yang terkulai lemas di lantai serta memar di area punggung menghiasi penderitaan seorang Widya. Tak ada satupun yang menolongnya mulai dari ayah yang berjalan meninggalkan lalu ibunya ditarik paksa untuk ikut pergi.

Tak ada sisa tenaga untuk bangkit bahkan berdiri saja pun tidak mampu. Hanya dapat tertidur di lantai yang dingin, menusuk kulitnya namun sekarang tak akan terasakan. Akibat banyaknya luka yang diterima membuat rasa dingin tersebut hanyalah pemicu kecil.

"T–tuhan, Widya lelah…." Setelah mengatakan dirinya menutup mata, menghilangkan setiap rasa denyut di seluruh tubuh.

••••

"Tuan, seluruh permintaan yang anda inginkan telah selesai dilaksanakan."

Suara asisten pribadi Kenzi bernama Axel memberitahu. Lantas pria yang sedang berkutik dengan komputer langsung menghentikan aktivitas kemudian segera bangkit berdiri.

"Bawa aku ke rumah gadis kemarin dan antar kami ke gedung yang telah direservasi," kata Kenzi sambil berjalan keluar.

"Baik, Tuan." Axel bersuara tegas sambil menundukkan kepala saat tuannya melewati dia.

Dalam perjalanan hanya suara bising kendaraan menemani. Kenzi dari tadi melihat jam di tangan serta membuka dokumen yang berisi gadis yang akan dia nikahin.

Dari data diri yang ia lihat tampak gadis tersebut anak dari seorang pengusaha yang merupakan teman sang kakek. Fakta yang lebih mengejutkan adalah Widya merupakan anak yang disembunyikan kebenaran fakta dari ayah angkat, takut hal tak diinginkan terjadi.

"Gadis ini sungguh misteri."

Kenzi bergumam sambil memandang foto milik Widya yang sedang tersenyum manis di lembaran kertas. Pria tersebut merasa tertarik dengan fakta-fakta lain yang belum terungkap membuatnya semakin ingin menggali informasi.

"Sudah kau jemput dia?" tanya Kenzi tanpa mengalihkan tatapan.

"Sudah, Tuan," balas Axel seadanya.

Di lain tempat, seorang gadis tengah merapikan warung makanan yang telah dibuka sejak pagi. Belum ada pelanggan membuat Widya haru benar-benar sabar dan tetap tersenyum. Pernah ia dengar bahwa bila harimu tak penuh dengan senyum maka keberuntungan juga tak menghampiri. Sampai sekarang kata-kata tersebut menjadi motivasi dalam segala kesedihan hidup harus dijalani dengan senyum manis.

Merapikan kue-kue basah hasil adonannya, dua orang pria yang tak asing baginya tiba-tiba berdiri tak jauh dari warung. Matanya menyipit untuk memperjelas siapa orang tersebut.

"Lho, kalian?" kejut Widya dengan membulatkan mata.

"Selamat pagi, Nona! Tuan memerintahkan kami untuk menjemput anda," ujar para asisten tersebut.

Dengan kagetnya Widya bersuara, "Mau ke mana?"

Sontak kedua asisten saling bertatap satu sama lain. Kemudian menatap lurus mengarah Widya.

"Mohon kerjasama baiknya, Nona. Anda tak perlu banyak tanya sebab di akhir akan mengetahui juga."

"Akan tetapi–" Belum sempat bersuara penuh lebih dulu suaranya dipotong.

"Kami menunggu anda di sini."

Hanya bisa menghela napas lalu mulai masuk ke dalam rumah. Tinggal seorang diri dan belum menemukan orang tuanya membuat Widya benar-benar merasa tertekan. Berjalan gontai gadis itu mengganti pakaian, setelah bersiap barulah kembali pada dua asisten tadi.

"Mari ikut kami, Nona," ujar mereka sambil menuntun Widya berjalan naik ke dalam mobil.

••••

"Tuan, kami telah membawa nona."

Suara seorang asisten terdengar saat Kenzi sedang meneguk kopi yang berada di sebelah sisi. Menikmati rasa pahit yang terasa seimbang dengan manisnya susu membuat pria tersebut sampai memejamkan mata.

"Bawa dia masuk," balas Kenzi tanpa membuka matanya.

Suara pintu terbuka terdengar lagi. Kini langkah kecil dapat Kenzi rasakan dan dirinya sudah tahu bahwa gadis yang ia panggil masuk ke dalam ruangan.

"Tuan, nona telah kami bawa."

Perlahan kelopak mata pria itu mulai terbuka. Pemandangan pertama yang terlihat adalah seorang gadis dengan baju kekenduran sedang menunduk sambil memainkan jari-jemari. Garis bibirnya sedikit terangkat saat memandangi wajah gugup orang di depannya dan ia bangkit berdiri.

Dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, perlahan Kenzi mulai mendekat. Namun, sebelum benar-benar melakukan sesuatu terlebih dahulu di arahkan mata menatap asisten yang berdiri tepat di belakang Widya.

Seakan paham maksud dari tuan muda, mereka berpamitan untuk pergi. Tersisalah dua makhluk dengan pemikirannya masing-masing. Terlebih dengan Widya, dia semakin gugup saat berada sendiri di hadapan pria yang sebentar lagi akan menjadi suami.

"Nona, apakah kepalamu tidak pegal menunduk terus-menerus?"

Lontaran pertanyaan keluar dari mulut Kenzi. Dapat disaksikan reaksi gadis itu bergerak tak tenang, ia pun memutuskan memegang pundak si Widya.

"T–tuan…." ucap Widya takut.

"Suaramu begitu merdu dan aku membayangkan bagaimana suara itu memanggil namaku di malam pertama kita nanti."

Sontak perkataan Kenzi membuat kepala Widya terangkat ke atas. Perempuan itu merasa semakin waspada dengan pria di hadapannya. Maksud ucapan tadi sangat terdengar ambigu dan membuat bulu kuduk Widya merinding naik.

"Begitu sialnya aku karena akan menikahi gadis bisu," ujar Kenzi sambil menghela napas.

Begitu membuat Widya mencoba untuk mengeluarkan pertanyaan. "Ada gerangan apa tuan menyuruh saya datang?"

"Akhirnya anda bersuara," ungkap Kenzi sambil menarik tangan Widya untuk duduk.

Kini posisi yang begitu Widya benci. Bagaimana tidak? Lihat sekarang, saat ini Widya berada di pangkuan Kenzi yang sedang duduk di atas kursi kerja. Dirinya ditarik saat tangan pria tersebut membawa ke meja kerja. Terlebih lagi sekarang lilitan di pinggangnya yang membuat tubuh gadis itu semakin mendekat pada tubuh Kenzi.

"Karena aku merindukanmu," jawab Kenzi sambil mendekatkan wajah ke arah wajah Widya yang sudah merah padam.

Ada rasa ingin tertawa melihat rona merah di pipi Widya. Namun kembali lagi dengan gengsi yang dia tahan. Harus kelihatan berwibawa dan hanya sekedar menggoda.

Sambil menyapu lembut pipi tembem milik Widya, Kenzi bersuara, "Aku hanya bercanda. Sebenarnya ingin membawamu ke tempat pernikahan kita kelak."

Dengan spontan Widya bertanya, "Sekarang?"

Kenzi mengangguk-angguk lalu menarik tangan Widya untuk ikut berjalan ke arahnya. Dia membawa gadis itu masuk ke dalam mobil dan menyebutkan alamat tujuan pada sang asisten. Perjalanan pun dimulai, tetapi ada satu hal yang membuat Widya mencuri-curi pandang ke arah Kenzi. Tangannya terus digenggam oleh pria tersebut membuat rasa di hati Widya bergejolak.

Sesampainya mereka di sebuah gedung, tangan Kenzi tetap senantiasa menggenggam jari Widya. Begitu terus sampai mereka masuk ke aula di mana acara nanti akan diselenggarakan pada tempat ini.

Dari pandangan mata Widya, gadis itu benar-benar terkejut dengan kemewahan yang ada. Jujur saja dia tak pernah membayangkan akan menyelenggarakan pernikahan di sebuah gedung mewah, paling-paling di rumah atau bisa saja di gereja.

"Wah, beri penghormatan atas kehadiran Tuan Kenzi."

Sebuah suara datang dari arah kiri mereka. Terpampang seorang pria dengan kemeja putih tersenyum sambil menyatukan kedua tangan, seperti memberi salam. Hal itu membuat Kenzi hanya sedikit membungkukkan badan lalu memperkenalkan Widya.

"Dia calon istrimu?" tanya pria tadi dengan kaget lalu memandang penampilan dari bawah ke atas. Dapat ditangkap kalau penampilan yang cukup sederhana.

"Tuan Hendrick tak perlu memandang tubuh indah gadisku terlebih lagi sampai menilainya!" tegas Kenzi dan merapatkan pinggang Widya padanya.

Merasa disindir, Hendrick menjadi salah tingkah. Dia terus meminta maaf pada dua orang di hadapannya. Walau begitu, Kenzi hanya menatap datar tanpa bersuara.

"Dekorasi tempat sudah kita selesaikan 75% dan masih perlu waktu sekitar sepuluh hari lagi untuk menyelesaikannya. Terlebih lagi, Tuan Kenzi meminta tamu undangan lebih dari 500 orang."

Hendrick memberi penjelasan yang membuat mata Widya terbelak. 500 katanya? Widya sudah hampir pingsan. Orang sebanyak itu akan menghadiri pernikah palsu mereka dan itu tentu bencana bagi dia.

"Intinya tak boleh ada kesalahan sedikitpun!"

"Siap, Tuan! Tim kami tak pernah mengecewakan para pelanggan. Apalagi keluarga tuan menjadi prioritas tim kami."

"Baiklah kalau Tuan Hendrick sendiri mengerti. Kami izin untuk pergi," ujar Kenzi lalu meninggalkan ruangan.