Bab 11 - Fitting Baju

Setelah melihat tempat yang akan dipakai, sekarang Kenzi dan Widya berada di sebuah butik kepunyaan keluarga. Sudah sejak beberapa hari yang lalu asisten Kenzi memesan pakaian pernikahan dan saat ini akan mereka coba.

"Nona Widya! Senang berjumpa kembali denganmu," sapa Stefanie sambil mencium pipi kanan dan kiri Widya.

Gadis itu membalas, "Senang bertemu denganmu juga, Nona."

"Bagaimana dengan permintaanku?" Tanpa basa-basi Kenzi bertanya secara gamblang.

"Tenang saja! Nona Widya bisa ikut denganku," ajak Stefanie sambil menarik tangan Widya.

"Lalu aku?" tanya Kenzi sambil menunjuk diri.

Dia menepuk keningnya sambil memekik kencang ke arah banyak orang, hal itu membuat semua menutup telinga.

"Astagaaa! Astagaaa! Daveee!"

"Iya, Nona," jawab pelayan prianya.

"Kamu tolong persiapkan kebutuhan tuan yang berada di belakang!"

"Sekarang, Nona?" tanya pelayan itu dengan lemotnya.

Raut tiba-tiba berubah menjadi merah, Stefanie mencoba untuk menarik napas agar tak terbawa emosi. Kemudian dirinya tersenyum lebar, bahkan lebih lebar dari kesabaran yang ia miliki.

"Besok, Dave..." jawab Stefanie dengan nada lembut.

Namun tak mengerti maksud dari ungkapan sang atasan membuat Dave hanya mengangguk tak lupa wajah yang terlihat bingung. Saat ingin berbalik, tangannya lebih dulu ditahan.

"Kamu mau kemana, Dave?" Nada suara terdengar seperti kesal namun tertahan.

"Lho, kan nona bilang besok berarti saat ini saya mau kerjakan pekerjaan yang lain dong."

Ya beginilah Stefanie harus sabar-sabar menghadapi para pekerjanya. Untung saja dia tak seperti para atasan umum yang suka marah dan tegas. Menganggap bahwa para bawahan bukanlah bawahan melainkan teman seperjuangan, menjadikan siapa saja yang bekerja dengannya merasa nyaman.

"Astaga bukan begitu maksudnyaaa!"

"Lalu maksud nona bagaimana?"

"Hadehhh! Sekarang kamu persiapkan keperluan tuan itu," ujarnya sambil menunjuk ke arah Kenzi lantas pelayan tadi mengangguk dan mengarahkan Kenzi untuk ikut dengan dia.

Kini Stefanie dan Widya berjalan menuju ruang ganti. Saat melangkah terdengar sedikit kekehan dari mulut Widya.

"Jarang-jarang melihat anda tersenyum. Padahal sangat manis, mengapa tak menunjukkannya?"

Seketika wajah Widya kaku dan menatap ke arah Stefanie. Namun wanita itu mengerti kondisi Widya yang dilihat tak baik-baik saja. Apalagi paham bagaimana sifat asli Kenzi sebenarnya yang begitu keras kepala dan penuh ego.

"Nona Stefanie sangat baik terhadapku, terima kasih banyak."

"Jangan memanggilku nona karena merasa diriku terlalu tinggi. Panggil nama saja."

"Kalau begitu panggil aku juga dengan nama."

"Tentu saja, Widya. Mari kita berteman?" Stefanie menjulurkan tangannya dan di balas oleh Widya senang hati.

"Kalau begitu silakan masuk ke ruang ganti dan akan kubantu memakai gaun ini."

Widya mengangguk lalu masuk sesuai perintah. Di dalam sini dia tampak bercermin sebentar dan pelan-pelan menampilkan senyum. Kemudian memegang wajahnya yang kata Stefanie terlihat manis. Tak lama memandang, dia pun beralih fokus untuk mengganti pakaian.

Sekitar sepuluh menit berganti, kini Kenzi sudah berada di ruang tunggu, menunggu Widya untuk keluar. Dirinya sudah memakai tuxedo hitam sesuai dugaan terlihat sangat tampan. Tahu sendiri kalau pria sudah memakai setelan pakaian berwarna hitam maka tingkat ketampanan akan bertambah dua kali lipat.

Berdecak karena calon mempelai wanita belum keluar juga dia hanya bisa melihat jam tangan bolak-balik. Tak berselang lama, tirai terbuka dan muncullah sosok gadis bergaun putih berjalan mendekat. Jantungnya berdebar kencang saat melihat keindahan bak dewi. Tak menyangka bahwa pakaian yang telah dipersiapkan akan secocok ini.

Matanya tak berkedip sedikitpun. Tampilan wajah polos dengan gaun indah menunjukkan kecantikan natural dari seorang Widya. Sedangkan Stefanie yang melihatnya sudah menahan tawa dan berniat untuk menggoda dengan berdehem sekali. Tak ada respon dari pria tersebut, kembali dia lakukan lebih kencang.

"Ekhem… ekhem…."

Seketika Kenzi berkedip berulang kali sambil menggaruk tengkuk leher yang tak terasa gatal. Stefanie hanya bisa menggeleng melihat sikap gengsi kliennya ini.

"Menurutku sudah sangat cocok dan tak ada perubahan tapi balik lagi ke kalian. Bagaimana? Apa fiks seperti ini?"

Pertanyaan dari Stefanie mengalihkan semua. Kini Kenzi berdehem sebentar sebelum dia menjawab.

"Ya, kami akan memakai pakaian seperti ini. Jangan ada kesalahan sedikitpun."

Namun sebelah alis mata Stefanie naik. Dia malah berputar menatap ke arah Widya yang sedang menunduk diam.

"Tidak bertanya pendapat pada calon istri terlebih dahulu?"

Lantas saja Kenzi menatap lurus pada Widya. Terdiam sebentar sebelum suaranya melanjutkan, "Kuyakin jawaban dia akan sama."

"Widya, bagaimana menurutmu?" Stefanie malah bertanya pada Widya.

Ragu-ragu Widya menatap ke arah Kenzi dan Stefanie berulang kali. Mulutnya bergetar untuk menjawab namun lebih dulu Stefanie berujar membuat ia berkata dengan cepat.

"Mengapa diam saja? Sudah kukatakan di dalam bukan?"

"I–iya. Aku suka dengan gaun itu."

Hanya bisa menghela napas pasrah Stefanie mengangguk lalu berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah buku serta pulpen.

"Baik, silakan katakan kapan dan dimana kami akan mengantar pakaian-pakaian ini?"

"Urusan itu selesaikan dengan para asistenku. Kalau tak ada hal penting lainnya aku dan calon istriku izin pulang."

Kenzi berjalan keluar, namun sebelum itu tangannya sudah lebih dulu menarik pinggang Widya untuk ikut. Gadis tersebut tampak diam dan mengikuti langkah.

Di dalam mobil Kenzi membuka suara, "Anda ingin makan apa?"

Kepala gadis itu menoleh lalu menggeleng membuat Kenzi menggerutu dalam hati. Mulutnya sudah bersiap untuk berbicara namun harus terhenti saat Widya memotong.

"Tuan, bolehkah kita langsung pulang? Perutku rasanya sangat tidak enak."

Mendengar ucapan Widya membuat Kenzi mengerutkan alis dan mengarahkan tangan menuju titik yang dibilang gadis itu. Perut rata yang terasa hangat sebab dia menyibak kaos kekenduran dan menempelkan telapak tangan di atasnya.

Widya sendiri terdiam sejenak, dapat dia rasakan sentuhan hangat yang pria itu berikan. Memang sekedar menempelkan, tetapi entah mengapa rasanya perut lebih enakan.

"Rasa sakitnya di sebelah ini?"

Seperti terhipnotis Widya mengangguk. Otak dan hati tampak bertolak belakang sebab hatinya ingin merasakan lebih lama kelembutan pria itu namun, otaknya? Meronta-ronta mengatakan bahwa dia adalah gadis bodoh yang hanya bisa dikalahkan dengan kelembutan.

"Apa sekarang lebih baik?" Kembali sang pria bertanya.

"Iya, Tuan," jawab si gadis namun tiba-tiba kesadaran datang membuat ia buru-buru menutup perut dengan kaus sambil memberi jarak antara keduanya.

Lain hal dengan Kenzi, dia malah tersenyum miring dan menegakkan duduk. Serta memberi perintah pada asisten untuk membawa mereka menuju resto agar dapat makan terlebih dulu.

Saat ini mereka telah duduk di sebuah resto langganan milik keluarga Gideon membuat para pelayan serta koki sudah mengenal dan mengetahui apa dan siapa yang akan mereka sambut.

"Beri penghormatan buat Tuan muda dan Nona muda Gideon," ujar mereka serentak sambil membungkukkan badan.

"Menu hari ini akan dimasak oleh Chef Aron, Tuan." Asisten Kenzi memberi penjelasan dan diangguki oleh Kenzi sendiri.

"Nona, anda ingin menu apa?" Suara Kenzi bertanya dengan lembut ke arah Widya yang sedang duduk tak tenang.

Gadis tersebut menatap seluruh pelayang serta koki yang berkeliling mengitari mereka membuat Widya gugup. Tangannya dengan setia membuka buku menu dan hal itu membuat kebingungan semakin meledak. Lihat saja harga makanan melebihi biaya kehidupannya sebulan. Terpaksa Widya menggeleng sebagai jawaban.

"Berarti seleramu sama denganku," ucap Kenzi dengan senyum tipis lalu menatap ke arah para waiters. "Menu beef dan ayam seperti biasa completed menu," sambungnya lagi.

Mereka menunduk lalu berjalan menuju ruang kerja masing-masing. Alunan lagu mengisi keheningan, Widya sendiri menikmati musik-musik yang terdengar. Dengan mengetuk-ngetuk jari di meja dia bersenandung kecil. Kegiatan yang dia lakukan ternyata tak lepas dari pandangan Kenzi. Pria itu menatap dengan tatapan serius ke arah si gadis dan tak tahu apa maksud di baliknya.