Bisa dibilang sebagai bentuk permintaan maaf dan supaya hubungan mereka membaik, Viki berjanji akan membawa Arum untuk jalan-jalan penuh dua hari ini. Jadilah hari Sabtu, Arum yang meminta bantuan untuk diantar bertemu dengan salah seorang agen penjualan tanah. Sedangkan hari Minggu, Viki yang berinisiatif membawa Arum juga sang mama dan Tante Tini untuk makan siang. Tentu saja niat terselubungnya ingin mendapat restu dari keduanya yang bisa dibilang adalah keluarga terdekat Arum saat ini.
"Mau kemana aja sih kita hari ini?" tanya Viki pagi itu saat bersantai di teras rumah Arum.
"Kalo hari ini sih aku pengen liat tanah. Di kabupaten, tapi perbatasan kota. Harganya sih murah, DP-nya murah, terus bisa dicicil lagi. Penasaran pengen liat lokasinya!" jelas Arum bersemangat.
"Ya udah, mau berangkat sekarang?” tawar Viki dan Arum mengangguk.
"Iya langsung aja yuk. Keburu siang," Arum sudah siap memasang kaos kakinya.
"Aku belum pamit mama kamu loh?" tanya Viki.
"Udah aku pamitin," Arum sudah membawa pria itu masuk ke dalam mobil Viki.
Arum memang sudah siap dengan celana jins hitam dan kaos polo merah. Tak ketinggalan ransel mini dan sepatu kets kesayangannya. Sedangkan Viki tampak manis dengan celana jins dan kaos hitamnya. Viki mulai melajukan mobilnya kini membelah jalanan Kota Malang yang cukup terik.
"Kita mau kearah mana nih? Jauh tempatnya?" tanya Viki yang memang belum terlalu paham area kabupaten.
"Kearah stadion kabupaten aja dulu. Itu juga masih lurus terus. Kalo liat di map sih kurang lebih sejam perjalanan," jelas Arum sambil melihat layar ponselnya.
"Emang kamu ada rencana beli tanah?" tanya Viki tiba-tiba.
"Iya kepengen. Cicilan rumah aku kan bakalan lunas dua bulan lagi. Sekalian gosipnya sih bonus tahunan kantor cair bulan depan. Lumayan banget bisa buat investasi ke lainnya. Hehehe," cerita Arum panjang lebar.
Viki hanya mengangguk saja. Dia sudah tahu kalau ini memang kegiatan favorit Arum. Mencari rumah atau tanah murah yang bisa menjadi ladang investasi. Paling penting lokasi strategis dan kemungkinan pengembangan di masa depan. Daripada membeli mobil atau perhiasan, dia memang lebih suka bermain properti. Saat ini sebuah rumah sudah dia dapatkan. Walau awalnya memang lingkungan rumahnya sepi, tapi sekarang menjadi ramai dan dikelilingi banyak fasilitas umum. Nilai jualnya pun sudah naik berkali-kali lipat.
"Gimana kabar bapak ibu?" tanya Arum dalam perjalanan.
"Alhamdulillah semua baik kok. Mama sendiri, kamu besok udah bilang kan sama mereka kalo aku ajakin pergi? Sama Tante Tini juga?" tanya Viki balik.
"Iya udah kok. Udah pada mau juga," jawab Arum.
"Besok kita cari tempat makan di sekitar rumah Tante Tini aja. Aku udah sempat tanya-tanya. Udah browsing juga. Nanti malem kalo emang bisa aku booking tempat dulu. Pokoknya kalian terima beres deh!" jelas Viki panjang lebar.
"Tumben banget siih... Hehehe. Ada udang dibalik batu nih kayanya?" tanya Arum menggoda.
"Hahaha. Adanya udang dibalik rempeyek! Ya aku cuman pengen kenal sama keluarga kamu, Rum,” elak Viki dan Arum membalasnya dengan anggukan.
Diam sesaat dalam perjalanan. Arum memutuskan untuk mendengarkan musik melalui tape di dalam mobil. Band favoritnya yang populer di Indonesia pada tahun 90an.
"Retta gimana? Masih sering hubungin kamu?" tanya Arum penasaran.
"Kok bahas dia sih, Ay? Emang enggak ada topik lain yang bisa diomongin?" tanya Viki jadi sedikit enggan.
"Ya aku kan cuman penasaran," kata Arum lagi.
"Ya kadang masih suka hubungin sih, cuman aku diemin aja," jawab Viki sedikit tidak suka karena Arum membahasnya. Arum cuma mengangguk saja kembali melihat jalanan di sebelah kirinya.
Setelah perjuangan melihat map di ponselnya. Dua kali melewatkan belokan. Dua kali juga harus putar balik. Akhirnya mereka sampai juga di lokasi. Bertemu dengan seorang agen tanah yang bernama Bu Wang. Setelah bersalaman mereka diajak masuk ke dalam kantor pemasaran sementara yang ada di sana. Hanya bangunan sederhana terbuat dari kayu dan triplek yang dibuat sepantas mungkin.
"Ini suaminya mbak Arum?" tanya Bu Wang sopan.
"Owh. Hehehe. Bukan Bu. Temen saya aja," kata Arum sopan tentu saja malu kalau harus menyebut kata pacar.
"Owh gitu. Saya kira suaminya. Keliatannya cocok gitu soalnya. Hehehe. Owh ya ini brosurnya dan ini sisa slot tanah yang tersisa Mbak. Silahkan diliat-liat dulu," Bu Wang memberikan beberapa lembar kertas.
Arum masih sibuk melihat lembaran-lembaran kertas di hadapannya.
"Di mana menurut kamu yang bagus? Kalo ini gimana? Apa yang itu?" tanya Arum meminta pendapat Viki sambil menunjuk kertas di hadapannya.
"Lah ya enggak tau aku, Ay. Kan kamu yang mau beli. Lagian kamu lebih ngerti masalah ginian daripada aku," jawab Viki seadanya.
"Ya kali ada pandangan," kata Arum singkat.
Siapa sangka sebuah kamera mengambil gambar mereka yang sedang sibuk bicara satu sama lain. Setelah beberapa lama mengobrol dengan Bu Wang tentang harga dan pembayaran juga lain sebagainya, Arum sepakat untuk membeli sebidang tanah dengan beberapa ketentuan yang prosesnya akan dibahas kemudian. Arum pamit undur diri pada Bu Wang dengan senyum lega terpancar di wajahnya.
Kegiatan mereka pun belum berakhir setelah mereka memutuskan untuk makan siang bersama. Arum mengaku senang hari ini karena sang pacar menemaninya kemanapun seharian ini. Ya mereka memang sering bertemu saat pulang kerja, tapi tidak ketika penghujung minggu karena selalu saja ada agenda Viki entah kembali ke Surabaya, olahraga atau jalan bersama teman-temannya. Arum kadang merasa kesepian karena teman-temannya yang lain pasti sibuk dengan keluarga masing-masing sedangkan sang mama yang sudah tidak begitu fit, lebih suka berdiam diri di rumah.
Bukan berarti Viki tidak perhatian, hanya saja Arum merasa bahwa Viki lebih sering menuntut perhatian. Sebagai pasangan dengan status yang lebih tua, Arum lebih banyak mengalah dan berakhir mencurahkan seluruh perhatiannya pada Viki dan mungkin tidak sebaliknya. Ya Arum memang jauh lebih dewasa dan mandiri, tapi kembali lagi dia tetap perempuan biasa yang butuh perhatian dan kasih sayang juga diperlakukan dengan baik.
Keesokan harinya pun, agenda kedua dimulai. Viki sudah tiba sebelum Arum dan sang mama siap. Lebih cepat 10 menit dari perjanjian. Semua untuk menunjukkan keseriusannya.
"Kok kilat? Mana rapi bener?" heran Arum yang melihat Viki sudah berdiri di depan pintu mobilnya sambil tersenyum aneh.
“Hahaha. Kamu nih orang baru dateng udah dikomentarin aja. Suruh masuk dulu kek salam dulu kek," kata Viki kemudian.
"Hehehe, iya iya maaf. Ya udah masuk dulu. Aku mau ganti dulu bentar. Sekalian nunggu mama masih ganti," saat Arum bilang sebentar maka itu memang sebentar. Arum bukan tipe wanita yang suka berdandan. Cukup bedak dan lipstik saja.
Viki memilih duduk di sebuah kursi kayu coklat sampai sang mama keluar duluan.
"Ayo, Rum! Lama banget sih ngapain aja?" panggil sang mama yang belum sadar kehadiran Viki.
"Loh… udah dateng toh, Vik. Tante kira belum. Maksud tante tadi Arum disuruh cepet biar kamu enggak nunggu lama-lama. Eh malah kamu udah duduk di sini," kata sang mama berbasa-basi.
"Ah iya enggak apa-apa kok, Tan. eEmang saya sengaja datang lebih awal," kata Viki tersenyum sopan.
Terdengar suara langkah kaki dari dalam. Sang mama dan Viki sampai takjub melihatnya. Viki bahkan sudah tersenyum senang saja yang menurut Arum terlihat aneh.
"Lah gitu dong jadi perempuan ya yang cantik. Pake rok sama dandan sedikit. Sekali-kali enggak masalah. Seterusnya juga ya enggak apa-apa sih," sang mama terkejut melihat anaknya yang tomboy itu sedikit cantik hari ini. Sedikit tentu saja.
"Bawel ah mama! Ganti baju lagi loh aku ini!" ancam Arum.
"Hahaha. Dibilangin gitu aja kok ngambek. Kan tante bener ya, Vik?" malah sang mama meminta dukungan Viki.
"Hehehe. Iya Tante, cantik kok. Arum pake apa aja juga bagus kok, Tan," kata Viki mencoba bijaksana.
"Tuh kan...! Ya udah ayo cepet berangkat ini makin siang takut tante udah nunggu!" ajak sang Arum yang tidak mau berlarut-larut dalam percakapan mengenai dirinya ini.
Arum mengunci pintu dan segera menggunakan flat shoes nya. Mengikuti sang Viki dan mama yang sudah masuk saja ke dalam mobil. Melirik Viki yang masih tersenyum aneh saja padanya.
"Apaan sih liatnya gitu banget. Mau dicolok?" ancam Arum pada Viki yang seketika bergidik.
"Astaga, ya namanya mata buat liat kali, Ay. Emang salah kalo aku liatin pacar aku sendiri?" Viki bicara lagi tapi segera fokus ke depan, tidak mau terlihat oleh mama Arum kalau sibuk bertengkar dengan putrinya.
"Kamu kabarin tante bilang kita udah berangkat. Biar dia juga bisa siap-siap," kata sang mama yang duduk di belakang.
"Ok siiip, Ma!" kata Arum sekenanya.
Perjalanan ke rumah Tante Tini lumayan juga butuh setengah jam perjalanan dengan mobil. Sepanjang perjalanan memang sedikit kikuk lebih banyak Viki mendengarkan Arum dan sang mama bicara. Tentu saja menyenangkan bagi Viki melihat calon istri dan calon mertuanya bicara. Membayangkan dua orang ini akan segera menjadi anggota keluarganya saja sudah membuatnya berbunga.
Akhirnya bersama sang mama dan tante, tiba juga mereka di sebuah restoran seafood yang sangat cantik. Nuansa pelabuhan sangat kentara dengan dekorasi ala pantai. Cukup ramai di hari Minggu dengan tamu yang datang. Tentu saja mereka sangat suka tempatnya. Sangat cocok untuk mama dan tante untuk berfoto ria. Tak mau kalah eksis dari Arum dan Viki yang masih muda.
"Ini ada apa sebenernya kok tiba-tiba Viki ngajak makan tante di sini?" tanya Mama Arum penasaran.
"Hehehe. Ya enggak ada apa-apa kok, Tan. Kan belum pernah makan bareng sama tante. Sama Tante Tini juga belum pernah ketemu kan. Ya silaturahmi aja," jawab Viki sopan.
"Owh gitu. Kirain ada apa?" Mama Arum menggoda.
"Hehehe. Enggak ada apa-apa kok tante. Kalo Arum kebetulan udah pernah ketemu orang tua saya. Pengen gantian aja gitu," jelas Viki.
"Owh, Arum udah pernah ketemu ortu kamu? Wah, ya bagus deh kalo selalu terbuka sama orang tua ya," puji Tante Tini.
"Iya, Tante," jawab Viki dengan senyum manisnya.
Sang tante beralih melihat Arum yang penampilannya berbeda siang ini, "tumben kamu hari ini feminim banget?"
"Hm, sama aja bahasannya sama mama!" kata Arum malas.
"Lah iya tumben banget kan ya. Hahahaha," ledek sang mama lagi.
"Arum nih dulu preman banget waktu kecilnya, Vik. Usiiil banget sama temen-temennya TK dulu. Sukanya marah-marah sama pembantunya di rumah. Banting-banting mainannya kalo udah bad mood. Kalo udah nangis… aduh satu kampung bisa denger loh!" cerita sang mama kemudian.
"Hm, mulai mulai... Mesti ceritain aib jaman dahulu kala!" Arum sudah sangat hafal dengan kebiasaan mamanya itu.
"Kok aib sih? Ya enggak lah Arum. Itu kenangan ya harus diceritain biar selalu ingat," bela sang mama.
Arum tentu saja tidak marah. Hanya malu kalau sang mama selalu membicarakan masa kecilnya, apalagi ke Viki. Walau tentu saja Arum tahu sebagai anak satu-satunya tentu sang mama kadang merasa rindu pada masa kecil putrinya dulu. Jangankan sang mama, Arum pun juga rindu.