Ana memakai baju hangat dan memasukan barang-barang pentingnya ke dalam salah satu handbag Prada dari Belle.
Setelah menghabiskan sarapan, Ia lalu mengambil kunci mobilnya, kemudian masuk ke lift yang membawanya ke tempat parkir di lantai dasar gedung apartemennya.
Ia menyibakkan cover mobil Audi RS 6-nya, segera masuk ke mobil, memanaskannya sebentar, lalu memacu mobilnya menuju Bandara Manchester.
Sesampainya di bandara, saat Ana turun dari mobil, seorang tukang parkir khusus VIP sudah siap untuk memarkirkan mobilnya, dan seorang staf bandara sudah menunggunya untuk mengantarkannya ke dalam pesawat.
Setelah satu setengah jam, Ana sudah berada di terminal 3 Bandara CDG, Paris, dan sedang diantar dengan sebuah mobil menuju terminal 2, agar Ana bisa kembali terbang ke Fontvielle. Proses ini akan menjadi lebih sederhana jika Ana memiliki jet pribadi, tapi Ana tidak sekaya itu.
Ketika Ana sampai di bandara Marseille, Hubert Martel sudah menunggunya di ruang kedatangan. Keduanya sudah berada di mobil, ketika Hubert memutuskan untuk memberitahu Ana sebuah kabar.
"Semalam Grand-Madame jatuh pingsan." Kata Hubert serius.
Ana langsung tegang mendengar kabar neneknya. "Lalu bagaimana nenek sekarang?"
"Beliau sudah tidak apa-apa. Syukurlah anda datang lebih dulu hari ini. Besok semua anggota keluarga juga akan sampai kemari." Jelas Hubert.
"Apa kata dokter?" Tanya Ana cemas.
"Gejala serangan jantung."
Ana yang sedari tadi tidak apa-apa walaupun melakukan dua kali penerbangan tanpa henti, tiba-tiba pusing mendengar kabar itu. Ia kembali teringat surat neneknya yang mengatakan ingin melihatnya menikah. Tapi jika nenek akan pergi secepat ini, bagaimana bisa Ia mengabulkan hal itu?
Ana bersandar lemas. Pemandangan di luar berlari melewatinya begitu saja. Keputusan yang bijak untuk mengunjungi neneknya setiap akhir minggu. Ia tidak ingin menyesali kepergian neneknya.
Begitu mobil berhenti di depan rumah, Ana langsung melompat keluar dari mobil, berlari masuk ke dalam mansion, dan segera berlari menyusuri koridor panjang menuju kamar neneknya.
Di dalam kamar, Anaïs sedang berbaring sambil menatap keluar.
"Nenek!" Ana langsung memeluk Anaïs.
"Oh, sayangku! Kau sudah datang." Anaïs sangat senang melihat Ana.
"Nenek menakutiku!" seru Ana ketika melepaskan pelukannya.
"Maafkan nenek, sayang."
"Nenek masih sehat-sehat saja waktu aku di sini akhir minggu lalu." Gerutunya.
"Tidak ada yang tahu kapan kita akan sakit, Ana. Jangan memarahiku seperti ini." Protes Anaïs.
Ana duduk di samping Anaïs, menggenggam dan membelai tangannya. Ana melihat wajah neneknya yang pucat. Neneknya memang putih, namun kali ini beliau terlihat lebih putih lagi. Ana kemudian merapihkan rambut di wajah neneknya.
"Seharusnya beritahu aku saat nenek pingsan."
"Aku pingsan tadi malam. Apa yang kau lakukan tadi malam?"
Ana terdiam sebentar. "Tadi malam, aku sedang makan malam bersama Elizabeth dan suaminya serta kolega mereka."
"Lagipula bagaimana kau akan terbang kemari semalam itu? Apalagi jika dalam keadaan panik." Protes Anaïs.
"Hubert langsung menelepon dan cucu dokterku segera datang, jadi jangan khawatir." Lanjut Anaïs lagi.
"Kak Damien yang memeriksa nenek?" Ana sudah lama tidak bertemu dengan Dokter Damien Simon, cucu dari saudara laki-laki Anaïs.
"Ah… Jika saja kalian tidak bersaudara, aku ingin menjodohkanmu dengannya." Goda Anaïs.
"Jika saja kami tidak bersaudara, aku juga ingin dijodohkan dengan Kak Damien yang manis itu." Ana balik menggoda. Keduanya sama-sama tertawa.