#12

Ana melihat raut wajah neneknya yang sudah mulai kembali segar. Di tengah obrolan mereka, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ana melihat nomor baru di layar, dan segera meminta ijin pada neneknya untuk menerima telepon.

Ana berlari ke halaman belakang, lalu menjawab telepon itu.

"Halo."

"Halo, Ana. Ini aku, Samuel." Suara di seberang menjawab.

"Oh! Hi, Sam! Ada apa?" Ana tidak menyangka Samuel akan meneleponnya.

"Apa kau sibuk hari ini?"

"Mm… memangnya ada apa?"

"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Dari pada kau sendirian di rumah."

"Oh… Maaf. Aku sekarang sudah berada di rumah nenekku di Perancis."

"Oh, begitu." Samuel terdengar kecewa. "Tapi bukankah tiket pesawat sangat mahal jika kau terbang di hari natal seperti ini?"

Lagi-lagi! Ana berusaha menyembunyikan kekayaannya. Selama ini selalu berhasil, bahkan terhadap mantan-mantannya dulu. Namun kali ini, bagaimana bisa Samuel mengatakan hal-hal yang sejak lama Ia hindari?

"Yah, aku menabung setahun penuh untuk ini." Jawabnya kaku.

Samuel terdiam sebentar, membuat Ana merasa gugup. "Baiklah kalau begitu. Selamat berlibur!"

"Iya, kau juga. Eh, ngomong-ngomong, apa Elizabeth yang memberikan nomorku padamu?"

"Iya. Apa kau marah?"

"Seharusnya. Tapi sudah terlanjur. Baiklah kalau begitu. Bye!" Ana langsung menutup telpon.

Elizabeth ternyata benar-benar berusaha keras untuk hal yang menyangkut perjodohan dan pernikahan. Lucu sekali dia.

Ana kembali ke kamar neneknya. Di sana sudah ada para pelayan yang membawakan teh dan juga cemilan. Keduanya menikmati suguhan itu.

"Siapa yang meneleponmu?"

"Kolega yang ikut makan malam kemarin."

"Pria?" Tanya Anaïs mnyelidik.

"Iya. Perawat yang bekerja dengan suami Elizabeth di departemen gigi, di rumah sakit."

"Apakah Elizabeth yang mengenalkan kalian?" Tanya Anaïs senang. Ana mengangguk.

"Seperti apa dia? Ceritakan pada nenek." Anaïs sangat bersemangat.

Ana menikmati sepotong kuenya dahulu, membuat Anaïs menunggu, hingga akhirnya menyerah.

"Aku sudah dua kali bertemu dengannya sebelum Elizabeth mengenalkannya padaku." Ana memulai ceritanya.

"Oh, Ana!" Anaïs terlihat sangat senang dan bersemangat, mendengar kisah cinta cucunya yang satu ini. Sudah lama sekali sejak Ana berpacaran.

"Pagi hari saat ulang tahunku, kami bertemu di café. Dia memberiku setangkai bunga mawar putih. Lalu sore harinya, kami bertemu lagi di supermarket."

"Kalian tidak langsung berkenalan?" goda Anaïs.

"Tentu saja tidak, nek." Ana menganggap ide itu aneh.

"Dan semalam akhirnya kami bertemu dan berkenalan secara resmi. Seperti kata Elizabeth, kami mempunyai vibe yang sama. Dia menyenangkan dan dapat menghidupkan suasana saat makan malam." Beber Ana.

"Oh! Aku hampir saja ketahuan." Kata Ana tiba-tiba.

"Ketahuan apa? Ketahuan bagaimana?"

"Aku memesan satu botol wine untuk kami dan Suami Elizabeth menegurku karena wine itu. Lalu pria itu mengantarku sampai ke apartemenku dan dia menanyaiku soal harga sewa apartemen." Jelas Ana.

Anaïs tertawa mendengarnya. "Apa yang kau katakan pada mereka."

"Nenek bisa membayangkan bagaimana gugupnya aku. Mana peduli aku jika harus membeli sepuluh botol wine sekaligus malam itu? Atau bagaimana aku bisa tahu jika harga sewa apartemen itu mahal atau murah, jika aku sendiri pun tidak pernah membayar sewa?" kata Ana frustrasi.

"Barusan dia bertanya jika harga tiket pesawat sangat mahal karena aku terbang saat hari natal." Kata Ana tak percaya.

"Astaga! Kau menjawab apa?" Anaïs tidak menyangka bahwa Ana akan mendapatkan pertanyaan semacam itu.

"Aku bilang bahwa aku menabung setahun penuh agar bisa membeli tiket hari ini." Jawab Ana heboh.

Anaïs menepuk jidatnya. Tidak percaya bahwa cucunya akan sepintar ini dalam berbohong demi menyimpan rahasia kekayaannya.

"Maksudku, bagaimana bisa aku tahu bahwa tiket akan mahal atau tidak, jika aku bisa terbang sesuka hati karena nenekku adalah co-owner perusahaan penerbangan?" Ana benar-benar bingung.

"Jika kau menabung setahun penuh, bukan hanya tiket pesawat yang bisa kau beli, Ana. Nenek percaya kau bahkan bisa membeli salah satu maskapai yang ada." Kata Anaïs santai.

Ana memutar bola matanya, membenarkan perkataan neneknya. Anaïs tertawa. Didikannya hanya berlaku terhadap Ana. Bagaimanapun Ia mengajari keluarganya untuk tidak memamerkan kekayaan mereka, namun semua itu tidak bisa mereka sembunyikan.

Selain membawa nama Archambeau yang membuat mereka mencolok, para cucu perempuannya juga sangat cantik, membuat mereka sudah menjadi model sejak kecil, membiasakan mereka memakai merk-merk mahal dan terkenal.

Sedangkan para cucu laki-lakinya yang tampan dan pintar, membuat mereka mudah mendapatkan jabatan dan menikmati fasilitas VIP.

Hanya Ana yang merasa nyaman dengan tidak memamerkan hal-hal yang Ia miliki. Mobil yang Ia beli-pun jarang Ia pakai di dalam kota Manchester. Menghindari agar tidak terlihat oleh orang yang mungkin mengenalinya.

"Apa kau masih belum menunjukan apartemenmu pada Elizabeth?" goda Anaïs.

"Oh, tentu saja! Aku masih ingat bagaimana kebingungannya aku, saat Ia menanyakan bagaimana aku bisa memberikannya hadiah paket bulan madu mewah di Flaneur secara gratis." Ana merinding mengingat interogasi Elizabeth saat itu.

Anaïs tertawa lagi. "Lakukan sebisamu, Ana. Jika sudah tidak bisa lagi disembunyikan, terima saja. Oke?" kata Ana sambil mengelus kepala Ana.

"Aku lebih capek jika ketahuan, nek. Rasanya hidup sangat mudah jika aku bisa melakukan apapun dan memakai uangku tanpa dipertanyakan oleh orang lain." Keluh Ana.

"Semoga kau akan segera keluar dari masalah itu." Kata Anaïs menenangkan.