BAB 2 : WAKTU
Waktu, kata pepatah, luka bisa sembuh seiring dengan berjalannya waktu. Namun, bagaimana bisa, hanya dengan waktu yang berjalan, luka itu bisa sembuh. Bagaimana mekanisme kerja waktu sehingga dapat menyembuhka luka ? Apakah luka akan benar benar sembuh hanya karena waktu yang berjalan? Ataukah luka hanya akan semakin menganga seiring waktu berjalan ? Atau waktu sebenarnya memang tidak dapat menyembuhkan luka ?
Khayla duduk termenung di kamarnya, memandangi foto-foto yang masih rapi terpigura. Foto-foto dari moment-moment indah yang Ia abadikan bersama Abah. Kerinduan menyeruak dari balik sebuah foto yang memperlihatkan Ia memakai toga ditemani Abah disampingnya, mereka tampak tertawa lepas. Tampak Khayla memeluk Abah dari samping. Seolah kembali merasakan moment itu, perlahan, air mata melepaskan gantungannya dari kelopak, terbang menuju lapisan figura foto yang sedang Ia pegang.
"Assalamu'alaikum Khay, sarapan dulu yuk.." ucap Khalid sambil mengetuk pintu kamar. Dengan lembut suami yang baru berumur satu hari itu mengajaknya untuk sarapan
Khayla tidak menjawab dan hanya menghela nafas panjang. Ia masih sibuk mengingat kembali kenangan-kenangan yang Ia ciptakan bersama Abahnya yang sudah tidak mungkin dapat terulang lagi.
"Kalau kamu ga mau sarapan di meja, aku bawain kesini ya sarapannya ?!"
Khayla masih tidak menjawab. Seolah memang Ia sengaja tidak menjawab.
"Aku minta maaf ya atas kejadian semalam dan tadi pagi"
Khayla masih terdiam memandangi foto Abahnya
"Hanya minta maaf untuk kejadian tadi pagi ? lalu untuk kesalahan atas ketidakmampuanmu menyelamatkan abah, apa kau tidak merasa bersalah akan hal itu ?" Khayla pergi berlalu meninggalkan Khalid yang menunggunya di depan pintu.
Khayla masih belum dapat menerima kepergian Abahnya yang tiba-tiba. Di telinganya masih terngiang ucapan terakhir Abahnya "Iya, besok jalan-jalan sama Abah ke Mekkah" . Mekkah, keinginan Abah yang tidak dapat Khayla wujudkan.
Khalid masih terdiam di dekat pintu, Ia belum dapat beranjak dari apa yang Khayla ucapkan barusan. Ucapan Khayla yang kemudian menimbulkan pertanyaan baginya, "Apakah itu memang salahnya ? Lantas kenapa Tuhan melakukan itu ? Apakah itu sebuah hukuman ? Jika memang iya, atas kesalahan yang mana hingga dia harus dihukum sedemikian ?". Khalid masih berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban itu. Kematian memang seringkali menjadi kehilangan yang paling menyakitkan, tapi bukankah kematian memang diperuntukkan bagi semua yang pernah merasakan kehidupan ?
"Saya ijin berangkat praktek dulu ya….Assalamu'alaikum" ucapnya sambil mengulurkan tangan kearah Khayla, namun ditepis oleh Khayla.
"Walaikumsalam.." jawab Khayla dengan nada ketus.
Khalid meninggalkan Khayla dengan helaan nafas yang cukup panjang. Ia hanya butuh sedikit lebih bersabar atas sikap Khayla padanya. Khalid faham, Khayla bukan tidak mau menerimanya, hanya saja duka mendalam yang masih memeluknya belum dapat Khayla lepaskan.
Tok…tok…tok
"Assalamualaikum, Khay!" terdengar suara perempuan memanggil Khayla
"Walaikumsalam warrahmatullah wabarakatuh" sahut Khayla sambil membukakan pintu
"Khay, kamu gapapa kan ? ga biasanya kamu menyambut kedatangan aku dengan cemberut gitu"
"Emang biasanya gimana Na ?"
"Ya biasanya kamu, tersenyum, ceria, malah kadang sampai excited gitu….langsung cerita soal, aku abis ini, aku abis…" Hasna tidak melanjutkan kata-katanya, bibirnya mengatup seolah menahan kata agar tidak menyakiti perasaan sahabatnya. Hampir saja Ia mengingatkan sahabatnya pada mantan pacarnya.
Khayla melemparkan tubuhnya di sofa, di ikuti Hasna yang kemudian duduk di sebelahnya.
"Nih, hadiah buat kamu, lagi, selamat lagi atas pernikahannya sahabatku tersayang" Hasna memegang kedua pipi Khayla dengan gemas.
"Na ?!"
"Iya, gimana Khay ? ada apa ? Mau cerita apa ?"
"Apa Allah itu benar-benar adil ?" sambil menghela nafas panjang, Khayla mengucapkan pertanyaan yang membuat sahabatnya kemudian mengernyitkan dahinya..
"Hey..hey..kamu ngomong apa sih Khay…"
"Kenapa aku merasa, Allah itu ga adil, Na. Allah kan udah tau aku maunya sama Bara, tapi kenapa Allah menghadirkan yang lain untuknya, Na ? Kenapa malah Allah memberiku orang yang sama sekali aku ga cinta, bahkan aku ga kenal….kenapa Allah ga mengikuti mauku aja, Na ?" Khayla seolah memprotes semua yang udah terjadi padanya.
Hasna terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaan dari Khayla, Ia berusaha mencari jawaban untuk menenangkan hati sahabatnya yang sedang terguncang itu.
"Kita memang tidak bisa mengontrol apa yang Allah mau, Khay, tapi kita bisa mengontrol bagaimana kita menyikapi kemauan Allah."
"Kalau gitu, yang katanya Allah akan mengabulkan semua keinginan hambaNya, itu semua bohong dong ?"
"Gaa gitu Khay, kita ga bisa mendikte Allah. Tapi Allah pasti punya alasan untuk itu. Alasan kenapa Allah menempatkanmu diposisi ini. Allah punya Alasan kenapa kamu akhirnya harus berpisah sama dia. Dan suatu saat nanti, kamu pasti akan menemukan alasan itu" ucap Hasna sambil menggenggam kedua tangan Khayla. Ia mencoba memberinya kekuatan.
"Beberapa takdir memang berat untuk diterima, Khay. Namun hikmah di baliknya pasti luar biasa, butuh ikhlas untuk bisa menemukannya"
Khayla hanya diam mendengarkan nasihat dari sahabatnya itu. Ia mencoba menerima dan merenungi apa yang sahabatnya katakan. Kesedihan yang menggelayuti dirinya masih enggan melepaskan pelukannya.
"Emm…ngomong ngomong kamu ga ngajar, Khay" tidak ingin sahabatnya larut dalam kesedihan lebih dalam lagi, Hasna mencoba mengganti topik obrolan.
"Engga, Na, aku ambil cuti mengajar dua minggu."
"Terus kalau kamu ga ngajar, mahasiswa kamu gimana ?"
"Ada dosen pengganti, Na."
"Kirain…"
"Kirain apa ?"
"Yah, kirain, mereka bakalan ngrasain jam kosong gitu, dua minggu, hehehe"
"Engga lah, Na, kalau jam kosong terus kasian orang tua mereka yang udah ngebiayain mereka, masa udah keluar biaya tapi ilmunya didiskon" akhirnya Khayla mengeluarkan senyumannya yang sudah beberapa hari ini Ia sembunyikan.
Perasaan lega sedikit menghampiri Hasna, berharap apa yang Ia katakan tadi benar benar masuk ke hati dan pikiran sahabatnya itu.
"Temenin aku beli buku yuk, Khay. Sekaliyan jalan jalan, healing, refreshing gitu."
"Enggak ah, lagi mager, Na"
"Ayolah…atau mau beli es krim ?"
"Engga, Na"
"Ayolah, pokonya kamu ikut aku jalan jalan…Khay, dengerin, ga selalu kesedihan itu diratapi tapi terkadang kita perlu merayakannya. Merayakan sebagai ucapan syukur masih diberi kesempatan merasakan kesedihan. Bukan hanya kebahagiaan saja yang patut diselamati, terkadang kesedihan juga perlu diselamati" Hasna menarik lengan Khayla memaksanya untuk mau pergi jalan jalan
"Iya…iya bentar….ijin Umi dulu"
Dari yang tadinya cerah, langit tiba tiba menjadi mendung. Seolah disepanjang jalan, mereka menyambut Khayla yang sedang berduka. Duka atas kepergian Abahnya beberapa hari lalu. Setiap perempuan pasti akan sangat merasakan kehilangan sosok Ayah, Abah, Bapak, Babe, Papa yang kata orang beliau adalah malaikat dengan sejuta panggilan itu tiada. Sesal yang paling disesalkan Khayla adalah Ia tidak dapat memenuhi keinginan Abahnya, Mekkah. Mekkah yang Ia impikan juga, Mekkah yang Ia impikan menjadi saksi pernikahannya dengan Bara. Tetapi sekarang pernikahan itu menjadi hal yang paling menyakitkan baginya. Pernikahan dengan seorang yang tidak dicintainya, pernikahan yang tanpa dihadiri sosok Abah.
Khayla memandang kearah luar kaca mobil. Awan yang mengikutinya, tiba tiba menangis melihat Khayla yang juga sedang menangis. Ia melihat jauh keatas, kearah sumber air yang jatuh dari langit itu, seolah mereka saling berbagi cerita kesedihan masing-masing. Baginya saat ini, hujan menjadi tempat ternyaman untuk merebahkan tangisan.
"Khay…udah dong nangisnya…kita kan jalan jalan buat ngehibur kamu, bukan buat liat kamu nangis.." sekali lagi Hasna masih mencoba menghibur Khayla.
Perhatian Khayla tetiba teralihkan pada sebuah anak tangga di samping pintu loby disebuah mall. Ia menatap lama kearah anak tangga itu. Anak tangga dimana disitulah Ia pertama kali mengenal Bara. Bara, laki-laki yang sampai saat ini masih menjadi favorite hello and hardest goodbye bagi Khayla.
***
"Khay, abis ini makan, yuk….laper" ajak Hasna yang sedari tadi sudah berusaha menenangkan cacing diperutnya yang telah mendemonya habis-habisan.
"Iyaa.."
"Cuman iya aja ? ngasih saran gitu kek makan apa…"
"Iya aku ngikut aja Na, kamu mau makan apa aku ngikut"
"Khay, biasanya kamu hlo yang paling semangat kalau diajakin makan...Khayla sekarang ga asik"
"Yaudah ayo mau makan apa ?"
"Ko balik nanya sih Khay, kan aku tadi minta saran"
Akhirnya setelah hampir satu jam memillih kedai sebagai tempat mengenyangkan perut sekaligus meredakan cacing-cacing yang udah pada protes, mereka memilih restoran sushi dan ramen. Memang ya, memutuskan perkara makan itu salah satu keputusan yang tidak mudah diambil bagi perempuan. Benar tidak ? atau cuman Khayla dan Hasna saja yang begitu ?
"hmmm… baunyaa…harum" ucap Hasna mengagumi semangkuk mie ramen lengkap dengan toping telur dan udang yang akhirnya tersaji diatas meja.
"Khay, dimakan bukan cuman diliatin"
"Ah iya Naaa.."
"Cobain deh, ramennya enak"
"sluurrrrp….uhuk…uhukkk…pedes Na"
"Eh iya sory sory, kamu kan ga suka makan pedes, hehe"
"Level berapa sih ini ?"
"Level sepuluh, heee"
"Pantesan…emm aku ketoilet bentar ya, Na" Khayla meninggalkan Hasna sendirian menikmati ramennya.
Saat sedang berjalan kembali dari Toilet, Khayla seperti melihat sosok yang ditunggunya, sosok yang dirindukannya selama ini. Sosok yang hampir satu tahun ini tidak menanyakan kabarnya, bahkan menghubungi dirinya pun tidak. Tidak pernah. Sosok yang memutuskan menghilang tepat setelah anniversary mereka. Dengan perlahan, Ia berjalan menghampiri sosok yang berjalan menuju pintu keluar itu. Dari cara berjalannya tentu Khayla sudah sangat hafal. Semakin dekat, Ia semakin berharap bahwa sosok itu adalah Bara.
"Mas Bara…." Khayla mencoba memanggil laki-laki itu, namun laki-laki itu tidak mendengarnya.
Khayla berjalan dengan langkah sedikit dipercepat, berharap Ia dapat mengejar laki-laki itu. Laki-laki yang Ia yakini bahwa itu adalah Bara. Satu dalam hatinya yang sangat Ia harapkan, sekali saja Ia dapat bertemu dengan Bara. Yah, Sekali pun tak apa. Ia hanya ingin menagih jawaban atas pertanyaan yang menggantung selama satu tahun itu. Jawaban yang mungkin akan menyakitkan tapi setidaknya Ia tau alasannya.
"Mas Bara…" kali ini Khayla berteriak dengan lebih keraas. Hampir putus asa dengan harapannya, Ia mencoba memanggilnya sekali lagi.
"Mas Baraaa….."
Laki-laki itu menghentikan langkahnya.
**************************************
Terimakasih sudah berkenan membaca sampai Bab ini 😊
Jangan lupa berikan votes dan komennya ya, karena komen dan votes dari kalian adalah vitamin bagi kami 😊
Ikuti terus kisah Khayla merawat luka, yang entah akhirnya nanti sembuh atau justru semakin menganga ?