Obrolan Debi dan juga Rafa terhenti saat pesan mereka datang. Saat itu lagi-lagi Debi mendapatkan tatapan tak bersahabat dari pelayan yang mengantarkan pesanan. Debi menjadi tidak nyaman.
"Kamu lihatkan, teman kerjaku melihat aku dengan tatapan tak bersahabat?"
"Abaikan mereka, dan sekarang minum lah."
Rafa memberikan segelas minuman yang sengaja ia pesankan untuk Rafa. Meski awalnya Debi merasa tidak nyaman, namun setelah mendengar cerita Rafa. Debi sibuk ngobrol dengan Rafa. Tidak ketinggalan pula. Mereka menyelanginya dengan candaan.
Tap tap tap
Marko melangkahkan kakinya berjalan masuk ke dalam club. Marko tidak sendiri, karena di belakangnya ada tiga temannya yang mengikutinya.
Marko terus melangkahkan kakinya untuk mencari tempat favoritnya di tempat itu. Yah, itu karena Marko dan teman-temannya seiring datang ke sini.
Belum sampai Marko di tempat favoritnya. Marko menghentikan langkahnya, membuat ketiga temannya menjadi bingung.
"Ada apa Marko? Kenapa kamu menghentikan langkah kamu?"
Marko tidak menjawab, karena saat itu Marko sibuk memperhatikan seseorang yang mencuri perhatiannya.
"Apa mungkin wanita itu Debi?" bisik Marko.
Saat ini Marko tengah melihat wanita yang sangat mirip dengan Debi. Wanita itu bersama seorang laki-laki yang sangat familiar baginya.
"Tapi kalau dia memang Debi, tidak mungkin Debi bisa ada di tempat ini. Apalagi dia memakai baju sebagai pelayan di tempat ini," bisiknya.
"Woe, kamu kenapa sih. Ditanya dari tadi tidak malah diam saja? Lagi lihatin apa?" kata Gilang untuk yang kedua kalinya.
"Bisa gak sih kalau ngomong gak usah di telinga?" balas Marko dengan tatapan tidak suka. Yah, sedari tadi Marko memang sangat sensitif mendengar ucapan dari ketiga temannya.
"Baik-baik, aku minta maaf," balas Gilang tersenyum.
Marko kembali melangkahkan kakinya dan berjalan menuju tempat favoritnya.
"Lain kali jangan ganggu singa yang lagi marah. Jadi kena semprotnya kan," kata Bima.
"betul itu," sahut Bagas.
"Bukannya membela teman malah menyalahkan."
"He, kamu lupa. Kamu dan Marko sama teman-teman kita."
"Ah, bodoh amat," balas Gilang kesal. Yah, pasalnya sedari tadi Gilang terus mendapatkan imbas dari amarah Marko.
Gilang, Bima dan juga Bagas ikut bergabung bersama Marko yang sudah duduk di tempatnya.
"Dari tadi muka kamu kecut banget. Kamu ini lagi ada masalah apa sih Marko?" tanya Bima.
"Semua ini gara-gara nenek lampir itu."
"Maksud kamu Maya?"
"Iya, siapa lagi kalau bukan dia."
"Dia buat masalah apa lagi sama kamu?"
"Dia membuat masalah lebih parah dari biasanya."
"Masalah apa sampai membuat kamu semarah ini?"
"Ah, tahulah. Aku lagi malas membahasnya."
Marko menyandarkan kepalanya pada kursi. Pandangannya melihat langit-langit. Amarah Marko masih menemani membuat ketiga temannya memilih untuk diam.
"Emz, bagaimana kalau kita pesan minuman saja?" kata Bagas yang sengaja mengalihkan pembahasan.
"Iya, kita pesan minuman saja," balas Gilang.
"Ya sudah sana, panggil pelayan."
"Oke."
Gilang melambaikan tangannya, dan saat itu satu pelayan datang mendekatinya.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami mau pesan minuman Mbak."
"Iya, mau pesan apa ya Mas?"
Pelayan itu mencatat semua pesanan ketiga teman Marko, namun tidak dengan Marko yang sibuk dengan pikirannya. Gilang yang menyadari itu meminta Bima untuk bertanya pada Marko.
"Marko, kamu mau pesan apa?"
Sebenarnya Bima takut jika lagi-lagi Marko akan marah. Mendengar pertanyaan dari Bima. Marko langsung melihat ketiga temannya.
"Aku pesan bir."
"Apa?" balas ketiga teman Marko kompak.
"Kamu gak salah pesan Marko?" tanya Gilang kaget.
"Tidak."
"Kamu yakin mau pesan bir? Apa kamu tidak takut kalau tiba-tiba Om kamu datang melarang kamu?"
"Dia lagi sibuk. Tidak mungkin dia akan melarangku."
"Biasanya juga begini Marko. Om kamu sibuk, tiba-tiba datang menemui kamu."
"Sudah deh, aku yang pesan kenapa kalian yang bingung?"
Mendapatkan jawaban menakutkan dari Marko. Mereka bertiga langsung diam.
"Jadi pesan bir ya Mas? tanya pelayan memastikan.
"Iya."
"Baik, ditunggu pesanannya," balas pelayan itu yang melangkah pergi.
Pandangan Marko kembali melihat kearah seseorang yang sangat mirip dengan Debi. Semakin Marko memperhatikannya. Semakin Marko yakin jika dia memang benar Debi.
"Apa mungkin Debi memang bekerja di sini? Tapi untuk apa dia bekerja di sini? Dia kan sudah punya pekerjaan?" bisiknya.
"Marko."
Meski saat itu Marko mendengar panggilan dari teman-temannya. Marko mengabaikannya.
"Marko."
"Apa sih kalian ini. Terus saja memanggilku."
"Itu, pesanan kamu sudah datang."
"Oh."
Di tengah obrolannya dengan Debi. Rafa sesekali melihat jam yang terikat di tangan kirinya. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Itu tandanya saat ini Marko dan teman-temannya sudah datang. Rafa mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan keponakannya.
"Kamu sedang mencari apa Rafa?"
"Eh, tidak sedang mencari siapa-siapa kok. Oh iya, maaf ya aku tidak bisa menemani kamu lama-lama. Aku harus pergi."
"Iya, tidak apa-apa kok. Lagian aku juga mau kembali bekerja."
Rafa tersenyum dan setelahnya dia melangkahkan kakinya pergi.
Tap tap tap
Langkah Rafa berderap mendekati Marko yang saat ini tengah berkumpul bersama teman-temannya. Langkah Rafa semakin cepat saat melihat bir ada di atas meja.
Marko mengambil bir pesanannya. Marko berharap dengan minum bir itu. Marko bisa menghilangkan rasa kesalnya. Tidak ingin menunggu banyak waktu. Marko langsung meneguknya.
Pyarrr
Marko dan yang lainnya terkejut saat botol bir yang Marko pegang jatuh berserakan di lantai. Mereka mengalihkan pandangan mereka. Saat itu Marko terkejut. Tidak hanya Marko, teman-temannya juga.
"Om Rafa?"
"Sudah Om bilang berapa kali. Kamu boleh datang ke sini, tapi kamu tidak boleh menyentuh minuman haram itu. Apalagi sampai meminumnya."
"Aku sedang banyak masalah Om. Aku ingin menghilangkan masalahku."
"Menghilangkan masalah itu bukan dengan mabuk, tapi dengan menyelesaikan masalah itu."
"Kata siapa Om? Mabuk juga bisa menghilangkan masalah."
"Menghilangkan masalah dari mana? Menambah masalah iya. Kalau kamu mabuk terus kamu pikir semuanya akan selesai? Bagaimana kalau saat kamu mabuk, kamu melakukan tindakan yang tidak seharusnya. Kamu dilaporkan polisi dan dipenjara?"
Marko diam mendengar omelan omnya. Selalu saja seperti ini. Omnya datang untuk menggagalkan keinginan Marko.
"Kalau kamu mau mencoba mabuk lagi. Om akan laporkan kamu sama Mama kamu."
"Iya Om."
"Iya apa?"
"Aku tidak akan mabuk lagi."
"Bagus. Kamu tahu, Om tidak hanya sebagai Om kamu, tapi Om juga sebagai pengganti Papa kamu yang sudah meninggal. Kamu adalah tanggung jawab Om. Om tidak ingin terjadi apa-apa sama kamu. Kamu mengerti Marko?"
"Iya Om, aku mengerti."
"Ya sudah, kamu boleh menikmati suasana di sini. Tapi jangan sampai Om melihat kamu menyentuh barang haram lagi," kata Rafa penuh penekanan.
Setelah mengatakan itu. Rafa melangkahkan kakinya meninggalkan keponakannya bersama teman-temannya.
"Bagaimana Om Rafa bisa tiba-tiba datang?"