"Aku pulang!" ucap Gabby saat memasuki rumahnya.
seperti biasa rumahnya selalu sepi di siang hari, gadis itu segera naik ke lantai dua untuk beristirahat di dalam kamarnya yang merupakan zona nyaman yang dia miliki.
Belum sampai gadis itu ke kamarnya terdengar suara benda-benda berjatuhan, Gabby tersentak selama beberapa detik. Suara itu disusul dengan suara pria yang membentak dengan tegas, "memangnya apa yang kamu tahu!"
Gabby segera mengenal siapa pemilik suara tersebut, dia adalah ayahnya yang selalu pulang dengan keadaan marah.
Perlahan Gabby menuju kamar orang tuanya yang pintunya tidak tertutup sepenuhnya, Gabby mengintip melewati celah yang sempit tersebut masih tidak mengeluarkan suara.
Di dalam seorang wanita sedang menangis sambil memeluk lengan kanannya yang mengeluarkan darah, rambut panjangnya terlihat berantakan sedangkan di depannya pria yang berusia sekitar 43 sedang memelototi wanita tersebut dengan kedua tangan di pinggang.
"Ini hidupku kamu jangan ikut campur, mengerti!" Serunya sambil menekankan setiap kata.
Gabby menutup mulutnya saat ayahnya menendang tubuh salah satu yang dia sayangi, ibunya.
Gabby langsung bersembunyi dibalik meja saat ayahnya keluar kamar dengan kedua tangan mengepal di sisinya, pria itu keluar sambil menutup pintu dengan kasar sehingga terdengar suara yang membuat siapapun terlonjak kaget.
Gabby langsung berlari menghampiri sang ibu, "kamu sudah pulang nak?" tanya wanita itu lembut saat Gabby terpaku di ambang pintu.
Gabby mengerutkan keningnya, "bagaimana bisa dia tetap tersenyum dan menyapaku dengan lembut seolah-olah tidak terjadi apa-apa." batin Gabby dengan kedua tangan dikepalkan.
"maafkan ibu, ibu belum memasakkan sesuatu untuk makan siang." wanita itu berusaha berdiri dengan perlahan, lengan kanannya meneteskan darah yang langsung terjatuh di lantai yang putih.
"kamu ganti baju dulu nanti ibu panggil jika makanannya sudah...."
Perkataan Dania terhenti saat anaknya memeluk tubuhnya erat, terukir senyuman di wajahnya sebelum dia membelai rambut Gabby lembut.
"ibu tidak usah memasak aku tidak lapar." ucap Gabby pelan.
"ibu tidak apa-apa sayang, nanti juga sembuh." Dania melepas pelukan Gabby perlahan masih dengan senyuman tulus yang terpasang di wajahnya.
"kamu tidak perlu memikirkan ibu, tugasmu hanyalah belajar, belajar dan belajar." Dania menatap anaknya terasa sedikit sakit di hatinya membayangkan anaknya yang harus hidup tanpa dirinya, pasti terlalu berat untuknya.
###
Di waktu yang sama tetapi di tempat yang berbeda, seorang laki-laki dengan kaos oranye dan celana pendek sedengkul sedang memainkan game di hpnya di ruang tamu.
"Malha gimana sekolah kamu sayang?" tanya seorang wanita yang berusia sekitar 30 tahunan, wanita itu duduk di samping anak pertamanya, dia adalah Manda mamahnya Malha.
"Tidak ada yang menarik." jawabnya tanpa menolehkan kepalanya dari layar hp di depannya.
"besok malam orang tuanya Mutia mengajak kita makan malam bersama di rumahnya...."
"jangan!" potong Malha dengan kedua mata membulat, kali ini dia menaruh hpnya di atas sofa.
Manda mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, "memangnya kenapa?"
Malha menggeleng, "pokoknya jangan, Malha gak mau dan gak pernah setuju kalau mamah sama Tante Nita jadi teman deket."
Manda tertawa pelan, " Tante Nita kan teman SMA mamah dari dulu, sama seperti kamu sama Mut...."
Malha mengacungkan jarinya di depan bibir Manda, "jangan sebut namanya!" bisik Malha membuat Manda menahan tawanya.
"Pokoknya mamah percaya sama Malha, anaknya Tante Nita itu...."
"Permisi Tante, Mutia cantik datang berkunjung!" seru seseorang dari kejauhan, suara yang nyaring membuat Malha mengenali siapa pemilik suara tersebut.
Malha menepuk dahinya pelan sambil menundukkan kepalanya, Manda yang melihat tingkah anaknya tertawa kecil.
"Tante! Mutia bawa brownies kesukaan Tante." Mutia memberikan bawaannya ke Manda sambil mencium punggung tangan Manda dengan lembut.
"Malha juga di sini, aku bawa ini buat kamu." Mutia memberikan sebungkus keripik pedas kepada Malha.
Malha mengernyitkan dahinya sambil menerima kripik pedas di tangannya, "keripik pedas." beo Malha.
Mutia tersenyum manis, "habisnya hampir setiap hari kamu beli kripik yang sama di kantin jadi aku pikir kamu bakal suka sama hadiah aku."
Manda tersenyum melihat Malha yang menekuk mukannya sambil menaruh keripik itu di atas meja dan kembali sibuk dengan layar hp di tangannya.
"Terimakasih banyak lho, tapi kamu tidak perlu kasih tante ataupun Malha hadiah seperti ini." Manda merasa tidak enak karena setiap Mutia berkunjung ke rumahnya dia selalu mendapatkan hadiah.
Mutia tetap tersenyum, "gapapa tante, lagipula Mutia suka kok." Mutia merapihkan rambut nya yang dia biarkan digerai bebas.
"Tante buatkan minum dulu, kamu mau apa?" tanya Manda kepada Mutia.
"Air putih saja Tante Mutia lagi diet." jawab Mutia yang langsung duduk di samping Malha.
Manda tersenyum melihat kelakuan Mutia yang terus mendesak Malha anaknya, sedangkan Malha selalu menolaknya.
Malha menggeser duduknya saat Mutia mendekatinya, tapi Mutia terus bergeser mendekati Malha membuat Malha bergeser menjauhi gadis di sampingnya hingga dia sampai di ujung sofa yang memiliki sanggaan tangan.
"Ngapain sih?" tanya Malha sinis, dia menaruh hpnya karena sudah merasa terganggu.
Mutia tersenyum senyuman yang manis tapi tidak berlaku kepada Malha yang sudah kesal setengah mati, "Aku ke sini mau ketemu kamu tapi kamu terus main hp, kamu nyuekin aku yang cantik ini nanti nyesel lho." Mutia mengibaskan rambutnya.
Malha akui Mutia adalah gadis yang cantik dengan rambut panjangnya yang lurus, matanya yang bulat namun kecil serta hidung mancungnya menambahkan kesan cantik di wajahnya, sekilas Mutia memiliki rupa seperti artis Korea yang suka dia lihat di iklan TV tapi paras saja tidak cukup untuk Malha yang sudah tahu sifatnya yang menyebalkan.
"Apa? Nyesel?" Malha memalingkan wajahnya lalu tersenyum sinis.
"Gak ada kata itu di dalam kamus Aareska Malha Widhayaka."
Setelah mengucapkannya Malha pergi meninggalkan Mutia yang masih duduk di ruang tamunya, "Mah, Malha pergi dulu di rumah gak seru!" Seru Malha sambil berjalan keluar rumahnya.
###
Keesokan harinya, matahari mulai menunjukkan kekuasaannya di langit timur, Gabby yang sudah rapih dengan seragamnya berjalan turun menghampiri sang ibu yang berada di dapur.
"Selamat pagi ibu." sapa Gabby sambil menaruh tasnya di kursi.
"Pagi sayang." balas Dania, dia menyodorkan sepiring nasi goreng kepada Gabby.
"terimakasih." Gabby tersenyum saat menerimanya tapi, sebuah lilitan perban putih menarik perhatiannya, lengan Dania sudah terlilit perban.
"Apa ayah tidak pulang lagi?" tanya Gabby pada suapan pertama.
Dania menggeleng, "ayahmu pulang larut sekali semalam, sepertinya dia kelelahan jadi tidak bisa ikut sarapan bersama pagi ini."
Gabby mengangguk lalu kembali menyantap nasi goreng yang dibuat Dania, "ibu apa itu sakit?" tanya Gabby pelan.
Dania terdiam selama 3 detik lalu kembali menunjukkan senyumnya, "tidak begitu sakit, kamu jangan memikirkan ibu, ibu akan baik-baik saja belajarlah yang giat jangan malas-malasan."
Gabby mengangguk lalu mengambil piringnya membawanya ke tempat cucian piring, "tidak usah kamu cuci! biar ibu saja, kamu berangkatlah ke sekolah nanti takut telat." perintah ibunya yang tidak bisa ditolak Gabby.
satu menit kemudian Gabby sudah berada di dalam angkutan umum yang membawanya menuju sekolah barunya, pandangan yang semula kosong berubah saat Ana yang baru saja naik menyapanya.
Ana duduk di sampingnya, "kenapa nih pagi-pagi udah muram amat tuh muka?" tanya Ana.
Gabby merutuki dirinya yang gagal memasang topeng baru di wajahnya, "gak apa-apa, cuman ngantuk aja gara-gara gak bisa tidur semalam."