RIPK BAB 5

Malam itu entah kenapa Apo bermimpi aneh. Dia didatangi Masu yang tersenyum lebar, bahkan sahabatnya tidak basa-basi membawanya terbang. Mereka melintasi angkasa luas. Namun di tengah perjalanan sayap Apo hilang. Apo pun ketakutan dan menjerit. Lalu pegangan kuat ke lengan Masu. "MASU! MASU! TOLONG! KENAPA AKU JADI BEGINIIIIII!"

"ARRRGGHHHH!!!! NATTAAAAAAAA!" teriak Masu yang jatuh karena keberatan beban. Sayapnya mengepak kewalahan saat berusaha naik. Membuat keringat menetes deras di pelipisnya yang mulus. Masu pun menarik Apo sekuat tenaga, tapi sahabatnya malah melorot ke pinggang.

"ARRRGGHHH!! ARRGGHHHH! TOLOOOONG! A-AKU TIDAK MAU MATIIIIIIIIII!" jerit Apo ketakutan. Bidadara itu terjun bebas ke bumi dengan pontang-panting di tengah udara. Masu pun mengejarnya seperti elang melesat. Lalu terbang menukik tajam ke bawah. Dia gagal meraih Apo, padahal sempat berhasil menjambak baju, sepatu, bahkan rambut hitamnya yang halus.

"NATTA, AYO CEPAT RAIH TANGANKU! PASTI BISA! AYO! TINGGAL SEDIKIT LAGI--"

"TIDAAAAAAAAAAAKKKKKK!!"

Semakin dekat ke bumi, gravitasi pun menarik Apo lebih kencang. Dia terpisah dari Masu karena bidadara tak boleh terbang terlalu rendah. Otomatis Masu terpental ke langit. Hukum kerajaan membuat Masu terhalang. Sebab tubuh bidadara tak boleh dilihat mata manusia. Mereka yang memiliki kecantikan tiada tara. Semua bersayap seputih merpati, tapi besarnya dua kali lipat dari tubuh. Apo pun menghantam laut yang kebetulan di bawah kakinya. Seketika kesulitan napas karena tersedak air. Sayang Apo tak bisa berenang. Semakin mengayuh justru membuatnya tenggelam ke dasar. "ARGH--!" jeritnya. Kecipak air dan napas "blup-blup" pun terdengar kacau. Untung ada lengan yang meraih pinggangnya. Orang ini membawa Apo ke permukaan tanpa melonggarkan pelukan. Lalu melempar tubuhnya ke pantai. "Arrgghhhh!" teriaknya amat kesakitan.

Tiba-tiba wajah Mile menggantikan pemandangan langit. Lelaki itu menindih Apo dengan menekan-nekan dadanya. Lalu memberikan napas buatan. "Bangun! Bangun! Natta--! Ayolah buka matamu! HEI!" bentak Alpha itu panik. Padahal Apo bisa melihat Mile, lantas kenapa cemas sekali? Hei---

.... tunggu dulu.

SALAH!

Apo sebenarnya sudah berdiri di sisi tubuh yang transparan. Nyata-nyata yang ditolong Mile hanyalah jasad. Membuatnya histeris setelah tahu. "ARRGGHHHHHHHHH!" teriaknya, lalu melesat ke tempat lain. Apo kini meringkuk di padang pasir yang panas. Lalu merangkak-rangkak kebingungan. Dia dikejutkan bayangan wanita yang berdiri di hadapan. Membuatnya mendongak ke atas untuk melihat siapa. Anehnya, Apo samasekali tak kenal. Wanita itu mendadak tersenyum sadis. Mungkin umurnya 30-an dan tahu cara mem-bully yang lebih muda. "Mau kemana, Anak manis?" tanyanya. "Kau seharusnya tidak di sini ....." Tangan itu lantas menjambak dengan bantingan yang keras.

BUAGHHHHH!!

"ARRRGHHHH!" teriak Apo kesakitan.

Bangun-bangun dia sudah di tempat yang lain. Kali ini taman kota yang penuh rumput. Di sana ada Paopao kitten yang mukanya judes. Anehnya kucing itu kelihatan imut. Suaranya kecil, tubuhnya mungil, tapi ada satu kejanggalan. Pose Paopao seperti hendak meninggalkannya. Bahkan perkataan sang kekasih melukai hati.

"Miiiiiiiiiii ...." gumamnya sebelum pergi.

Selamat tinggal, Natta ....

"JANGAAAAANNNNN!!" teriak Apo tak rela. Dia pun tertatih mengejar, hanya saja Paopao menjauh. "HIKSS ... JANGAAAAAN! TOLONG! JANGAN PERGIIIII! HIKS, HIKS, HIKS ....."

BRAKKHHHH!!

Berikutnya ada Paopao dewasa yang tertabrak mobil. Persia oren itu pun dikerubuti orang-orang. Mile syok. Sebab darah bayinya ke mana-mana. Dia berteriak marah-- "BABY PAO! SAYANGKU! BABY--!" Hanya saja penglihatan Apo terhenti. Kini dia hadir di ruangan putih yang sepi. Bahkan dimensi itu tak seperti dinding atau langit. Apo benar-benar merasakan kosong. Dia gelisah. Lalu muncullah Mile bocah yang menangis.

"Hiks, hiks, hiks ... Ibu ...." ratap Mile yang tengah memeluk dua peti mati. Satu berisi wanita yang melahirkannya. Satu lagi sangat mungil karena isinya bayi. Apo pun mengira-ngira Mile kehilangan Ibu dan Adik--sebab ada lelaki gagah yang menepuk bahunya dari belakang.

"Harus kuat, Sayang. Ayah masih di sini untukmu ...." kata lelaki itu. Apo lihat bajunya tidak biasa, karena seragam letnan jenderal-lah yang menempel pas badan. Di punggungnya ada pistol laras panjang dan peluru. Hanya saja sosok itu tak menepati perkataannya. Dia justru kembali ke perbatasan saat tugas negara memanggil. Membuat Mile kecil dititipkan ke bibinya yang tua.

"Ayah bohong ... hiks ... hiks ... Ayah tega meninggalkan Mile seperti Ibu ...." tangis Mile waktu itu. Air matanya membanjir deras, padahal posisinya menghadapi makanan Thailand yang berjejer-jejer. Itu seperti masakan rumah. Tempatnya di ruang makan. Hanya saja Mile benci karena tak berada di kediamannya.

Apa?

Kenapa?

Sebenarnya apa yang sudah terjadi?

Apo pun mendekati Mile kecil. Lalu duduk di sebuah kursi makan. Dia mengeong-ngeong berisik. Membuat bocah itu berhenti mengucek mata.

"Wahhh! Cantik!" tunjuk Mile kesenangan. Mata sembabnya memandang Apo, giginya terlihat, dan pujiannya tak henti-henti. "Lihat, Bi. Kakaknya cantik sekali! Ihhh! Kakaknya punya ekor warna putih! Waaaahhhh! Unyu!"

Namun, belum sampai Apo meringis. Dia malah berpindah lagi ke sebuah kamar gelap. Di sana hanya lampu tidur yang menyala. Mile remaja lelap. Ganjilnya tubuh itu masih berseragam sekolah. Mile bahkan tidak bangun saat ada langkah kaki mendekat di lorong. Pintunya terbuka. Lalu Apo melihat senyum sadis wanita tadi. "Sudah waktunya bangun anakku ...." katanya sambil membawa suntikan obat.

"Tunggu--tunggu--tunggu ... M-MAU APA?!" tanya Apo yang segera memblokade. Sayang tubuhnya transparan lagi. Dia tak terlihat. Sehingga si wanita itu langsung naik ke atas ranjang. Dia menindih Mile dengan lingerie semerah darah. Apo kaget. Sebab dua kaki rampingnya terbuka untuk menghimpit paha Mile. Dia membebaskan celana remaja itu. Pertama sabuk berlogo SMA-nya dilempar dulu. Wanita itu pun terkekeh pelan. Lalu resleting Mile diturunkan. Dia menyisakan celana dalam yang penisnya menggunduk besar. Terakhir barulah Mile disuntik sampai tebangun, "Hnnnghhh! Hnnnghhh!" erangnya karena langsung dibekap.

"Apa ... Sayang?" kata wanita tersebut. "Kau takkan bisa bergerak sampai besok, paham? Kau cuma milik Mama malam ini ...." Suaranya membuat bulu kuduk Apo merinding.

"Hmmmffffff!" protes Mile dengan mata melotot. Kedua tangannya pun diikat ke punggung ranjang. Mulutnya dibekap lakban. Lalu Apo melihat bagaimana penis Mile dipermainkan. Benda gemuk itu menegang oleh kocokan cepat. Bahkan berbuih saat dikulum. Dia menghianati sang pemilik yang tak mau bercinta. Membuat Mile berakhir dikendarai liang vagina yang hangat. "Ahhh! Annhhh! Ahhh ... sudah kukira penismu besar sekali, Nak. Ha ha ha ... Sayang Ayahmu tak bisa begini. Mnh ...." Dia terus meracau sambil meremasi payudaranya sendiri.

Apo pun syok tidak terkira. Ajaibnya saat menoleh dia melihat Mile kabur ke halte.

BRAKHHHHH!!

"Ah, maaf-maaf ... maaf-maaf! Aku tak bermaksud begitu! SUMPAH!" kata Mile yang tengah memeluk gitar. Dia tampak sangat ketakutan. Wajahnya pucat, lalu masuk buru-buru ke dalam bis. Padahal maksud hati ingin membantu penjual koran yang ditabraknya, tapi geraman mobil di belakang sangat mengganggu batin.

"BERHENTI KAU MILE PHAKPHUM! KATA SIAPA KAU BOLEH PERGI! BRENGSEK! MAMA BELUM BICARA DENGANMU! HEIIIIIII! ARRRGHHH!"

Apo kini melihat Mile sembunyi diantara penumpang. Bahkan kabur lagi dengan dua kereta ekspress. Mile pun sempat memakai obat-obatan usai mendapat kosan. Tapi efeknya hanya untuk ketenangan. Rupanya dia sudah merencanakan itu sejak lama. Bisa dilihat dari tumpukan kardus-kardus yang isinya ijazah, buku, penghargaan, piagam juga baju dan lego kesayangan.

"Ayah--hhh ... Ayah ... hhh ... Ayah--Mile benar-benar minta maaf--Ayah ...." racau Mile di tengah mimpi buruk yang sering datang. Remaja itu pun membuang ponsel pada keesokan hari. Tidak lupa menghantamnya dengan palu dulu sangking tidak tenangnya. Mile benar-benar mandiri setelah itu. Tak masalah kerja serabutan asal bisa menyusul lulus di umur ke 19.

"Miiiiii ...." rajuk Paopao suatu malam. Kitten mungil itu pun naik ke meja makan. Menandakan dia juga lapar begitu mengendus aroma makanan.

"Apa? Mau juga? Ha ha ha ... maaf aku sempat lupa padamu," kata Mile sambil mengelus bulu Paopao. Di depannya ada sepiring nasi dan telur. Ada juga daging suwir yang dipanggang hingga lembut. "Daddy tak bermaksud begitu, kok Sayang. Serius ... soalnya kita baru kenal sehari. Lain kali pasti ingat punya keluarga baru."

Mile pun membiarkan Paopao menggondol daging dari piring. Toh sudah diendusi juga. Mereka mulai makan bersama sejak saat itu, dan Paopao lah yang dirangkul setiap Mile mimpi buruk. "ARGGHH! AYAH! AYAH TIDAK! J-JANGAN--AYAH!" teriaknya dalam tidur. Keringat Mile pun mengucur deras. Dia seperti dicekik, padahal sang ayah belum bertemu dengannya sejak saat itu.

"Miiiiiii! Miiiiii! Miiiiiiiii!" jerit Paopao yang pernah tergencet. Mile pun bangun tiap kali Paopao protes. Membuat si kucing jadi pahlawan, meskipun kecil. Paopao adalah ibarat obat mujarab. Sebab jika Mile kesepian bisa diajak cerita malam. Saat pagi pun begitu. Mile akan dibangunkan Paopao jika alarm tak mempan. Sehingga kuliahnya jarang telat karena Paopao terus mengeong. "Miiiiiiii! Miiiii! Miiiii! Miiiiii!"

Hal tersebut bertahan hingga Paopao dewasa.

"MEOOOOWWWW! MEEOOOOWWW! MEOOOWWWWW!! HISSSSSHHHH! HISSSSHHHHHHHHHHHHHHHH!"

Paopao terbiasa melompat ke punggung Mile. Bahkan memijit dan mencakar di sana. Lucunya dia diam jika Mile memeluk. Membuatnya tampak seperti boneka bulu "Hmmh ... diam dulu, Baby. Daddy mau bolos saja hari ini. Lama sekali tidak me-time dengan bayiku," katanya bermanja-manja. Mile pun membuat tabungan khusus untuk merawat Paopao. Terbukti setiap bulan 1/3 gajinya dipotong. Semua demi jatah royal canin, pohon kucing, kasur bulat, grooming, sepatu dan baju-baju yang lucu--sayang Paopao menolak keras dirias. Dia menggigiti kalung yang pernah dipakai, bahkan menghilangkan sepatunya karena jengkel. Paopao juga merobek baju dengan segala cara. Membuat Mile meniadakan dandan hingga sekarang.

BRAKKKHHHHHHH!!

"Aduhhhh!!!!" keluh Apo saat terlempar ke lantai betulan. Dia kaget karena balik di dunia nyata, tapi bertubuh kucing jelmaan. Bedanya Apo tidak ber-paw seperti kemarin. Jarinya mulus. Membuat Mile bangun dari tidurnya.

"Natta?"

DEG

"Eh!!" Apo refleks memeluk tubuhnya sendiri. "Ugh, p-pagi ... Daddy ...." sapanya makin meringkuk. "A-Aku tadi bermimpi buruk--maaf ... apakah Daddy terganggu?" tanyanya menahan malu.

Ya Tuhan, apa aku harus telanjang setiap berubah?

"Huh? Siapa bilang sudah pagi?" kata Mile sambil mengucek mata. "Baru jam 2, Natta. Lihat dulu. Bekerku kan baru berganti batrei ...." desahnya.

"T-Tapi ...."

"Hhh, ya ampun ... kepalaku pusing sekali, ck .... " keluh Mile menyela. Dia pun membenahi selimut Paopao. Lalu turun untuk mengambil yang baru dari lemari. Benda itu ditangkupkan ke Apo. Diputar-putar. Membuat si empunya menjadi seperti risol. "Pokoknya pakai dulu, ya. Langsung tidur. Aku terlalu capek untuk membuatkan baju baru," katanya. "Punyamu tadi siang pun baru di loundry ...."

"Umn."

Apo pun mengangguk pasrah.

"Ya sudah ...."

"Daddy ...."

Namun si bidadara sulit melepaskan Mile.

"Apa?"

Apo terlalu sedih dengan isi mimpinya barusan. Anehnya tak bisa menangis. Hatinya sakit karena alasan yang samar. Dia terheran-heran kenapa bisa senyata itu. Apo pun menggenggam Mile begitu erat. Seolah ingin menyalurkan kekuatan walaupun tak bisa.

"Daddy ... rasanya sakit sekali, ya?" tanya Apo, walau dia sendiri tak paham konteksnya.

"Huh? Sakit apa?"

"T-Tadi malam ... yang itu ... di restoran ...."

Kantuk Mile pun hilang seketika. Dia tak menyangka Apo paham kondisinya. Apalagi perubahan si kucing berulang. Mile akhirnya yakin seharian tadi bukan mimpi. Termasuk cerita Apo soal bidadara, reinkarnasi, dan Kerajaan Langit yang indah.

"Oh ... ha ha ha. Iya. Dibohongi jelas sakit lah. Dasar ...." kata Mile. "Tapi besok pasti kuurus kok. Si Us itu harus tahu."

"...."

"Aku sendiri tak tega jika menikahinya karena tipuan, Natta. Itu tak adil untuk kami berdua."

"...."

Mile pun jongkok lagi karena amat penasaran. "Kenapa, hm? Kau khawatir padaku? Daddy tidak apa-apa ...."

Tidak apa-apa, bagaimana? Pikir Apo. Jelas-jelas wajah Mile stress sekali. Untung Alpha itu tak menyakiti diri sendiri. Orang lain mungkin sudah bunuh diri, sinting, gila, atau membenci hidupnya. Namun Mile agak berbeda. Kemampuannya bertahan adalah tanda ingin hidup bahagia. Hanya saja banyak hal menakutkan di luar sana. Apo juga tak tahu apakah mimpinya fakta, yang pasti dia ingin memeluk Mile seerat mungkin.

"Iya, Natta takut sekali, Daddy. Hiks ... hiks ... hiks ...." isak Apo tanpa peduli selimutnya melorot. Bidadara itu pun merangkul leher Mile. Membuat sang Alpha terhenyak diam. "Natta mau tolong Daddy ... hiks, hiks, hiks ... Natta mau tinggal sama Daddy ... b-boleh tidak? Daddy maunya dibantu apa ...."

Mile pun kebingungan harus apa. Dia justru menoleh ke Paopao. Tidak mau bayinya marah karena cemburu lagi. "Hmm, ini sulit ...." katanya mencoba realistis. "Kau kan punya Ayah Ta, Manis. Aku pasti dihajar kalau macam-macam padamu ...."

"Ugh ...."

"Kau punya lemari pakaian, perhiasan, fans jutaan di instagram--ya ampun.

Makananmu pun setara gajiku dua bulan," kata Mile. "Belum lagi biaya perawatanmu. Kau bisa jelek ikut babu sepertiku. Ha ha ha ha ha ...."

Apo pun merengek-rengek. Lalu Mile bertanya kenapa ide tadi bisa muncul. Si bidadara akhirnya cerita satu per satu. Tanpa melewatkan sedikit pun detail yang bisa diingat. Mile sendiri mendengarkan baik-baik, padahal aslinya sungguh tak nyaman. Apalagi Apo tidak tahu kenapa bisa melihat masa lalunya. Yang barusan adalah separuh nyata dan mimpi. Apo sudah diobrak-abrik percampuran astral yang menghantam kesadaran.

"Lebih baik jujur ke Ayah Ta dulu, oke? Sembilan hari lagi dia pulang," kata Mile. "Kita perlihatkan perubahanmu padanya. Biar Ta tahu bagusnya harus bagaimana."

"Umn, Daddy ...."

Apo pun mengangguk patuh karena tak sanggup melawan Mile seperti pertama bertemu. Lelaki ini sudah bilang adegan dalam mimpinya sungguh terjadi, walau di beberapa bagian imajinatif.

"Besok kita bertemu Us di sebuah kafe."

"Iya ...."

"Sekarang ayo tidur. Jangan sampai kurang istirahat karena hal ini."

"Umn."

Apo pun naik ke ranjang. Tapi dia beringsut ke pinggir dan memeluk Paopao. Mile sendiri memunggungi mereka. Sepertinya nyaris menangis, meskipun tak bersuara. "Ugh, Daddy Mile ...." batin si bidadara ingin mengelus. Pelan-pelan Apo pun menepuk bahu Mile. Tanpa tahu usai terlelap Paopao membuka mata hijaunya.

***

[Us Keponakan Pak Dekan: Oh ... kencan pertama? Bagaimana kalau nonton dulu sebelum ke kafe A?]

[Mile: Tidak perlu, Us. Aku hanya ingin bicara sebentar]

[Us Keponakan Pak Dekan: Yah ... cepet banget!! 😔 Aku kan pengen ngobrol lama sama kamu ....]

[Mile: Ya, di kafe pun bisa ngobrol berjam-jam]

[Us Keponakan Pak Dekan: Ya sudah deh 🥺 Lain kali ajak ke tempat lain yaaaaaaa. Kan Papa bilang kita mau tunangan. Masak sih aku tidak kenal calonku sendiri ....]

[Mile: Kita nanti ketemuan pukul 9. Dah]

Pagi itu, usai membereskan satu persoalan Mile pun mencuci mobilnya. Dia ditemani Paopao yang menunggu keran air. Sebab si bayi diberi tugas mematikan bila bak-nya penuh.

"Meooowwww ...."

***

"Ha ha ha ha ha. Oke sip. Biar kubilas bempernya dulu!" kata Mile sambil mengunyek-unyek kepala Paopao. Persia oren itu pun mengangguk lucu. Barulah fokusnya pindah ke Apo yang muncul di balkon.

"Haiiii!" sapo Apo dengan cengiran. Persia putih itu memakai kaus yang baru, tapi bertopi untuk menutupi telinga kucingnya. Celana Apo juga panjang gombrong-gombrong. Semua demi menyembunyikan ekor besar yang terus mengibas indah.

"...."

"Eh? Kok gitu?" bingung Apo karena Paopao langsung membuang mukanya. "Sayang Pao?"

Paopao cukup mengerjakan tugas dengan baik. Dia membantu Mile dan naik ke gendongannya. Lalu dibawa masuk usai mobilnya bersih nan wangi.

"Baby nanti ikut atau di rumah?" tanya Mile.

"Meoow ...." sahut Paopao tak jelas.

"Hohoho, ikut ya ...." kata Mile yang mengartikan sesuai prasangka. "Nanti Daddy belikan es krim yang manis. Oke, Sayang? Cokelat atau vanilla bagusnya?"

Paopao hanya diam tapi makin manja di dada itu. Dia pun dioper ke Apo karena Mile mau mandi. Apo sendiri langsung

senyum dengan cengiran yang riang. "Makasih ....!" katanya.

"Sama-sama ...." Mile pun membalas senyumnya sebelum pergi.

Apo menimang sang kekasih ke sofa, tapi yang dielus tidak mau memandangnya. "Meoow? Eh kenapa?" bingungnya penuh tanda tanya.

"Meoooowwww, meooow. Natta berubah begini lagi ...." kata Paopao akhirnya jujur. "Aku takut, Natta. Aku tidak suka kau berubah terus."

Apo pun berhenti mengangkat Paopao ke udara. Dia menaruh sang kekasih ke dada. Lalu membelai pipinya sayang. "Aku sebenarnya juga tidak suka kok, Paopao Sayang ...." katanya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi aku tak bisa berubah sendiri. Serius. Tadi pagi sudah begini lagi ...." akunya ikutan bingung.

Paopao pun menjilat bibirnya sedih. "Natta bilangnya jujur, kan?" tanyanya karena krisis kepercayaan.

"Iya ...." Apo pun segera balas mencium, tak peduli mulut kucing itu beraroma susu pabrik. "Natta itu sayang, sayang, sayaaaaaaaaang sama Paopao. Percaya tidak?" tanyanya. "Natta cinta sama Paopao ini...." Dia mencium sekali lagi.

Paopao pun menyeruduk leher. Apo tertawa. Hanya saja itu tak bertahan lama. Apo menangis karena Paopao bilang melihatnya lagi dengan Mile semalam. Paopao kesal, tapi ternyata tak bisa marah seperti janjinya kemarin. Bagaimana pun Paopao terlibat dengan masa lalu Mile. Malahan dia lebih tahu seberapa besar trauma sang Daddy daripada Apo.

"Aku itu juga sayang Daddy, tahu. Daddy hebat," kata Paopao. "Tapi tak bisa bicara atau menghiburnya seperti Natta ...." lanjutnya dengan suara pecah.

"Paopao ...."

"Daddy memang sering memeluk karena takut. Terus mengajakku ke mana-mana," aku Paopao. "Maksudku, Daddy lebih hangat daripada majikan lain kan? Dia senang memperlakukanku seperti teman atau keluarga, padahal banyak orang ingin main dengannya."

"...."

"Daddy begitu karena benci Mama-nya, Natta. Dulu sering kumat dan merusak barang. Tapi sekarang tidak begitu ...." kata Paopao. "Jadi ... umn, kalau Natta suka Daddy juga tak apa-apa kok. Aku kasih ...."

Apo makin sedih karena mata Paopao mulai pipis. "Ihhh ... tolonglah jangan bilang begitu ...." katanya terus membelai. "Aku pasti setia ke Paopao terus, ya? Siapa tahu Paopao jadi manusia juga. Bagaimana?"

"Ha ha ha. Kalau memang begitu ... kenapa tidak dari dulu-dulu?" kata Paopao kesal. "Buktinya Natta baru reinkarnasi sudah berubah jadi manusia, hisssh. Aku ini tidak bodoh untuk dibohongi, tahu. Usiaku sekarang sudah 6 tahun, Natta ...."

Apo pun mendekap Paopao di dadanya. Dia makin meringkuk, lalu menangis hingga tertidur di sana. Kedua kucing tersebut tidak tahu Mile menguping di tirai pintu. Tangannya membawa cemilan, tapi tak jadi diberikan kepada ikut merasa bersalah.

***

Kediaman Junyangdingkul, Wilayah Utara, Kerajaan Langit.

________________________

Karena amat penasaran, Masu pun menulis ulang mantra curiannya berkali-kali. Buku salinan bahkan penuh karena ragu-ragu. Lalu mencoba satu atau dua yang paling bagus. "Hm ... Natta kan sudah memakai yang ini tadi pagi," katanya sambil menandai X dengan tinta. "Nanti sore ganti mana lagi ya ...." lanjutnya sambil memantau lewat cermin benggala. "Tapi bagus kok. Paw jari Natta sudah menghilang. Tinggal telinga dan ekornya kalau begitu."

Bidadara itu tampak semangat, walau cermin benggalanya sudah dimasukkan ke laci saat Paopao menangis. Masu tak tahu hasil perbuatannya berdampak besar. Sebab hanya fokus menolong sahabatnya di bumi.

"Masuuuuuu! Masuuuuu! Masuuuuu!"

Mendadak ada suara ketukan di pintu kamar.

"Ehhhh? Iyaaaaa?" sahut Masu sambil menimpa buku dengan jurnal bidang.

"Puteri Davikah mencarimu loh!! AYO CEPAT! KATANYA PENTING SEKALI!!" kata Nunew, salah satu pelayan kerajaan.

"AH! IYA! IYA! A-AKU DATAAAAANG!" kata Masu gelagapan. Dia pun segera terbang keluar, walau keringatnya keluar sejagung-jagung. Entah kenapa firasatnya tak enak. Apalagi sudah ada kata 'penting' di belakangnya. "Permisi, Yang Mulia ...." katanya sebelum masuk. "Hamba bisa bantu apa ...."

Puteri Davikah yang berdiri dengan gaun gemerlap pun berbalik. Lalu berkacak pinggang di hadapannya. "APA INI?!" Sebuah buku sihir pun dilempar ke lantai. Tampak bagian tengahnya robek separuh. Masu pun mundur karena takut, tapi para prajurit sudah menghadang dari belakang.

"Eh?"

"Anda harus menjawab pertanyaan Yang Mulia dulu," kata mereka dengan tombak-tombak yang terpancang.

"JAWAB SEKARANG, MASU! AKU TIDAK SUKA BIDADARA NAKAL!" kata Puteri Davikah. Matanya sampai melotot sangking tak percayanya si pelayan kesayangan berbuat begitu.

"H-Hamba--ugh ... Y-Yang Mulia tolong dengar penjelasan Hamba dulu ...." Masu refleks mundur-mundur. "H-Hamba cuma--umn, cuma ingin menolong sahabat--"

"OOOOOOOH BEGITU YA? MENOLONG TEMAN TAPI MELANGGAR PERINTAH!" kata Puteri Davikah murka. "Dengar ya, Masu Junyangdingkul. KATA-KATAMU ITU TIDAK MENJADI ALASAN! TIDAK BISA!" bentaknya. "Sekarang berani bertindak di belakangku. Lama-lama kalau dibiarkan malah merembet kemana-mana. Iya kalau temanmu baik? Kalau temanmu jelek, terus perbuatan ini ditiru yang lain-lain ... OH, ASTAGA AKU TAK BISA BERPIKIR!"

"AMPUUUUUUNNN, YANG MULIAAAA!" kata Masu segera bersujud. "HAMBA PANTAS MATIII, YANG MULIAAAA! HAMBA BENAR-BENAR MINTA MAAF!" Kepalanya sampai dibenturkan ke lantai, tapi Puteri Davikah sudah terlanjur kesal. Wajah boleh manis, tapi ketegasannya tak ada lawan. Puteri Davikah pun akhirnya mengutuk Masu sekalian. Dengan sihir dia mengangkat tubuh Masu ke awang-awamg. Lalu membuangnya ke bumi.

"PERGI! PERGI!" kata Puteri Davikah. "MENYUSUL SAJA KE SAHABATMU ITU! BRENGSEK! TIDAK ADA BIDADARA PENDOSA SEPERTI KALIAN DI SINI!"

"AAAAAAAAAA! TIDAAAAAAAAAAAK!" jerit Masu karena sayapnya hilang. Dia pun terbanting ke atap toko. Badannya berdarah, tapi langsung menguap menjadi bulu yang diterpa angin.

Mirip Apo, Masu pun masuk ke tubuh kucing karena kutukan untuknya sama. Namun rasanya pusing saat pertama kali membuka mata. "Meoowwww ...." Aduh, ya ampun. Shhh--shh--shh--shh ... sakit! Keluhnya. Barulah fokus ke wajah tampan yang familiar.

"Wahhhh! Betulan! Cantik sekali anak iniiiii. Hihihi ...." kata Ta langsung kegemasan. Pewaris Nakunta Grid Group itu memang sengaja berkunjung ke pet-shop selama di Finlandia, sebab dia kepikiran Natta yang tak punya teman. Di sela-sela kesibukan dia meluangkan waktu untuk mencari Ragdoll, lalu mengadopsinya untuk dibawa pulang. "Ya ampun. Anak keduanya Ayah ....! Sini-sini-sini ... mumumumumu ...." katanya sambil mengangkat Masu ke udara.

Ta pun menciumi Masu hingga puas. Lalu menimangnya seperti bayi.

"MEOOOWWWWWW!!"

AAAAAAAAAA! TIDAAAAAAK! JANGAN BILANG AKU BETULAN MENJADI KUCING! AAAAAAAAA! SAYAPKUUU!

Ta dan sopirnya pun tertawa keras sebab si Ragdoll mendadak drama. Dia menggeliat gaduh dalam pangkuan. Membuat pita yang dikenakan menjadi copot.

"Heiii, heiii jangan seperti iniii, paham? Percuma saja kau melawan. Kukumu itu sudah dipotong, tahu. Ha ha ha ha ha!" tawa Ta makin gemas. Alpha itu tidak tahu seberapa struggle krisis identitas Masu, sebab ini lebih buruk daripada pengalaman Apo.

ARRGGGGGGHHHHHH!

BUAH PELIRNYA BUKAN HILANG KARENA DIPOTONG, SIAL!

DIA MALAH MASUK KE KUCING BETINA!

TIDAAAAAAAAKKKK!!

"MEOOOOOWWWWWWW!!" raung Masu syok parah. Dia pun dimasukan dalam kandang warna-warni. Ta terhibur. Sebab Masu menyeruduk jeruji besinya berkali-kali. "MEOOOW! MEOOW! HIISSSHHH! MEOOOOOWW!"

.... tapi Masu tidak bertahan lama. Bagaimana pun Ragdoll jenis kucing ramah, dia pun mengikuti hormon asli dengan perasaan melembut. Masu juga mudah lelah saat melawan. Jadi dia diam saat didandani ulang sore harinya.

"Meoooowwww ...." adu Masu dengan kepala mendongak.

Ayah Ta aku sangat lapar ....

Masu pun dapat senyuman tampan. Lalu Ta meletakkan laptop dan kacamatanya ke meja hotel. "Iya, Sayang. Sebentar, ya," katanya. "Ayah memang belum beli stok wet food-mu. Bagaimana jika nanti jalan-jalan? Tapi Ayah mandi dulu ...." Dia mengesuni ubun Masu yang harum mewangi.

Eh?

Wu-fud?

Apa itu?

Aku kan maunya ayam--

"Hoho ... aku makin tak sabar untuk mempertemukanmu ke Natta," kata Ta Nannakun senang. "Kalian pasti menjadi sahabat baik ...."

Mendengar perkataan tadi, Masu pun berusaha mengingat-ingat. Dia akhirnya sadar Ta si konglomerat yang punya hak asuh Apo. Pantas wajahnya seperti pernah Masu lihat--ARRGH! TERNYATA DULU MUNCUL DI CERMIN BENGGALA!

Eh?

"Meooooww?"

"Ayah kembali 20 menit lagi, dah ...."

Dengan langkah yang gontai, Ta pun pergi sambil bersiul-siul. Tampaknya mood remaja itu sangat baik karena kerjaannya lancar.

***

Memasuki kafe janjian, Paopao pun menggantung di lengan Mile dengan perut yang dipeluk. Dia tolah-toleh untuk memperhatikan sekitar. Lalu senyum saat menemukan Apo di parkiran. Sang kekasih melongok dari jendela mobil saat menawarkan es krim. Membuat Paopao mengibaskan ekor kesenangan.

"Halo, Mile ...." sapa Us saat calon Alpha-nya datang.

"Halo," balas Mile cukup datar. Dia permisi meletakkan Paopao di kursi lain, sementara Us menoleh si kucing keheranan.

"Oh? Kau ternyata pecinta Persia rupanya.. Hmmm ...." komentar Us sedikit risih.

Mile pun sadar perubahan ekspresinya. "Iya, sangat suka. Paopao itu keluargaku," katanya.

"Tapi aku tidak suka kucing ...." kata Us, yang segera memperbaiki omongan. "Ah, maksudku ... ya karena bulu mereka bertebaran. Ha ha ha. Nanti bisa beli pembersih kok saat kita merawatnya, ya kan?" Dia mengetuk-ngetukkan jari yang dilingkari cincin lamaran.

Soal itu, kemarin Mile memang memberikannya dengan kebohongan. Sebab Pak Dekan yang menyiapkan semuanya itu di bawah meja. Mile tinggal memberikan sesuai jebakan. Bagusnya Alpha itu mengikuti alur untuk menjaga perasaan. Hari ini dia betul-betul meluruskan semuanya, walau Us kaget mendengar fakta yang ada.

"Apa-apaan semua ini ...." kata Us sambil memijit kening.

"Serius, kau bisa tanya ke Pak Dekan," kata Mile. "Ini di luar kemauanku, Us. Aku ditawari profesi saja."

"...."

***

"Tapi maaf," kata Mile. ".... menjadi suami bukan jenis pekerjaan yang menarik. Karena bagiku pernikahan bukan permainan."

Us pun memandang lelaki di depan matanya. "Baiklah, Mile. Senang kau jujur meski ini membingungkan ...." katanya.

"Ya ...."

"Terus bagaimana rencanamu?" tanya Us. "Apa tidak mengambil tawaran Papa? Beliau kan bilang mau menjadikanmu dosen betulan."

.... ya, tapi harus menunggu lulus S2 dulu.

"Tidak, tidak perlu. Sudah kuputuskan untuk mendalami renang saja. Aku suka," kata Mile sambil menyuapi Paopao es krim. "Kau sendiri bagaimana? Kenapa buru-buru menikah? Usiamu bahkan lebih muda dariku."

Us pun menghela napas panjang. Dia menatap Mile kecewa, tapi tetap menjawab sedikit. "Aku hanya ingin hidup aman dan pasti, Mile. Bersuami," katanya. "Tapi bukan Alpha brengsek tentunya. Aku juga ingin menikah dengan baik-baik ...."

"Oh ...."

"Setelah itu baru melanjutkan S2. Aku lega."

Mile pun memutuskan tak bertanya lebih jauh. Sebab nantinya malah melanggar batas. Keduanya berjabat tangan sebelum pisah. Namun hanya Paopao yang menyadari satu hal aneh. Persia itu menoleh ke belakang dengan leher lenturnya, sementara Mile menggendongnya masuk ke mobil.

"Oh ... Omega itu hamil rupanya," batin Paopao, saat melihat Us mual-mual ingin muntah. "Aku jadi ingin memukul ayah bayinya. Sial ...."

***

Turku, Finlandia. Pukul 16:00.

________________________________

"Bagaimana, Baby Shu? Suka tidak? Ayah bawakan makanan enak ...." kata Ta. Di swalayan dia menggendong Masu memakai gendongan kucing. Sebab remaja itu ingin mengabadikan momen dengan kamera. Ta menolak ribet saat memasukkan barang ke troli, sementara si sopir mendorongnya dari belakang. "Lihat, lihat ... royal cannin. Sementara ini dulu ya karena BB-nya tidak ada di toko eceran." Dia membelai kaki-kaki Masu yang terpancang vulgar. Desain gendongan memang berada di depan dada Ta, tapi meski menutup vagina tetap saja dia mengangkang!

"BRENGSEK SI KAYA INI PAHAM TIDAK SIH DENGAN POSISINYA?!" batin Masu marah-marah. Dia pun menahan malu sepanjang perjalanan, tapi tak mau heboh karena takut dimasukkan kandang lagi. "AKU BENAR-BENAR BENCI JADI BETINA--SHIT! DI MANA NAGA BESARKUUUUUUUUUUUU!"

"Hohoho, ada koleksi baju kucing rupanya. Sangat imut!" kata Ta dengan mata berbinar-binar. Dia langsung mendekat ke rak benda perkucingan. Sepenuhnya kalap belanja, lebih dari beli barangnya sendiri. "Ini kembaran bando dengan Natta. Ini juga. Eh--kau mungkin cocok pakai pita itu!"

Terserah!

Masu yang capek pun memilih tidur. Tiba-tiba saja sangat rindu orangtuanya di langit. "Ibu ...." batinnya sedih. "Ibu Masu sekarang tidak punya Naga, Bu ...."

***

"Paopao! Sini!" kata Apo saat mereka turun ke toko buah. "Eh--m-maksudku, Daddy boleh gendong Paopao tidak?" tanyanya. "Aku kangen ...."

Mile pun memberikan bayi-nya. Lalu membenahi topi Apo agar tak mudah jatuh. "Ini, bawa saja," katanya. "Jangan lupa hati-hati, oke? Jika ini copot telingamu bisa dilihat orang."

"Oke!! Siap!" kata Apo langsung girang. Dia pun mengikuti Mile dari belakang, tapi disuruh ikutan memilih. Kata Mile, biar Apo tahu dunia luar lebih banyak. Dia mungkin kaget dengan perubahan yang intens. Mulai jadi bidadara, kucing, lalu kini manusia. Mile tahu Apo kesulitan beradaptasi. Sebab dia menciumi buahnya dulu sebelum dibeli.

"Benar-benar belum bisa menghilangkan sisi kucingnya," batin Mile. "Tapi beda kali ya kalau jadi manusia total ...."

"Daddy! Mau ini," kata Apo tiba-tiba. Dia menyodorkan mangga hingga lamunan sang Alpha buyar. Tapi bidadara itu langsung pergi setelah memasukkannya dalam keranjang.

"Ha? Apa yang terjadi barusan?"

Apo pun keliling toko dengan riang. Tidak lupa mengajak Paopao mengendusi jeruk impor. Segala yang mereka suka langsung diborong ke mobil. Namun Mile tidak keberatan karena uang Ta juga yang dipakai. Dia jadi membayangkan dulu Gulf begini. Ta pasti memberinya uang juga untuk Natta jajan.

"Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padanya, entah apa...." batin Mile. "Rasanya masih ada yang tak enak hingga sekarang ...."

Begitu pulang, Mile pun mengupaskan 3 mangga untuk Apo. Juga sepiring wet-food ke Paopao tersayang. Dia menikmati anggur segar, tapi tidak lagi saat ada panggilan masuk.

"Ah, sial. Video call ...." kata Mile sambil menunjukkan layar ke Apo. "Harus kujawab apa jika dia menanyakanmu? Sedang berak?"

"Uhuk!" Apo pun tersedak mangganya. "Ugh! Daddy!"

"Ya kalau bukan itu pasti Ta maunya shooting," kata Mile. "Mengaku online soal perubahanmu bukan ide bagus. Ta harus melihat telinga dan ekormu langsung biar percaya faktanya."

Apo pun saling pandang dengan Paopao, seolah ingin pendapat sang kekasih yang dinilainya mampu. Paopao seketika melompat ke ponsel itu. Menyeruduk layarnya. Sementara Mile langsung meletakkannya ke meja. "Meowwwww, meow ...."

Ya sudah, aku saja yang mengangkat ....

"Oke," kata Mile usai diterjemahkan Apo. Dia pun membiarkan Paopao menghadapi sambungan. Siap menyapa Ta si wali pacar yang konglomerat.

"HALOOOOOOOOOOO!!" teriak Ta mengagetkan.

"MEOOOOOWWWW! Whoaa, whoa, whoa, BRENGSEK!!" kata Paopao yang langsung terkejut. Sebab bukan cuma dirinya yang close-up, tapi ada kucing lain yang menghadap kamera Ta selayar-layar. "AH GILA!" Dia langsung melompat ke pangkuan Apo karena jantungan.

"Kenapa?" tanya Mile langsung mengecek ponselnya. "Oh? Who's dat? A new baby?" tanyanya ikut terkejut.

Ta pun langsung mengayunkan tangan berbulu Masu dengan bangganya. "Iyaaaa, Daddy Mile. Dedek Shu ingin ketemu kakaknya. Mana Nattaaa?" tanyanya, padahal Masu kelihatan badmood.

".... kan," batin Mile sebelum ber-akting. Dia benar-benar bilang Natta berak, sementara Ta Nannakun kecewa.

"Ah, padahal Baby Shu mau menyapa saudaranya," kata Ta. Dia tidak tahu Mile men-screenshoot layar. Semua agar Apo melihat hasilnya.

"Iya, kapan-kapan kalau kalian pulang ke Bangkok. Kita tinggal bertemu di dimana, begitu?" kata Mile. "Janjian saja, Ta. Gampang. Natta baik-baik saja di sini."

"Okelah," kata Ta pada akhirnya. Suara remaja itu kembali berat usai berhenti vokal ala-ala kucing. "Kalau begitu nanti janjian lagi, ya Phi. Masih 8 hari di sini."

"Ya."

"Kalau uang jajannya habis bilang saja. Yang penting Natta-ku tetap cantik paripurna."

"Ha ha ha ha ha."

Ta pun mematikan sambungan, tapi jujur Mile kagum dengan kegemarannya kepada kucing. Ta adalah jenis yang murni suka anabul, bukan sepertinya yang memelihara Paopao dulu baru suka. Bagaimana Ta akting imut perlu diapresiasi, tapi maaf--wajah Alpha-nya tetap menghibur bila kembali gahar.

"Apa kalian dengar itu? Natta punya adik lagi," kata Mile, lalu menyerahkan ponsel ke Apo.

"Wah ...." decak Apo penuh kekaguman. "Dia cantik sekali ... um, Daddy. Apa benar namanya Baby Shu?"

"Ya, Shu."

"Daddy tanya tidak nama lengkapnya?"

Mile mengendikkan bahu. "Shu, ya Shu saja. Seperti kau dan Paopao juga. Nama kucing memang perlu versi panjang?" katanya, tapi Apo tak tersinggung. Dia justru menunjukkan layar ke Paopao, tapi sang kekasih justru membuang muka malunya.

"Meooow! Ah, apa-apaan. Pokoknya Natta tetap yang paling cantik," kata Paopao. Sementara Mile tak ikut tertawa karena tidak paham bahasa si bayi.

Apo pun merona tipis, walau dia tahu Paopao mengakui si Shu tadi cantik juga. "Makasih, Sayang Pao," katanya. "He he. Ayo makan lagi food-food-nya. Kita habiskan."

Mile hanya terkekeh gemas ke mereka.

***

[Senin] [Kamis]

✓ ✓

Pada hari Rabu pagi, Mile memasang jadwal barunya di Starbucks. Dengan 5 hari free dia memutuskan menggandeng marketplace. Kebetulan lelaki itu suka barang yang terbuat dari kulit. Mile mengalihkan uangnya ke bisnis kecil. Lalu meng-handle-nya sendiri. Dia membuat Paopao dan Natta penasaran saat mendesain blog. Lalu memasukkan iklan-iklan di sana.

"Meowwww ... Daddy lagi apa ...."

"Lagi apa ...."

Suara kucing-kucing itu bersahutan. Paopao pun naik ke meja kerja Mile, sementara Apo berlutut menonton laptop. Keningnya sempat ditoyor karena menghalangi lampu sorot. Lalu disuruh mengambil kursi. "Lagi kerja, penting. Kau gotong saja kursi plastik yang di depan. Daddy mau cari uang," katanya mode serius.

Apo (yang waktu itu hanya memakai singlet dan celana pendek) pun manyun, tapi patuh juga agar tak mengganggu Daddy-nya. Dia memperhatikan apa yang Mile lakukan, tampak tidak paham tapi suka dengan gambar-gambar di depan mata. "Daddy itu sepatunya dari apa ...." tunjuknya ke satu model.

"Oh? Kalau itu kulit sapi," sahut Mile tanpa berhenti mengetik. "Lainnya ada yang dari kambing, kerbau, kuda ... limited juga ada dari ular dan buaya."

"Whoaaaa ...."

"Meowww ...."

"Mau coba kapelan dengan Pao?" tawar Mile.

"Eh?"

Mile tersenyum tipis perlahan. "Aku bisa buatkan jaket untuk kalian. Bentuknya bisa diukur. Baby Pao punya modelnya sendiri."

"Meoow ...."

Merasa sangat terharu, Paopao pun mendekat dan memelototi layar. Mile membelai punggungnya sayang. Lalu menunjukkan Google penuh gambar. Di sana terdapat jaket kucing yang berbeda. Mile meng-klik-nya gantian, tapi tiba-tiba error. Klik-klik-klik-klik! Layar hanya berhenti di satu laman. Markahnya macet, namun riwayat url-nya berubah. "Hah? Kok?" bingungnya tidak karuan.

"Meow?"

"Daddy?"

"Waduh, ini sepertinya kena virus ...." kata Mile. Matanya memicing saat ada iklan porno separuh badan. Kali ini tak hanya lewat melainkan muncul ke permukaan. ".... ah?"

.... ada gambar sayatan Z pada selangkangannya.

Sangat jelas.

Potret vagina itu takkan Mile lupa. Apalagi tak sekali dua kali menungganginya.

Makin ke bawah lagi ada tato huruf MP warna hijau. Lengkap mawar merekah yang berhiaskan duri.

"Ha ha. Sepertinya harus diperbaiki dulu ...." kata Mile. Dia pun menutup laptop tanpa men-shut down. Sebab Alpha itu tidak mau para kucing khawatir. "Hm, ayo tidur-tidur ... besok aku juga kuliah."

"Daddy ...."

"Meoow ...."

Apo meraih lengannya. "Daddy tidak apa-apa kan? Kenapa tadi ...."

"Aku baik-baik saja ...." kata Mile. Dia melepaskan genggaman si Bidadara. Langsung ke ranjang, lantas menarik selimut hingga ke bahu. Padahal Mile termasuk tipe disiplin, setidaknya soal bersih-bersih dan hal pribadi. Dia tak pernah lupa cuci muka dan sikat gigi, hanya saja malam ini berbeda. Mile kadang tremor dan membolak-balik badannya.

Paopao paling tahu sang pemilik mau kambuh. "Meoww, Natta. Ayo jangan boleh membiarkan Daddy sendirian. Cepat!" katanya segera berlari.

"Eh! Tunggu! Tunggu!" kata Apo.

Paopao pun melompat ke bantal Mile. Mengendus mukanya. Sementara Apo disuruh memegang tangan. Telapak Alpha itu menggigil. Mungkin dia ingat kenangan gelap di masa lalu. Paopao pun tak yakin apakah tadi benar-benar 'Mama', sebab dia hanya dengar cerita Mile. Apo sendiri hanya melihat wajahnya dalam mimpi. Jelas itu tak seperti bertemu langsung.

"A-Ayah ... Ayah ...." desis Mile sambil menjambak rambut. "Maaf, Ayah. Mile benar-benar tidak bermaksud begitu. Ayah ... Mile sungguh meminta maaf ...."

Apo pun berlutut di sisi Mile sepanjang malam. Dia dan Paopao tak bisa tidur hingga Mile tenang. Keduanya setia tanpa ada yang meninggalkan.

***

8 Tahun Lalu ....

Itu adalah akhir pekan yang cerah. Mile pulang main dengan sepatu rodanya. Lalu melempar ransel bola ke sofa. Matanya memicing karena ruang tamu berantakan, pertanda tadi ada orang datang. Remaja itu pun menilik ke dalam, siapa tahu Bibi Hani sedang menjahit.

"Bibiiii! Bibiiiii!" panggil Mile sambil menyibak tirai. Dia melepas jersey bertuliskan 15. Lalu memasukkannya ke mesin cuci. Sayang, Bibi Hani ternyata tak ada, malahan ada ketawa-ketiwi berisik di kebun. Bukankah itu suara sang ayah? Sejak kapan pulangnya? Kenapa Mile tidak dikabari? Padahal mereka sudah tak bertemu 3 tahun. "Bibi Haniiiiiiii!" kata Mile yang sengaja mengeraskan oktaf.

Kitt pun masuk rumah lewat pintu belakang, tapi sambil merangkul wanita muda. Mile tak menyangka ayahnya akan begini, padahal tampak stress ketika istri dan bayinya meninggal di meja operasi. Kitt lantas mengenalkan Mile ke pacarnya, yang (katanya) mereka bertemu di perbatasan negara. Entah sebagai apa wanita itu. Yang pasti dia tampak bukan dari dunia militer, apalagi dokter yang membantu perang. Perawakannya lebih seperti artis TikTok. Riasannya berani, tapi memang cantik sekali.

"Aku Zelena, Mile. Zelena Aey Kavvin, tapi panggil Zee saja cukup. Salam kenal ...."

"Salam kenal ...." kata Mile yang membalas tangkupan tangannya. Mile baru menjabat saat Zelena mengulurkan tangan, lalu jemari itu meremas-remas rahasia. Mile bisa melihat kutek Zelena tebar pesona, tapi maaf remaja itu langsung berlalu.

"Aneh ...." pikir Mile. Dahulu dia tak punya preferensi seksual khusus. Sebab mau lelaki, perempuan, Alpha, Beta, atau Omega--dia menganggap semuanya sama. Mile hanya tak mau berurusan dengan orang ganjil, tapi untuk menolak Zelena juga kesulitan. Mile tahu Kitt amat kesepian, apalagi kepergian Anee terbilang cepat. Sang ibu meninggal saat Kitt sayang-sayangnya, membuat pria itu tak menikah cukup lama. Mile akhirnya setuju dengan resepsi mereka. Namun hubungan itu mulai kacau di tahun kedua. Tepatnya saat Bibi Hani meninggal.

Mile pun disuruh pulang ke rumah utama di Kalasin. Sebab Kitt ingin istrinya dijaga.

Kata Kitt, "Setidaknya ada satu lelaki, Nak. Mama sendirian sekarang."

"Iya, Ayah."

"Sekolahmu pindah saja agar lebih dekat. Temani Mama biar tetap aman," imbuh Kitt coba menegaskan.

"Iya ...."

Mile akhirnya melaksanakan perintah. Dia pindah kembali, padahal sebelumnya enak saat Zelena ditemani Hani. Mile bisa menempati rumah bibinya sendirian. Dia bebas. Tidak perlu bayar kosan setiap bulan hanya karena ingin sekolah di kawasan elit.

Mile pun senang di bulan pertama. Sebab ternyata Zelena pintar memasak. Setiap hari mereka saling membantu. Zelena menyiapkan bekal. Mile juga selalu dipuji saat mendapat prestasi.

"Wahhh, anak Mama betul menang lagi?"

"Ha ha, biasa ...."

Zelena segera melihat piala Mile dari dekat. Lalu membelikan etalase baru pagi harinya. Wanita itu memang royal sekali, terbukti apapun yang Mile lakukan didukung kuat. Dia membuatkan kolam renang saat rumah mereka direnovasi. Mile bangga, dan perhatian-perhatian itu menghapuskan pemikiran buruk sang remaja.

"Hmm, Ayah akan pulang besok ya. Bagus ...." kata Zelena suatu hari. Dia sibuk menata kulkas di dapur, sementara Mile disuguhi masakan yang hangat. Bagi remaja seumuranya itu berkah. Apalagi gemar olahraga. Mile serasa diberikan stamina setiap kali merasa lelah. Sebab Zelena paham komposisi masakan.

"Memang kenapa, Ma? Ada perayaan khusus?" tanya Mile sambil menyuap makan siangnya.

"Oho ... tentu lah. Sekarang katakan Ayahmu suka apa saja," kata Zelena sambil mengambil pulpen dan notes. Rupanya wanita itu punya buku masak, tidak heran jika pandai berkreasi. "Pasti nanti kubuat satu per satu."

"Serius?"

"Ya ...."

"Mama ini sangat berlebihan."

Meskipun begitu Mile tetap menyebutkan semuanya, termasuk menu-menu yang dia sukai. Bila Zelena tak bisa, pasti bilang akan belajar. Toh Kitt hanya pulang setahun sekali. Dia memiliki cuti 12 hari per tugas. Jadi setelah itu balik kerja lagi.

Mile rasa tak ada salahnya memperbaiki hubungan. Toh perasannya dulu mungkin hanyalah prasangka. Zelena betul-betul perhatian ke ayahnya, dia manis. Apalagi rajin menyetrika baju.

.... sangking tidak punya pekerjaan, mungkin?

Zelena memang dimanjakan oleh harta benda. Dia tidak hamil, padahal Mile sempat penasaran apa akan punya adik lagi.

"BHAHAHAHAHAHAHA! Apa-apaan? Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Zelena suatu malam. Niatnya hanya memberi camilan manis, hitung-hitung menemani Mile belajar rajin. Dia memang melakukannya setiap malam. Membuat Mile tidak keberatan karena buatan tangan--oh, ayolah. Yang hangat-hangat memang sering enak, termasuk obrolan pada waktu itu.

"Ya, siapa tahu? Banyak kok temanku yang punya adik di usia 17?" kata Mile.

"Huh? Kau kepingin?"

"Tidak juga sih, Ma. Tapi kalau dikasih tidak menolak. Ha ha ha ...." kata Mile separuh bercanda. "Kan seru kalau ada tangis bayi. Mile pasti bantu kok untuk menjaganya." Dia bilang. "Rumahnya sepi kalau cuma sama Mama."

"Ho ...."

Kuku berkutek Zelena pun mengetuk meja. Mile memandangnya sambil makan jajan. Lalu mengerjakan PR-nya kembali.

"Baiklah Mama bicarakan dengan Ayahmu dulu."

"Oke."

"Awas kau tidak mau ikut mencuci popoknya nanti," ancam Zelena sambil tertawa. "Mama pegang janjimu untuk ikut mengurus loh Mile. Mama sepertinya ingin bayi juga ...."

Mile pun terkekeh saat Zelena keluar.

Sebetulnya wanita itu lebih mirip kakaknya, sebab jarak umur mereka tak jauh amat. Hanya terpaut 11 tahun. Zelena tampak sangat awet muda. Dia lincah. Sebab hobi menggoes sepeda revolver setiap belanja sayur. Padahal Kitt membelikan dia mobil, tapi Zelena bilang tetap ingin menggerakkan badan. Hitung-hitung membakar kalori kan ... agar tetap langsing?

Mile terhibur dengan Mama muda-nya. Mereka akrab. Namun semuanya hancur di bulan ke tujuh.

Mile melihat Mama-nya bertengkar lewat telepon. Ayahnya dimaki, tapi masalahnya tak jelas. Mile hanya menangkap beberapa bentakan, yang intinya Zelena tak suka masa lalu mereka diungkit.

"AKU BENCI YA MAS KALAU BEGINI TERUS! AKU CAPEK!" bentak Zelena histeris. "AKU BENAR-BENAR TIDAK SUKA MAS MEMBAHAS ITU! BRENGSEK! KENAPA TIDAK CERAI SAJA?!"

Mile pun sembunyi di balik pintu, dia diam. Terus menyimak sambil memeluk skateboard barunya.

"Hiks ... hiks ... hiks ... mending dulu tidak usah menikah denganku. Hiks ... hiks ... hiks ... aku maunya kita cerai saja ...."

Sampai akhir Mile pun pura-pura tidak tahu, dia bertahan. Barulah keluar saat Zelena masuk ke kamar. Mile pikir, semua pasutri pasti ada bertengkarnya. Sebab dia melihat hal ini berkali-kali. Kitt juga begitu sebelum Anee meninggal. Tapi, tidak ada tuh cerai betulan meski diucapkan berkali-kali. Mile jadi merasa mereka akan membaik. Hanya butuh waktu untuk komunikasi saja. Dia tak berusaha melipur terlalu dalam. Toh Zelena sudah senyum pagi harinya.

"Hai hai, Mile ... hari ini mau makan apa?" tanya Zelena yang sedang mengupas bawang.

"Oh? Mama ...." desah Mile yang baru keluar dengan seragam. Dia memasang sabuk sepanjang jalan. Tampak baru menghapalkan presentasi yang sempat lupa.

"Lho? Sudah siap? Kan baru jam segini, Sayang ...."

Mile memasukan buku hapalannya dalam ransel. "Ha ha, iya. Lupa baru sempat bilang. Hari ini aku ada latih lomba mapel."

"Wow ... for real?"

"Ya ...."

"Tingkat apa, Sayang? Jangan bilang ...."

"Aku mewakili provinsi," kata Mile dengan senyuman bangga. "Bahasa Inggris dan Fisika, Ma. Terus renang di pekan yang lain."

Zelena pun melepas pisau sangking senangnya. Dia bilang, "WOW! TUNGGU! TUNGGU! TUNGGU! MAMA KASIH UANG SAKU LEBIH!" lalu naik ke tangga terburu-buru. Zelena sungguh menghujani Mile uang. Dia memeluk. Lalu menepuki bahu lebar anak angkatnya.

"Thankies," kata Mile sambil memasukkan uang ke saku. "Padahal juga baru latihan, Ma. Belum tentu nanti dapat juara--"

"Sssh ... yang semangat!" sela Zelena terdengar bangga. Dia bahkan membenahi dasi Mile, padahal bagian itu tidak miring sama sekali. "Mama akan dukung anak ganteng ini. Ayo berangkat! Jangan telat dan raih cita-citamu ...."

"Ha ha ha ... oke, oke ... tidak perlu sebegininya ...." tawa Mile yang didorong ke keluar rumah. Dia pun melambaikan tangan sebelum melempar skateboard, padahal sebenarnya punya motor dan mobil sendiri. "Hmm ... apa mereka sudah baikan? Hubungan orang dewasa memang susah dimengerti."

Momen itu semuanya pun berjalan lancar. Mile mempersiapkan lomba seperti biasa. Lalu pamit ikut rombongan peserta seminggu. Mile juga peluk-memeluk dengan Zelena. Sang Mama membawakan satu ransel jajan. Tapi senyum itu tidak ada saat Mile pulang.

Ruang tamu justru penuh botol bir.

Rokok.

Barang pecah.

Beberapa juga pil ekstasi.

Mile pun gagal tersenyum lebar, padahal Alpha itu membawa tiga piala ke rumah. "Mamaa?" panggilnya sambil melangkah masuk. "Mamaaaaaa ... Mile pulang lho. Mamaaaaa?" Dia pun meletakkan semua piala ke meja TV. Termasuk ransel dan botol air yang tinggal separuh. Mile tidak lupa mengecek kondisi luar, lalu mengikuti tangisan sang ibu. Dia naik tangga sambil membawa pentungan sapu, tapi Zelena ternyata sendiri. Wanita itu berbaring di ranjang. Meringkuk rapuh. Badannya juga mengurus sejak ditinggal.

"Ma ...." kata Mile yang datang mendekat. "Mama, hei ... Mama ini sebenarnya kenapa ...." Dia pun mengelus bahu sang ibu lembut. "Mama, Mile ada di sini ...."

Tangis Zelena justru semakin kencang. Dia rewel--bahkan memukul Mile ketika dipeluk erat. Mile sendiri tak melepaskan. Dia teguh, sebab sudah yakin itu bukanlah salahnya. "Pergi! Pergi! Pergi! Pergi!" bentaknya tidak karuan. "PERGI--FUCK! PERGI, KAU BAJINGAN! ARRGHHHH! PERGI AKU TAK PEDULI LAGI! BEDEBAH! ARRGHHHH! ARRGHHHHHHHH!"

Malam itu, Mile pun mengelus punggung ibunya sayang. Dia ada, tak seperti sebelumnya yang menutup telinga. Mile kini memutuskan ingin tahu. Dia pasang badan, tapi Zelena justru mengunci diri.

"Mama baik-baik saja. Semua oke ...." kata Zelena sambil menggoreng ikan.

Mile tentu merasa tak enak. Sebab Zelena bahkan lupa memuji prestasinya. "Tapi Mile serius loh, Ma. Bilang saja kalau sudah lega. Nanti kubantu," katanya. "Mama jangan sampai murung lagi ...."

Pagi itu, Zelena ternyata tetap membisu. Namun masakannya hadir seperti biasa. Kualitas rasanya juga tak berubah. Mile kagum, hanya saja kehangatan itu perlahan menghilang. Mile ingin melihat sang ibu ceria seperti dulu. Menggoes sepeda, tapi akhir-akhir ini hanya belanja terus menerus. Zelena mulai sering menggunakan mobil. Matanya layu. Hanya saja makin cantik karena rajin ke salon.

Namun perubahannya tak hanya itu. Saat malam, camilannya bermacam-macam. Piringnya beda. Jenisnya pun unik dengan tatanan yang rapi. Sajiannya ditaruh seperti restoran. Mile heran. Apalagi mulai ada kecupan hadir di pipinya.

"Selamat malam, Sayang. Belajar yang giat, ya. Mama besok buatkan menu baru untukmu ...."

Bersambung ....